Dipenjara, Quran pun Dibakar

 

sayyid-quthbSampai hari ini tidak pernah berhenti pemerintah Mesir dari memenjarakan kader dan tokoh-tokoh Ikhwan. Mereka mengalami penyiksaan yang tiada bandingannya. Penyiksaan yang sangat kejam, dan terus berlangsung, tanpa pernah berhenti. Rejim yang berkuasa di Mesir terus mengirimkan kader dan tokoh-tokoh Ikhwan ke penjara-penjara militer. Tujuannya yang berkuasa di Mesir, menginginkan agar Ikhwan berhenti menjalankan misi dakwahnya.

Berhentikah misi dakwah Ikhwan? Tidak pernah. Mereka terus mengajarkan dan mendidik masyarakat untuk memahami, menerima, menyakini, dan mengamalkan Islam. Hampir seluruh pemimpin Ikhwan, mereka paling sedikit pernah dipenjara selama 20 tahun. Tapi kehidupan itu dijalani dengan penuh kesabaran dan tawakal. Mereka tetap kokoh dengan cita-citanya. Tidak lantas mau menggadaikan keyakinan dan menukar dengan hanya setitik kenikmatan dunia, berupa kekuasaan.

Hasan Al-Banna, meninggal ditembak di jalan, dan ketika dibawa ke rumah sakit, tak ada dokter yang menolongnya. Saat dibawa ke kuburan tak diizinkan pengikutnya mengantarkan jenazahnya, kecuali keluarganya, anak dan isterinya. Selebihnya, penggantinya seperti Hasan Hudaibi, Umar Tilminasi, Hamid Abu Nashr, Mustafa Masyhur, Ma’mun Hudaibi, Mahdi Akif, dan sekarang Muhammad Badie, mereka yang terpilih sebagai Mursyid ‘Aam Ikhwan itu, pernah menjalani kehidupan di penjara dalam kurun waktu yang panjang.

Tak sedikit para tokoh Ikhwan itu, yang mengakhiri kehidupannya dengan keyakinan yang teguh, dan menerima dengan penuh keikhlasan, karena itu menjadi cita-cita tertinggi mereka, yaitu ‘al mautu fi sabilillah asma amanina’ (mati syahid adalah cita-cita tertinggi kami). Mereka telah membuktikan dengan tulus. Sayyid Qutb, di saat berada ditiang gantungan, sebelum hukuman itu, dilaksanakannya, dibisiki oleh pejabat Mesir, agar Qutb mau bersama-sama dengan Gamal Abdul Nasr, tapi orang kedua sesudah Hasan al-Banna, di bidang pemikiran itu, memilih digantung. “Aku tak akan pernah menukar keyakinanku dengan apapun”, ucapnya sebelum digantung.

Banyak tokoh Ikhwan, seperti al-Qardhawi, Sayyid Qutb, Yusuf Hawasy, Abdul Fatah Ismail, Muhammad Firgali, Yusuf Thala’at, Handawi Duwair, Ibrahim Thayib, Muhammad Abdul Latif, Ali Audah, dan lainnya, mereka bisa hidup dimanapun dengan penuh lapang. Tak ada yang syak atas janji Allah Azza Wa Jalla. Maka, mereka dapat menerima kondisi apapun yang mereka hadapi, termasuk pahitnya penjara militer Liman Turoh, yang penuh dengan kekajaman itu. Mereka dicambuki, diadu dengan anjing yang besar, digantung dengan hanya satu kaki, berbagai penyiksaan lainnya, tak membuat mereka bergeming dengan ‘ghoyah’ (tujuan) yang hendak mereka wujudkan, yaitu kehidupan akhirat yang penuh kemuliaan, dan mendapatkan ridho dari Allah Azza Wa Jalla.

Mengapa para kader dan tokoh-tokoh Ikhwan mampu tetap bertahan dalam kehidupan yang amat sulit itu? Tak lain, karena mereka  telah menjadikan Al-Qur’an sebagai belahan hati, pelita cahaya dalam kesedihan mereka. Mereka tak pernah lepas dengan al-Qur’an. Hampir setiap kader dan tokoh Ikhwan telah menjadikan Al-Qur’an wirid harian mereka. Mereka selalu membaca al-Qur’an. Mereka menghafal al-Qur’an, mempelajari isinya, dan terus berusaha memahami artinya. Luar biasa. Tak ada sel yang sepi dari bacaan ayat-ayat al-Qur’an yang dilakukan para ikhwan di dalam sel. Mereka umumnya menguasai pembacaan al-Qur’an dengan baik, dan mengetahui hukum tajwid.

Mereka juga mendekatkan diri pada Allah dengan membuat halaqah al-Qur’an dan mengajarkan ilmu al-Qur’an yang mereka miliki. Maka, para kader dan tokoh Ikhwan, yang berada dipenjara, ketika pagi, sore dan malam, mirip suara lebah, dan menggetarkan hati. Al-Qur’an membimbing mereka menjadi pribadi yang tangguh dan kokoh, menghadapi segala cuaca dan badai kehidupan, dan tidak pernah bergeser, seincipun dari prinsip-prinsip (mabda’), yang menjadi dasar perjuangan mereka.

Sampai saatnya datang para penguasa itu, tidak suka melihat para Ikhwan yang ada dipenjara militer itu, bisa menikmati hidup dengan al-Qur’an. Bahagia bersama degan al-Qur’an. Seperti dikatakan Sayyid Qutb, yang pernah dipenjara di Liman Turoh, yang mengatakan, ‘Betapa nikmatnya hidup dibawah al-Qur’an’, ucapnya. Lalu, penguasa itu dengan geramnya, masuk ke sel-sel, dan memerintahkan para Ikhwan merampas semua mush’af al-Qur’an, kemudian mush’af al-Qur’an itu di kumpulkan dan bakar.`

Betapapun, mereka yang melihat dengan peristiwa itu, bertambah kuat keyakinannya, dan semakin semangat menegakkan cita-citanya, sampai hari ini, tanpa mau berkompromi dengan kebathilan,walau seincipun. Mereka tetap hidup dengan al-Qur’an dan Sunnahnya. Wallahu’alam. (msd/berbagai sumber)