Resapan Air di Jakarta Berkurang 50% Dalam 10 Tahun

Bencana banjir yang demikian hebat melanda Jakarta sesungguhnya tidak perlu terjadi jika Pemerintah Daerah Provinsi Jakarta, terutama Dinas Perencanaan Tata Kota dan Gubernur Sutiyoso, bekerja sungguh-sungguh membangun kota metropolitan ini sesuai dengan struktur tanah dan peruntukkannya.

Namun yang terjadi ternyata tidak demikian. Pemprov DKI Jakarta ternyata lebih gemar membangun mal, pusat pertokoan, dan sebagainya. Ulah Mas Sutiyoso yang membongkar jalur hijau di sepanjang Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat baru-baru ini menjadi bukti betapa Pemda DKI tidak perduli dengan nasib kotanya sendiri. Gubernur yang satu ini lebih mendahulukan pengerjaan proyek Busway ketimbang Proyek Banjir Kanal Timur yang pengerjaannya terkatung-katung sejak lama. Dan akibatnya seperti sekarang, semua warga Jakarta kena getahnya.

Tentang pembangunan Jakarta yang salah arah, Lembaga Swadaya Masyarakat Urban Poor Consorsium (LSM-UPC) sejak tahun 2005 telah menulis dalam websitenya, “Jakarta adalah sebuah baskom yang dikelilingi oleh beton-beton tol lingkar luar. Baskom yang sebagian besar dasarnya sudah padat oleh beton. Resapan air yang kian menipis. Jakarta sebagai kota air tidak pernah sungguh-sungguh dirancang sesuai dengan karakter alamnya… ”

Bahkan tidak hanya itu, LSM-UPC juga menambahkan, “…Jakarta sebagai kota baskom, tidak hanya sasaran empuk untuk banjir air, tetapi juga banjir lainnya: banjir penduduk, kendaraan bermotor, polusi, banjir korupsi, kekerasan, gaya hidup konsumeristis, banjir duit, pembangunan yang memperkosa lingkungan dan mengorbankan rakyat kecil. Kota yang tidak malu melihat dirinya telah kehilangan sebagian besar sejarah masa lalunya. ” Inilah Jakarta.

Temuan yang sebenarnya tidak perlu membuat kita kaget ternyata diungkapkan oleh Asisten Deputi Urusan Pengendalian Kerusakan Hutan/Lahan Kementerian Negara Lingkungan Hidup Hermono Sigit. Menurut data yang berhasil diperolehnya, dalam sepuluh tahun terakhir, jumlah resapan air di Jakarta dan sekitarnya secara kuantitas dan kualitas telah berkurang sekitar 50%.

Menurutnya, sepuluh tahun lalu di Jabotabek masih ada sekitar 21 daerah serapan air yang berbentuk telaga atau situ aktif. Namun kini jumlahnya hanya tinggal sekitar 15 dengan ukuran yang juga semakin kecil. “Situ di Jabotabek, khususnya di Jakarta, umumnya telah berubah menjadi pemukiman, ” ujar Sigit.

“Sebab itu, situ atau telaga yang tersisa ini sekarang tidak lagi sanggup menyerap air yang datang ke Jakarta. Akibatnya ya banjir seperti ini, ” tambahnya.

Lembaga Swadaya Masyarakat Wahana Lingkungan Hidup (LSM-Walhi) juga menemukan bahwa daerah resapan air selain telaga di Jakarta, seperti ruang hijau dan hutan kota, juga telah jauh berkurang. Menurut Walhi, sebuah kota idealnya sekitar 30% lahannya merupakan lahan serapan air yang bisa berbentuk taman kota atau pun telaga. Namun untuk kota Jakarta, lahan yang tersisa untuk itu sekarang tinggal 6%.

Dalam perencanaannya, Pemprov DKI terlihat memang tidak memiliki kesungguhan dalam mengelola kotanya agar lebih baik dan manusiawi. Kota Jakarta yang memiliki luas 66. 152 hektar dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000-2010 hanya mematok target 13, 94% lahannya untuk daerah serapan air.

Dulu, Jakarta pernah memiliki sekurangnya 49 telaga atau situ dengan luas total 341 hektar. Namun kini seluruhnya telah mengering dan berubah menjadi pemukiman atau perkantoran atau pun pasar. 13 sungai besar yang membelah Jakarta juga telah mendangkal.

Yang menambah ironis, dengan jumlah penerimaan APBD yang cukup besar dibanding provinsi lainnya, Pemprov Jakarta ternyata malah kedodoran dalam mengelola hutan-hutan kota yang tidak seberapa sehingga taman-taman dan hutan kota yang ada kondisinya semrawut dan tak terpelihara dengan baik. Sungai-sungai pun tak ubahnya sebagai "bak" sampah.

Bandingkan dengan gaya hidup para pejabatnya. Mereka bisa hidup dengan mewah, rumah-rumahnya megah, berkeliling kota dengan mobil-mobil terbaru, anaknya bersekolah di luar negeri, dan sebagainya. Padahal jika dibandingkan dengan jumlah gaji perbulannya, jelas mereka tidak akan sanggup dengan gaya hidup yang demikian tinggi. Apakah itu mengindikasikan mereka telah makan uang haram? Wallahu’alam.

Yang jelas, warga Jakarta kian hari kian hidup dalam lilitan penderitaan yang seolah tiada akhir. Tiap tahun rumah mereka kebanjiran. Barang-barang mereka yang dibeli dengan susah payah hancur-lebur. Sedangkan para pejabatnya asyik-asyikkan tinggal di apartemen. Bagaimana Mas Yos? (Rz)