Mengenang Pengkhianatan Gamal Abdul Nasser

Nasser In DamascusRencananya pada 7 Juni 1967, Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser akan mengirim wakil presidennya, Zakaria Mohieddin, ke Washington, untuk melakukan pertemuan rahasia dengan Presiden AS Lyndon Johnson dan anggota kabinetnya. Pertemuan rahasia itu akan membahas situasi Timur Tengah, yang semakin panas, dan menuju perang.

Sebuah rencana pertemuan ini ditemukan dalam kabel departemen luar negeri AS, dan dokumen-dokumen di perpustakaan Presiden Johnson di Austin, Texas. Dari dokumen itu, sangat jelas, sekalipun Presiden Gamal Abdul Nasser itu, retorikanya suka berperang, sesungguhnya itu hanyalah untuk konsumsi bangsa Arab. Gamal Abdul Nasser, selalu mengatakan, “Kami siap, anak-anak kami siap, tentara kami siap, bangsa Arab seluruhnya siap”, ungkap Nasser.

Gamal Abdul Naser mengancam melakukan blokade Terusan Suez, yang menjadi urat nadi kepentingan Barat, dan selalu berulang-ulang mengancam AS dan Uni Soviet, tetapi sejatinya Naser selalu berusaha menghindari perang dengan Israel. Naser hanya lantang di mulutnya, tetapi tidak memiliki keberanian berperang.

Pemimpin Mesir yang bergaya populis itu, selalu suaranya menghentakkan rakyatnya, dan menggunakan demagogi, terus-menerus mengumbar retorika perangnya. Sehingga, suasana bangsa Mesir penuh dengan sentimen yang emosional terhadap Israel, dan menjadikan Nasser sebagai sosok pahlawan bangsa Arab.

Semuanya hanyalah kepalsuan belaka. Nasser hanya ingin disebut dirinya sebagai pemimpin Arab, dan ambisi-ambisinya yang kosong itu, hanya menipu rakyatnya dan bangsa Arab. Sejatinya dia hanya seorang pemimpin Arab yang lembek, dan kejam terhadap rakyatnya.

Retorikanya yang khas Arab itu, sempat membuat Barat, dan khususnya AS, yang menjadi pelindung Israel, sangat kawatir akan meletus perang, dan mengancam keamanan Israel. Dengan gaya retorikanya, Nasser telah menciptakan situasi yang galau di Timur Tengah, yang memompa terus semangata rakyatnya berperang melawan Israel.

Keinginan perang bangsa Arab melawan Israel, selalu ada, sejak berdirinya negara Israel tahun 1948. Tetapi, keinginan rakyat dan bangsa Arab, selalu bertemu dengan “tembok” pemimpin Arab yang menjadi kolaborasi Israel dan AS. Sengguhnya, Mesir merupakan negara paling strategis, selalu ucapan pemimpinnya menjadi barometer, dan dalam suasana mengancam Israel. Kondisi itu secara psychologis mengancam Israel, dan menjadi perhatian para pejabat Gedung Putih.

Para pejabat AS skeptis atas klaim Israel bahwa 100.000 tentara Mesir berada di sepanjang perbatasan Semenanjung Sinai. Meskipun, AS dan badan-badan intelijen Inggris menyimpulkan sebaliknya. Menurut CIA, dalam sebuah memorandum 22 Mei, menyatakan kekuatan pasukan Mesir hanya 50.000 personil, dan pasukan Nasser yang berada Sinai, hanyalah kekuatan pasukan yang memiliki “karakter defensif “. Tidak ada keinginan berperang.

Kepala National Security Council (NSC) Eugene Rostow, mengatakan perkiraan Israel itu dikatakan “sangat mengganggu”, dan CIA menyimpulkan mereka adalah bagian dari “langkah politik Israel yang bertujuan untuk mempengaruhi AS”. Israel, menurut kajian CIA, ingin Amerika Serikat melakukan tekanan terhadap Nasser untuk mengakhiri blokade Terusan Suez,atau AS untuk mengirim lebih banyak senjata dan peralatan militer kepada Israel.

Setelah situasi semakin panas, Direktur Intelijen Israel Mossad, Meir Amit, memulai perjalanan ke Washington, di mana ia akan mengatakan kepada Menteri Pertahanan Robert McNamara bahwa “Saya, Meir Amit, akan merekomendasikan pemerintah Israel mogok “. Menurut Amit, McNamara, sibuk dengan Vietnam, ucapnya. Lalu, Mc. Manamara bertanya Meir Amit, “Berapa lama perang akan berlangsung?”, kata Mc.Manamara. “Tujuh hari,” jawab Meir Amit Direktur Mossad. Intelijen AS setuju dengan penilaian “sombong” militer Israel itu. Sebagai Wakil Menlu AS Nicholas Katzenbach ingat: “Intelijen AS benar-benar tidak mengerti pada kenyataan bahwa Israel … bisa menghentikan pasukan Arab dalam waktu singkat sekali.”

Nasser, sementara itu, mengirimkan sinyal kekawatiran, dan sembari dan tetap mengejek publik Israel. Dibagian lain, Nasser mengatakan kepada AS dan utusan Soviet, bahwa dia ingin menghindari perang. Jika Nasser serius ingin perang, mengapa berulang kali mengatakan keinginan perangnya itu? Mohammad Haikal yang merupakan orang kepercayaan Gamal Abdul Nasser mengatakan, sebenarnya retorika Presiden itu dimaksudkan hanya menjadi sebuah,”Retorika politik, bukan deklarasi perang”. Ancaman perang yang menggerta Israel itu hanyalah untuk konsumsi bangsa Arab. Sejatinya tidak pernah perang terjadi dengan sesungguhnya.

Pertemuan yang gagal :

Pukul l7:45, Senin, tanggal 5 Juni l967, sebaliknya Israel menggertak Nasser, di mana Israel dengan menggunakan pesawat pembom Perancis, terbang diatas wilayah udara Mesir, dan kemudian menghancurkan seluruh pesawat tempur Mesir, yang masih ada landasan pacu, kemudian pesawat itu masuk ke wilayah udara Yordania dan Suriah. Perang Enam Hari, tak lain, hanya perang enam jam. Segera, Israel merayakan kemenangan, dan Israel menganggap sebagai keajaiban. Sejak itu, wilayah-wilayah Arab dan Palestina berada dalam pendudukan Israel.

Dengan Israel menyerang wilayah-wilayah Arab pada tanggal 5, dan rencana pertemuan pada 7 Juni 1967 itu, pertemuan antara Lyndon B. Johnson dengan wakil presiden Mesir tetap menjadi agenda Gedung Putih? Semua itu hanya utopia. Karena, wilayah-wilayah Arab sudah berada di tangan Israel. Tidak ada perang. Para pemimpin Arab telah menyerahkan tanah kelahiran mereka kepada Zionis-Israel, sempai hari ini.

Nasser yang terus berkoar-koar melakukan perang terhadap Israel, tak ada satu pelurupun yang ditembakkan terhadap tentara Israel, dan pasukannya menyerah, dan kemudian menduduki Sinai. Suriah tak melawan dan menyerahkan Dataran Tinggi Golan kepada Israel. Wilayah Gaza, Tepi Barat, termasuk Jerusalem Timur, dicaplok dan diduduki Israel. Sebuah pengkhiantan para pemimpin Arab secara telanjang sampai hari ini.

Dokumen yang ada di arsip perpustakaan Presiden Lyndon B.Johnson di Austin itu, merupakan gambaran yang sangat memalukan. Para pejabat AS pura-pura sibuk mempersiapkan kunjungan Mohieddin.

Sementara Eugene Rostow,yang dekat dengan Israel telah membocorkan rencana pertemuan itu, dan menulis memo menunjukkan bahwa AS memberitahu Israel pertemuan “rahasia” itu, dan karena “saya duga adalah kecerdasan mereka akan mengambilnya”.

Memang AS tidak memberitahu Israel pertemuan 7 Juni, upaya terakhir oleh Nasser untuk menghindari perang. Semua dokumen rahasia itu, hanyalah mengungkap batapa pengecutnya para pemimpin Arab, saat mereka menghadapi Israel.

Tapi tentu saja Mohieddin tidak pernah berhasil ke Washington. Pada saat pertemuan dijadwalkan, itu sudah tiga hari dari Perang Enam Hari. Israel telah merebut Sinai, Gaza dan Tepi Barat, dan pasukan Arab mundur dengan sangat memalukan.

7 Juni l8967 akan dikenang sebagai pertemuan yang tidak pernah terjadi antara Mohieddin dengan Lyndon B.Johnson, karena semua wilalyah Arab sudah jatuh ke tangan Isrel. Sekelumit pengkhianatan para pemimpin Arab, karena mereka tidak melawan terhadap Israel. (mh)