Mengapa Harus Ada Hari Ibu?

Jika Anda punya account Facebook, cobalah lihat sejenak. Jika kemarin Anda kebetulan membukanya, niscaya ribuan status yang ada di sana berisi tentang pujian, penghargaan, apresiasi, dan segala hal lainnya kepada seorang ibu. Begitu juga di surat kabar, televisi dan media-media lainnya juga sama membahas tentang kemuliaan seorang ibu. 22 Desember memang dinobatkan menjadi Hari Ibu—seperti yang kita ketahui.

Tidak ada yang salah dengan kemuliaan seorang Ibu. Islam, sejak keberadaannya dan sejak dibawa oleh Rasulullah, telah meletakkan posisi seorang ibu sangat tinggi. Ibu, ibu, ibu, baru kemudianlah seorang ayah, yang wajib dihormati oleh seorang anak, begitu hadist Rasulullah saw yang sudah terkenal. Pemuliaan kepada seorang ibu terjadi setiap waktu, bukan hanya satu hari saja.

Tentu jika sekarang ada Hari Ibu, maka ada sesauatu yang lain di sana. Hari Ibu adalah hari peringatan/ perayaan terhadap peran seorang ibu dalam keluarganya, baik untuk suami, anak-anaknya, maupun lingkungan sosialnya. Peringatan dan perayaan biasanya dilakukan dengan membebas-tugaskankan ibu dari tugas domestik yang sehari-hari dianggap merupakan kewajibannya, seperti memasak, merawat anak, dan urusan rumah tangga lainnya. Dan Hari Ibu dilaksanakan di seluruh dunia dengan nama Mother’s Day dengan berbeda-beda tanggalnya.

Menurut Wikipedia, Peringatan Mother’s Day di sebagian negara Eropa dan Timur Tengah, mendapat pengaruh dari kebiasaan memuja Dewi Rhea, istri Dewa Kronus, dan ibu para dewa dalam sejarah Yunani kuno. Maka, di negara-negara tersebut, peringatan Mother’s Day jatuh pada bulan Maret. Di Amerika Serikat dan lebih dari 75 negara lain, seperti Australia, Kanada, Jerman, Italia, Jepang, Belanda, Malaysia, Singapura, Taiwan, dan Hongkong, peringatan Mother’s Day jatuh pada hari Minggu kedua bulan Mei karena pada tanggal itu pada tahun 1870 aktivis sosial Julia Ward Howe mencanangkan pentingnya perempuan bersatu melawan perang saudara.

Jadi di sini, Hari Ibu bisa jadi kedudukannya sama dengan Hari Valentine, April Mop, Tahun Baru Masehi, Hari Bumi dan hari-hari lainnya yang bermuara pada kepercayaan pagan Yunani. Merayakannya sama saja dengan mengakui adanya kebiasaan-kebiasaan ritual itu.

Mungkin ada pembenaran; yah, nggak apa-apalah, dalam satu hari, seorang ibu libur dulu dari tugas-tugas rutinnya. Ibnu Umar ra berkata, Sabda Rasulullah saw bersabda: "Wanita yang tinggal di rumah bersama anak-anaknya, akan tinggal bersama-samaku dalam surga." Artinya, tidak ada berhenti atau cuti ketika sudah menjadi ibu—posisi yang sangat mulia dalam kehidupan. Adapun beban pekerjaan, bukankah Islam telah mengatur sedemikian rupa pendelegasian dengan suami hingga semua tugas dibagi rata antara suami dan istri?

Hadist di atas bukannya mengekang seorang perempuan atau seorang ibu. Kita tentu ingat bahwa Rasul juga membuka wilayah social untuk para muslimah ketika itu. Ada banyak kisah yang menceritakan keterlibatan para ummahat dalam dakwah Rasulullah, termasuk peperangan.

Lantas, dimanakah posisi lelaki? Mungkin satu hadist ini bisa menjadi petunjuk dari berbagai posisi lelaki dan perempuan dalam Islam, "Satu dinar yang kamu belanjakan ke jalan Allah, satu dinar yang kamu belanjakan untuk memerdekakan budak, satu dinar yang kamu sedekahkan kepada orang miskin, dan satu dinar yang kamu belanjakan untuk kepentingan keluarga, yang paling besar pahalanya adalah yang kamu" belanjakan untuk kepentingan keluarga."(HR Muslim).

“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)’. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (sa/berbagaisumber)