Dua Gubernur Dan Mobil Mudik

Mudik besar-besaran selalu menyertai Hari Raya Iedul Fitri tiap tahun. Mobil merupakan moda angkutan terbanyak yang digunakan oleh para Mudikers, istilah para pemudik, di dalam melakukan hajatnya. Tahun ini, di tengah gegap gempita berita tentang Buaya Versus Cicak, dan juga soal tewasnya Gembong Teroris Malaysia Pak Ci’ Noordin M Top, ada berita yang cukup menyentuh nurani dan rasa keadilan terkait sikap dua gubernur tentang penggunaan mobil dinas untuk mudik.

Yang pertama, sikap Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Sultan Hamengkubuwono X. Sultan secara tegas melarang semua pejabat dan PNS di lingkungan pemerintahannya menggunakan mobil dinas untuk mudik. Hal ini dikemukakan Ka Biro Organisasi Sekretariat Daerah Propinsi DIY Hendar Susilowati, SH (8/9).

Gubernur yang berasal dari Partai Golkar ini dengan tegas mengatakan bahwa pada prinsipnya tidak diperkenankan penggunaan mobil dinas selain di luar tugas pokok atau tidak ada kaitannya dengan tugas negara, apalagi dipakai untuk keperluan yang jelas-jelas pribadi seperti mudik.

Bagi yang melanggar keputusan Gubernur DIY akan ada sanksi yang tegas. Sanksi yang paling berat adalah mobil dinas itu akan ditarik.

Yang kedua, sikap Gubernur Provinsi Jawa Barat Ahmad Heryawan, Lc. Gubernur dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini bertolak-belakang dengan sikap tegas yang diambil rekannya, Gubernur DIY soal mobil dinas untuk mudik. Ahmad Heryawan, Lc malah membolehkan digunakannya mobil dinas untuk keperluan mudik bagi para pejabat di lingkungan pemerintahannya. Namun kendaraan operasional tetap tidak boleh.

Kendaraan dinas adalah kendaraan yang dibeli oleh uang rakyat, yang dititipkan kepada pejabat untuk pergi dan pulang kantor dan juga mengantarkan mereka sehari-hari dalam kaitannya dengan tugas kepemerintahan. Sedangkan kendaraan operasional adalah kendaraan yang juga dibeli oleh uang rakyat namun ‘mangkal’ di kantor Pemda untuk digunakan hanya selama jam dinas atau jika ada tugas-tugas khusus, tidak boleh dibawa pulang.

“Mobil dinas yang melekat pada jabatan (pejabat Provinsi Jawa Barat) boleh digunakan untuk mudik Lebaran,” ujarnya enteng usai upacara gelar pasukan Operasi Ketupat Lodaya 2009 di Lapangan Gasibu, Bandung, Sabtu (12/9). Ahmad Heryawan tidak menjelaskan, apakah bahan bakar mobil dinas yang dipakai pulang kampung para pejabatnya juga akan ditanggung pemerintah—yang berarti dibayarkan oleh uang rakyat—seperti yang selama ini biasa terjadi di mana-mana.

Amanah Seorang Umar bin Abdul Aziz

Adalah menarik mencermati perbedaan sikap antara Gubernur DIY dengan Gubernur Jawa Barat ini, berkenaan dengan penggunaan mobil dinas (mobil negara) untuk keperluan pribadi, dalam kacamata Islam.

Kita semua bisa bercermin pada sosok Umar bin Abdul Aziz, seorang pemimpin yang adil, arif, lagi berilmu. Banyak kisah teladan yang beliau tinggalkan untuk para pencari kebenaran. Salah satunya adalah kisah tentang lilin negara. Kisah ini tercatat dalam Sirah Umar bin Abdul Aziz (Ibnul Hakam hal. 155-156). Inilah kisahnya:

Suatu hari datanglah seorang utusan dari salah satu daerah kepada beliau. Utusan itu sampai di depan pintu Umar bin Abdul Aziz dalam keadaan malam hari. Setelah mengetuk pintu seorang penjaga menyambutnya. Utusan itu pun mengatakan, “Beritahu Amirul Mukminin bahwa yang datang adalah utusan gubernurnya.” Penjaga itu masuk untuk memberitahu Umar yang hampir saja berangkat tidur. Umar pun duduk dan berkata, “Izinkan dia masuk.”

Utusan itu masuk, dan Umar memerintahkan untuk menyalakan lilin yang besar. Umar bertanya kepada utusan tersebut tentang kondisi penduduk kota dan kaum muslimin di sana, bagaimana perilaku gubernur, bagaimana harga-harga, bagaimana dengan anak-anak, orang-orang muhajirin dan anshar, para ibnu sabil, orang-orang miskin. Apakah hak mereka sudah ditunaikan?

Utusan itu pun menyampaikan segala yang diketahuinya tentang kota kepada Umar bin Abdul Aziz. Tak ada sesuatu pun yang disembunyikannya. Ketika Semua pertanyaan Umar telah selesai dijawab semua, utusan itu balik bertanya kepada Umar, “Ya Amirul Mukminin, bagaimana keadaanmu, dirimu, dan badanmu? Bagaimana keluargamu, seluruh pegawai dan orang-orang yang menjadi tanggung jawabmu?

Umar tidak segera menjawab. Beliau kemudian serta merta meniup lilin besar tersebut dan berkata, “Wahai pelayan, nyalakan lampunya!” Lalu dinyalakannlah sebuah lampu kecil yang sinarnya lebih redup. Hampir-hampir tidak bisa menerangi ruangan karena cahayanya yang teramat kecil.

Umar melanjutkan perkataannya, “Sekarang bertanyalah apa yang kamu inginkan.” Utusan itu bertanya tentang keadaannya. Umar memberitahukan tentang keadaan dirinya, anak-anaknya, istri, dan keluarganya.

Di akhir pertemuan, utusan itu rupanya tergelitik oleh apa yang dilakukan Umar itu. Dia pun bertanya, “Ya Amirul Mukminin, aku melihatmu melakukan sesuatu yang belum pernah Anda lakukan.” Umar menimpali, “Apa itu?”

“Engkau mematikan lilin yang besar ketika aku menanyakan tentang keadaanmu dan keluargamu, dan menggantinya dengan lampu minyak yang kecil.”

Umar menjawab sambil tersenyum bijak, “Wahai hamba Allah, lilin yang kumatikan itu adalah harta Allah, harta kaum muslimin. Ketika aku bertanya kepadamu tentang urusan mereka maka lilin itu dinyalakan demi kemaslahatan mereka. Begitu kamu membelokkan pembicaraan tentang keluarga dan keadaanku, maka aku pun mematikan lilin milik kaum muslimin itu.”

Sang utusan pun begitu terkagum-kagum dengan sikap mulia yang ditunjukkan atasannya tersebut. Segitu besar kesungguhan Umar dalam menjaga harta kaum muslimin yang sesungguhnya merupakan amanah yang nanti di akherat akan dimintai pertanggungjawaban.

Hal ini sangat berbeda dengan kebanyakan sikap pemimpin kita sekarang ini yang banyak di antaranya memilih untuk aji-mumpung. Naudzubillah min dzalik. (Rd)