Doktrin Zionisme Pada Pancasila : Ekses Terapan Pancasila di Masa Orla

Bersama ini kami turunkan tulisan di ebook, yang dipublikasikan oleh www.geocities.com/sabiluna/zionisme. Doktrin Zionisme dan Ideologi Pancasila: "Menguak Tabir Pemikiran Founding Fathers RI. Editor: Muhamad Thalib dan Irfan Awwas". Semoga bermanfaat.

Di Zaman Soekarno

Seberapa besar pengaruh pola pemikiran Zionis atau Freemasonry terhadap penerapan Pancasila di Indonesia, buku ini akan memaparkannya secara jelas dan lengkap. Namun sebelum itu, akan sangat bermanfaat apabila dalam pengantar ini, kita ilustrasikan bagaimana penerapan ideologi Pancasila selama dua periode pemerintahan di Indonesia. Di zaman Orla, atas nama Pancasila, Ir. Soekarno diangkat menjadi presiden seumur hidup.

Kekuasaan negara diselenggarakan dengan menganut sistem Demokrasi Terpimpin, yang kemudian ternyata melahirkan prinsip-prinsip yang mereduksi Islam, dan pada saat yang sama mendukung komunisme. Dari sinilah lahirnya Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) sebagai aplikasi idiologi Pancasila.

Selama 20 tahun rezim Soekarno berkuasa, Indonesia menjadi lahan yang subur bagi golongan-golongan anti Islam; seperti Zionisme, Freemasonry, Salibisme, Komunisme [3], paganisme, sekularisme serta kelompok Yes Man.

Sebaliknya, bagi orang-orang yang bersikap kritis, taat beragama, dan bercita-cita membangun masyarakat berdasarkan agama, Indonesia ketika itu bagaikan neraka. Mereka yang dipandang tidak loyal pada pemerintah, dituduh kontra revolusi dan menjadi mangsa penjara. Sebagai akibatnya, kezaliman politik, keruntuhan akhlak, kebencian antar warga masyarakat, serta kebiadaban kelompok yang kuat dalam menindas yang lemah menjadi trade merk pemerintah Orde Lama.

Dan akibat selanjutnya, sepanjang kurun waktu orde lama, tidak pernah sepi dari perlawanan rakyat kepada pemerintah, dan pemberontakan daerah terhadap penguasa pusat. Penerapan ideologi Pancasila dari masa ke masa, dan pada setiap periode pemerintahan yang berbeda-beda, selalu menimbulkan korban yang tidak kecil. Pembunuhan demokrasi, pemerkosaan hak asasi manusia, adalah di antara ekses-ekses negatif penerapan Pancasila oleh penguasa. [4]

Di negara Pancasila, seseorang bisa dipenjara bertahun-tahun lamanya tanpa proses pengadilan dengan tuduhan menentang Pancasila atau merongrong wibawa pemerintah yang sah. Dan bila penguasa menghendaki, atas nama Pancasila, seseorang bisa dijebloskan ke dalam penjara, tanpa dasar yang jelas.

Perbenturan ideologi, pertikaian para penganut agama dan kaum anti agama menjelang Gestapo (G 30 S PKI), dan hiruk pikuk Lekra/PKI dan kawan-kawannya. Kemudian keberpihakan penguasa kepada kaum penyembah Lenin itu, serta kezalimannya terhadap kaum muslimin.

Semua ini dapat dibaca dalam buku: “Prahara Budaya”, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Tulisan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, diterbitkan oleh penerbit MIZAN Bandung, Maret 1995. 4 Baca buku: Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi, kumpulan tulisan K.H. Firdaus A.N., CV. Pedoman Inti Jaya, 1993. (10).

Kehilangan hak-hak sipil maupun politiknya sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Dalam hal ini, termasuk dosa politik rezim Soekarno terhadap rakyat Indonesia adalah dicoret-nya tujuh kata dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter), yaitu Kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya, lalu menggantinya dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Tujuh kalimat yang dicoret secara sepihak itu, pada mulanya dinilai sebagai perjanjian moral antara umat Islam dan non-Islam. Selain pencoretan itu, pengkhianatan pemimpin-pemimpin republik terhadap janjinya, telah menyulut api pemberontakan dan menyebabkan kepercayaan rakyat mulai luntur terhadap kredibilitas pemimpin pusat. Di antara bentuk pengkhianatan rezim Orla terhadap janji yang diucapkan atas nama pemerintah Pancasila, dan hingga kini membawa akibat buruk bagi bangsa Indonesia, adalah kasus pemberontakan Darul Islam pimpinan Tengku Muhammad Daud Beureueh, tokoh ulama seluruh Aceh (PUSA) berserta para pengikutnya.

Pengkhianatan pemerintah Orde Lama itu, dengan jelas terlihat dalam dialog antara Tengku Daud Beureueh dan Presiden Soekarno.

Bagian terakhir dari dialog tersebut, selengkapnya adalah sebagai berikut : [5]

Presiden: “Saya minta bantuan kakak, agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan".

Daud Beureueh :” Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan presiden, asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah, sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid” .

Presiden: ”Kakak! Memang yang saya maksud-kan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Tengku Tjhik di Tiro dan lain-lain yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang ber-semboyan “merdeka atau syahid”.

Daud Beureueh: ”Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syari’at Islam di dalam daerahnya”.

Presiden: ”Mengenai hal itu kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam”.

Daud Beureueh: ”Maafkan saya Sudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan, bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami meng-inginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden”

Presiden: ”Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan kakak itu”.

Daud Beureueh: ”Alhamdulillah, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terimakasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon, (sambil menyodorkan secarik kertas kepada Soekarno) sudi kiranya Sdr. Presiden menulis sedikit di atas kertas ini”.

Mendengar ucapan Tengku Muhammad Daud Beureueh itu langsung Presiden Soekarno menangis terisak-isak. Air matanya yang mengalir di pipinya telah membasahi bajunya. Dalam keadaan terisak-isak Presiden Soekarno berkata: ”Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi Presiden. Apa gunanya menjadi Presiden kalau tidak dipercaya” .

Langsung saja Tengku Daud Beureueh menjawab: ”Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi hanya sekedar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan pada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang”.

Lantas Presiden Soekarno, sambil menyeka air matanya, berkata: ”Wallahi, Billahi [6], kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan syari’at Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar nanti dapat melaksanakan syari’at Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah kakak masih ragu-ragu juga?”

Dijawab oleh Tengku Muhammad Daud Beureueh: ”Saya tidak ragu lagi Saudara Presiden. Sekali lagi atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terimakasih atas kebaikan hati Saudara Presiden”.

Menurut keterangan Tengku Muhammad Daud Beureueh, oleh karena iba hatinya melihat Presiden menangis terisak-isak, beliau tidak sampai hati lagi meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji Presiden Soekarno itu.

Dari dialog di atas, kita bisa maklum bahwa, secara historis, dari sejak awal masyarakat Aceh ketika bergabung dengan Indonesia, menginginkan otonomi dengan penerapan hukum Islam. Orang Aceh siap membantu pemerintah Indonesia me-lawan Belanda, dengan suatu syarat, supaya syari’at Islam berlaku sepenuhnya di Aceh. Atau dengan kata lain, masyarakat ingin di Aceh berlaku syari’at Islam dalam bingkai negara Kesatuan RI.

Akan tetapi, meski Soekarno telah berjanji dengan berurai air mata, ternyata ia ingkar dan tidak konsekuen terhadap ucapannya sendiri. Melihat kenyataan ini, suatu hari, dengan suara masygul, Daud Beureueh pernah berkata:”Sudah ratusan tahun syari’at Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh. Maka sejak itu lahirlah gerakan Darul Islam di Aceh. [7]

Soekarno termasuk pengagum Kemal Attaturk, presiden Turki keturunan Yahudi, yang paling lantang menolak keterlibatan agama dalam urusan politik dan pemerintahan. Demikian ekstrim pendiriannya dalam urusan ini, sehingga ia menghapus sistem kekhalifahan Islam di Turki, mengganti lafadz adzan yang berbahasa Arab menjadi bahasa nasional Turki. Dia berkata: ”Agama hanyalah hubungan pribadi dengan Tuhan, sedang negara adalah milik bersama”. Slogan ini adalah salah satu racun kolonial, tetapi sampai sekarang angin beracun ini masih berhembus kencang. Maka sebagaimana Kemal Attaturk, dalam suatu pidatonya di Amuntai Kalimantan Selatan pada tahun 1954, Soekarno juga pernah menyatakan tidak menyukai lahirnya Negara Islam dari Republik Indonesia. Mengapa Soekarno ingkar janji terhadap rakyat Aceh, dan menolak berlakunya syari’at Islam? Menurut pengakuannya sendiri, Soekarno pernah dikader oleh seorang Belanda keturunan Yahudi, bernama A. Baars. ”Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis bernama A. Baars, yang memberi pelajaran kepada saya, jangan berfaham kebangsaan, tetapi berfahamlah rasa kemanusiaan sedunia”, katanya. Pengakuan ini diungkapkan di hadapan sidang BPUPKI.

Selanjutnya, dalam pidatonya itu, Soekarno juga menyatakan: ”Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, ada orang lain yang memperingatkan saya, yaitu Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmo-politisme yang diajarkan oleh A. Baars itu. Di dalam hati saya, sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan, oleh pengaruh buku tersebut” .

Berdasarkan tela’ah dari berbagai karya tulis, pidato serta riwayat hidup Bung Karno, kita menjadi paham, bahwa prinsip ideologi yang dikem-bangkannya merupakan kombinasi dari paham kebangsaan dan mulhid, yaitu Nasionalisme dan Komunisme. Kombinasi dari keduanya, kemudian melahirkan ajaran Bungkarno, yang terkenal dengan Marhaenisme, akronim dari Marxisme, Hegel dan Nasionalisme. Semua ini sangat berpengaruh terhadap aplikasi ideologi Pancasila selama masa kekuasaannya. Setelah berkuasa lebih dari 20 tahun lamanya, kekuasaan Soekarno akhirnya runtuh, dan riwayat hidupnya berakhir nista, terpuruk dari singgasana kekuasaan dan mati dalam keadaan sakit parah serta merana. (bersambung)

Catatan Kaki

[3] Perbenturan idiologi, pertikaian para penganut agama dan kaum anti agama menjelang Gestapo (G 30 S PKI), dan hiruk pikuk Lekra/PKI dan kawan-kawannya. Kemudian keberpihakan penguasa kepada kaum penyembah Lenin itu, serta kezalimannya terhadap kaum muslimin. Semua ini dapat dibaca dalam buku: “Prahara Budaya”, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Tulisan D.S. Moeljanto dan Taufiq Ismail, diterbitkan oleh penerbit MIZAN Bandung, Maret 1995.

[4] Baca buku: Dosa-Dosa Yang Tak Boleh Berulang Lagi, kumpulan tulisan K.H. Firdaus A.N., CV. Pedoman Inti Jaya, 1993.

[5] Wawancara dengan Tengku Daud Beureuh, dalam TGK. M. DAUD BEUREUH: Peranannya Dalam Pergolakan di Aceh, oleh M. Nur Elibrahimy, hal. 65, PT. Gunung Agung, Jakarta, Cetakan Kedua, 1982.

[6] Karakteristik orang-orang munafik suka berjanji tapi kemudian mengingkarinya, dan menjadikan sumpah sebagai helah. Allah berfirman: Mereka menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (orang lain) dari jalan Allah. Sungguh amat buruklah apa yang mereka lakukan. Yang demikian itu karena mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (kembali), lalu hati mereka dikunci (tertutup dari menerima kebenaran). Maka mereka tidak memahami. Dan apabila engkau melihat mereka, engkau akankagum karena tubuh-tubuh mereka (yang tegap dan tampan). Dan apabila mereka berbicara, engkau akan terpaku mendengarkannya. Mereka bagaikan kayu yang tersandar (tidak mempunyai fikiran). Mereka menduka setiap suara keras (panggilan) ditujukan kepada mereka. Merekalah musuh (sejati), maka jauhilah mereka, (waspadalah terhadap mereka). Semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dibutakan mata hatinya dari kebenaran).?, (Q.S. Al Munafiqun: 2-4).

[7] Rubrik Nasional, Mingguan ABADI, No. 37/Th.I, 22-28 Juli 1999.