Jilbab, Antara Istanbul-Jakarta

Turki adalah ‘bapak’ sekulerisme. Jendral Kemal At-Taturk, yang menghancurkan Khilafah Turki Otsmani, mengubah sistem pemerintahan kekhilafahan Islam, menjadi bentuk sistem republik yang sekuler. Semua bentuk nilai-nilai agama dihancurkan dari ideologi dan struktur negara. Hukum Islam diganti dengan hukum Eropa. Bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki.

Adzan pun harus menggunakan bahasa Turki. Simbol-simbol Islam dilarang. Tidak boleh digunakan. Agama tidak boleh lagi mendasari kehidupan. Al-Qur’an dan as-Sunnah dilarang diajarkan. Para ulama diasingkan keluar Turki. Sampai sekarang Turki konstitusinya tetap berdasarkan nilai sekulerisme.

Turki penduduknya 99 persen muslim sunni. Perjalanan panjang bangsa Turki sepertinya tak pernah melupakan keyakinan yang pernah dimilikinya, Islam. Betapapun bangsa Turki pernah menghadapi hantaman yang sangat keras dari sistem pagan, yaitu sekulerisme. Perlahan-lahan agama kembali hidup, di hati bangsa Turki. Rentang waktu sejak jatuhnya Khilafah Otsmaniyah di tahun 1924, dan bangkitnya kembali prinsip-prinsip Islam, memang memerlukan waktu. Tapi, tidak sampai memerlukan 100 tahun. Islam mulai menampakkan sinarnya, di negara yang terbelah oleh selat Borporus.

Sepertinya, kebanggaan pada masa lalunya, yang penuh dengan kejayaan Islam, menjadi modal bangsa Turki, bangkit kembali, dan menyinarkan kebangkitan Islam. Bangsa Turki mewarisi masa lalu, sebagai bangsa besar, dan pernah memimpin dunia, ketika negeri itu dibawah kekuasaan Khilafah Islam. Dan, berlangsung berabad-abad. Maka, kepemimpin Turki di pentas global, khususnya bagi dunia Islam, mulai terasa.

Sekarang, pertemuan, konferensi, seminar internasional, dari pergerakan Islam, dan lembaga-lembaga dunia, yang memiliki relasi dengan Islam, berlangsung. Konferensi yang berkaitan dengan dunia Islam, seperti masalah Palestina, Afghanistan, Iraq, Kurdi, Somalia, Sudan Selatan, pernah di gelar di Istambul, yang dulunya merupakan pusat Kekaisaran Byzantium. Turki menjadi tempat ajang membicarakan semuanya persoalan umat Islam.

Turki mempunyai perhatian yang besar terhadap persoalan umat Islam. Sentakan yang sangat mengejutkan masyarakat dunia, dan dunia Islam, ketika berlangsung Konferensi Internasional, yang membahas ekonomi global, di Davos (Swiss), di mana Perdana Turki Recep Tayyib Erdogan berhadapan dengan Presiden Israel Simon Perez,dan mengkritik Simon Perez, serta mengatakan, ‘Anda tidak pernah mau mendengarkan’, tegas Erdogan. Kemudian, dia meninggalkan konferensi itu, serta kembali ke Istanbul. Erdogan dielukan-elukan rakyatnya seperti pahlawah.

Bangkitnya kembali Islam di Turki, tak terlepas dari peran dua tokoh kunci, yaitu Perdana Turki, Recep Tayyib Erdogan, dan Presiden Abdullah Gul. Keduanya secara perlahan-lahan mengangkat kembali Islam, di ranah kehidupan. Pembelaannya jelas. Kedua tokoh itu mampu berdialog dengan semuanya tokoh dunia. Tidak dalam posisi yang ‘rendah’, dan juga merasa ‘inferior’. Keduanya bisa berbicara dengan Obama, David Brown, Engela Merkel, Sarkozy,dan Manuel Baroso, secara terhormat dan didengarkan.

Negara muslim yang pertama kali dikunjungi Barack Obama adalah Turki. Bukan Indonesia. Ini hanyalah menggambarkan posisi Turki, yang penting di mata AS. Turki menjadi anggota Nato, tapi Turki juga bisa menolak, ketika AS ingin menjadikan pangkalan militer Turki untuk menyerang Irak, di zamannya Presiden George Walker Bush. Negara yang jumlah penduduknya 77 juta jiwa ini, sekarang peranannya sangat besar dalam percaturan politik global.

Melalui, Partai AKP yang dalam pemilu 2007, memenangkan suara 46.7 persen, dan mendapatkan 440 kursi di parlemen, Partai AKP, berhasil mengubah Turki menjadi ‘the center power’, yang menghadapi dinamika dan perubahan global, serta Turki akan menjadi anggota Uni Eropa. Kebangkitan Islam di Turki, berpengaruh sampai ke Balkan, dan Asia Tengah, yang selama ini berada dibawah pengaruh Soviet.

Arus Islam terus mulai merambah perlahan-lahan dalam kehidupan. Turki yang sampai sekarang masih menganut sistem sekuler. Akhirnya, tak dapat menolak nilai-nilai dan simbol Islam. Istana Dolmabache yang menjadi simbol kekuasaan di Turki itu, sekarang dihuni oleh ibu negara, Hayrunnisa Gul, yang menggunakan jilbab. Jilbab telah masuk istana Dolmabache. Jilbab yang diharamkan dalam sistem sekuler, kenyataannya sekarang telah ada di istana. Hayrunnisa yang menikah dengan Abdullah Gul, tahun l980 itu, sehari-hari dalam acara resmi, tidak pernah meninggalkan jilbab. Adakah ini sebuah perubahan besar?

Bagaimanapun ini sebuah perubahan. Istri seorang presiden yang masih menganut sistem konstitusinya sekuler, sehari-hari menggunakan jilbab. Sebuah simbol Islam telah berada di istana, yang konstitusinya melarangnya.

Tentu, tak kalah penting lagi, Perdana Menteri Erdogan, yang merupakan tokoh utama dalam perubahan di Turki, istrinya yaitu, Emine Erdogan, juga menggunakan jilbab. Emine yang nenek moyang masih keturunan Arab ini, sekarang menjadi simbol muslimah Turki, selain Hayrunnisa Abdullah Gul, yang menempati istana Dolmabache. Wanita-wanita muslimah di Turki sekarang ini, mereka mengikuti Hayrunnisa dan Emine, yang keduanya menjadi simbol bagi kebangkitan Islam di Turki.

Erdogan yang pernah menjadi Walikota Istanbul, sejak tahun l994-l998 itu, berhasil menciptakan perubahan besar bagi kehidupan rakyat di Istambul. Masjid-masjid kembali semarak dan digunakan tempat shalat.

Perjuangan muslimah di Turki, sangat luar biasa, mengembalikan ajaran Islam, yaitu menutup aurat (al-Qur’an : An-Nur : 31). Dan, Pemerintahan Erdogan berusaha keras, melalui perubahan undang-undang Turki yang sekuler itu, diubah, yang memungkinkan dibebaskan seluruh kampus dan lembaga pemerintahan, agar wanita muslimah dapat mengenakan jilbab.

Tapi, ini sebuah isu yang sangat sensitip,karena selalu mendorong militer dan partai sekuler di Turki, menolak, dan bahkan belakangan ini muncul konspirasi untuk menjatuhkan Pemerintahan Erdogan, karena dituduh melakukan Islamisasi, yang akan menghancurkan sistem sekuler, yang dibangun oleh Kemal At-Turk.

Coba, bandingkan dengan Indonesia, yang berpenduduk 230 juta jiwa, 90 persen muslim, tapi jilbab belum pernah masuk  dan menjadi penghuni istana. Dari zamannya Soekarno sampai SBY. Padahal, Turki secara ekplisit konstitusinya adalah sekuler. Tapi, ibu negara dan istri perdana menteri, keduanya menggunakan jilbab. Di Indonesia yang bisa masuk istana baru ‘konde’ dan ‘sanggul’. Jilbab entah kapan masuk istana dan menjadi simbol Islam politik?  Wallahu ‘alam.