Shalat Ied Adha Tidak Dapat Menggugurkan Kewajiban Shalat Jumat

Eramuslim – Besok umat Islam di Indonesia dan sebagian negara Muslim di dunia akan melaksanakan Shalat Ied Adha. Lalu apa hukumnya shalat Jumat? Apakah umat Islam boleh menggantinya dengan shalat zuhur seperti biasa karena ada yang mengatakan jika Idul Adha bertepatan dengan hari Jum’at, maka diperbolehkan meninggalkan sholat Jum’at sebab terdapat adanya dua khutbah dan dua hari raya dalam satu hari.

Perlu diketahui bahwa peristiwa ini bukanlah peristiwa yang baru, karena bertemunya salah satu dari dua hari raya dengan hari Jum’at sangat mungkin terjadi. Bahkan dari beberapa riwayat disebutkan bahwa hal tesebut juga pernah terjadi pada zaman Rasulullah SAW. Maka untuk memotret pandangan ulama terkait masalah ini, ada baiknya kita memaparkan pendapat mazhab per mazhab dengan penyajian dalilnya.

Syaikh Abdullah bin Abdurrahman bin Jibrin pernah menulis sebuah risalah terkait hal ini yang memaparkan pendapat masing-masing mazhab terkait hal ini. Risalah tersebut berjudul “Ar-Ra’yu As Sadid Fiima Idza Waafaqa Yaumul Jum’ah wal ‘Id” yang artinya Pendapat akurat jika hari ‘Id bertepatan dengan hari Jum’at.

Mazhab Hanafiyah

Di dalam Kitab Hasyiyah Ibnu Abidin, Penulis berkata :

أَمَّا مَذْهَبُنَا فَلُزُومُ كُلٍّ مِنْهُمَا. قَالَ فِي الْهِدَايَةِ نَاقِلًا عَنْ الْجَامِعِ الصَّغِيرِ: عِيدَانِ اجْتَمَعَا فِي يَوْمٍ وَاحِدٍ فَالْأَوَّلُ سُنَّةٌ وَالثَّانِي فَرِيضَةٌ وَلَا يُتْرَكُ وَاحِدٌ مِنْهُمَا اهـ

 

Artinya, “Adapun mazhab kami (Hanafiyah) adalah wajib melaksanakan keduanya. Di dalam kitab Al-Hidayah, menukil dari Al-Jami’ Ash-Shoghir, 2 hari raya berkumpul dalam 1 hari (jum’at dan ‘id) yang awal (‘id) hukumnya sunnah dan yang kedua hukumnya fardhu, maka kedua-duanya tidak boleh ditinggalkan.” (Hasyiyah Ibnu Abidin 2/166)

Imam Al Kasani dalam Bada’i’us Shonai’ menukil dari pengarang kitab Al-Jami’ Ash-Shoghir (Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani) mengatakan bahwa apabila hari ‘id dan sholat Jum’at bertepatan, yang awal adalah sunnah dan yang kedua hukumnya wajib, maka yang kedua tidak gugur (kewajibannya). (Bada’ius Shona’I’ 1/275)

Syakh Bin Jibrin berkomentar, “Dan secara zahir dari mazhab Hanafiyah bahwa sholat Jum’at tidak gugur dengan adanya Idul Fitri atau Idul Adha, karena ‘Id, sunnah sedangkan sholat Jum’at wajib.” (Ar-Ra’yu As Sadid Fiima Idza Waafaqa Yaumul Jum’ah wal ‘Id)

Mazhab Maliki

Al-Kharasyi dalam mensyarh Mukhtashor Kholil berkata, “Apabila hari ‘id bertepatan dengan hari Jum’at, maka tidak diperbolehkan bagi mereka yang sudah sholat ‘id (di dalam kota atau di luarnya) untuk meninggalkan Jum’at dan jamaa’h. meskipun imam mengizinkannya (sesuai pendapat yang masyhur di kalangan Malkiyah). Karena hal itu bukanlah hak imam.” (Syarh Kharasyi Ala Mukhtashor Khalil 2/92)

Di dalam Mudawwanah disebutkan bahwa Imam Malik ditanya tentang Idul Adha atau Idul Fitri yang bersamaan dengan hari Jum’at. Kemudian seseorang yang tinggal di kota sholat ‘id bersama imam, kemudian dia berkeinginan untuk meninggalkan sholat Jum’at. Apakah sholat ‘idnya bersama imam menggugurkan kewajibannya untuk melakukan sholat Jum’at? Maka Imam Malik menjawab, “Tidak.” Imam Malik berkata, “Saya tidak mendapati seorangpun yang mengizinkan kepada penduduk sekitar Madinah kecuali Utsman bin Affan –radhiyallahu anhu– dan Malik tidak mengambil pendapat Utsman tersebut. (Lihat Mudawwanah 1/142)

Dari dua nukilan di atas, dapat disimpulkan bahwa masyhur dari ulama Malikiyah adalah tidak boleh seseorang meninggalkan sholat Jum’at meskipun di pagi harinya dia sudah melaksanakan sholat’id.

Mazhab Syafi’i

Imam Asy-Syafi’i di dalam Al-Umm berkata :

ولا يجوز هذا لأحد من أهل المصر أن يدعوا أن يجمعوا إلا من عذر يجوز لهم به ترك الجمعة ، وإن كان يوم عيد

Artinya, “Dan tidak boleh bagi penduduk kota untuk meninggalkan sholat Jum’at, kecuali karena uzur syar’i yang memperbolehkan mereka meninggalkan sholat Jum’at, meskipun itu pada hari raya (‘id).” (Al-Umm   : 212)

Di sini Imam Syafi’I menyebutkan bahwa meskipun Idul Fitri atau Idul Adha, maka seseorang yang tinggal di kota tidak boleh meninggalkan Jum’at. Perlu diketahui, pada zaman dahulu, sholat Jum’at tidak diselenggarakan di setiap tempat.

Imam An-Nawawi berkata, “Apabila hari ‘id bertepatan dengan hari Jum’at dan penduduk desa yang mendengar seruan untuk sholat ‘id datang ke kota dan mereka tahu, jika mereka pulang, maka mereka akan ketinggalan sholat Jum’at. Maka diperbolehkan bagi mereka untuk pulang dan meninggalkan sholat Jum’at pada hari tersebut. Hal ini adalah yang shohih dan disebutkan secara nash di qaul qadim maupun qaul jadid (Imam Syafi’i).” (Raudhotut Tholibin 2/79)

 

Dari dua perkataan ini dapat dipahami bahwa pada zaman dahulu sholat Jum’at hanya dilakukan di kota dan tidak di pedalaman, sehingga orang-orang yang tinggal di pedalaman (ahlul Badiyah) akan mendapatkan masyaqqoh (keberatan) jika harus bolak-balik 2 kali untuk melakukan sholat ‘id dan sholat Jum’at. Oleh karena itu rukhshoh untuk tidak sholat Jum’at berlaku bagi mereka, menurut mazhab Syafi’i.

Mazhab Hanbali

Abdullah bin Ahmad di dalam Masail-nya berkata, saya bertanya kepada bapak saya (Ahmad bin Hanbal) tentang dua ‘id yang bersamaan (jumat dan ‘idain), apakah boleh salah satu ditinggalkan? Bapak saya menjawab, “Tidak masalah, saya haram hal itu (sholat di salah satu ‘id itu) sudah cukup.” (Masail Abdullah bin Ahmad, nomor 482)

Ibnu Qudamah berkata :

وإذا وقع العيد يوم الجمعة ، فاجتزئ بالعيد وصلى ظهرا جاز إلا للإمام

Artinya, “Jika hari ‘id dan jumat bersamaan, maka mencukupkan dengan sholat ‘id kemudian sholat zuhur, hal ersebut diperbolehkan, kecuali bagi imam.” (Al-Muqni’ wa Hasyiyatihi 1/251)

Dari pemaparan ini, maka dapat disimpulkan bahwa mazhab Hanbali berpendapat, jika sholat ‘id terjadi pada hari jum’at maka diperbolehkan untuk tidak sholat Jum’at dengan catatan sudah melakukan sholat ‘id.

Pendapat yang Dipilih

Syaikh Bin JIbrin berkata, “Setelah mempelajari dan mengkaji buku-uku para ulama dan mengetahui mazhab dan pendapat mereka terkait masalah ini, maka menurut saya yang rajih adalah pendapat mazhab Syafi’i. pendapat ini juga merupakan salah satu riwayat dari imam Ahmad, meskipun tidak masyhur.

Rukhshoh untuk tidak mengikuti sholat Jum’at bagi yang sudah sholat’id, hanya berlaku bagi orang yang datang dari tempat yang jauh, seperti penduduk pedalaman dan yang semisalnya. Hal ini merupakan keringanan bagi mereka. Karena sebagian mereka menempuh perjalanan 2 jam atau lebih. Mereka bisa saja berjalan satu jam atua lebih sebelum fajar (untuk mengikuti sholat ‘id) dan setelah sholat mereka juga harus kembali keoada keluarga mereka dengan berjalan kaki atau menaiki tunggangan seperti keledai atau unta.

Kalau mereka harus datang sholat Juma’at lagi (dengan menempuh perjalanan 2-3 jam), kemudian setelah shola mereka harus kembali lagi, maka hari ‘id mereka hanya akan habis di jalan. Ini adalah bentuk masyaqqah yang menyelisihi nilai-nilai keislaman.” (Ar-Ra’yu As Sadid Fiima Idza Waafaqa Yaumul Jum’ah wal ‘Id)

Wallahu a’lam bissowab.

(Miftahul Ihsan/RAM)