Syahidnya Tokoh Utama Film Dokumenter Peraih Oscar 2017

Eramuslim.com – Penyelamatan ‘The Miracle Baby’ jadi kisah utama di dalam film dokumenter ‘The White Helmet’ yang meraih Piala Oscar 2017.

Sebuah bom rezim Assad dijatuhkan di daerah Anshari, Aleppo timur tahun 2014, dan membuat sejumlah warga terluka.

Namun bom Birmil susulan jatuh di lokasi, meratakan bangunan dengan tanah dan membunuhi warga, termasuk yang terkubur hidup-hidup.

Relawan ‘White Helmet’ segera menuju lokasi serangan. Mereka bekerja keras 16 jam menggali untuk mengevakuasi mayat, atau barangkali masih ada yang selamat.

“Pada saat itu kami mencari diantara rerutuhan untuk seorang bayi (hilang) yang diduga sudah meninggal,” kata seorang relawan dalam film dokumenter.

Subhanallah, di tengah keputusasaan tentang nasib bayi itu. Tim ‘White Helmet’ akhirnya mendengar suara tangisan.

Mereka kembali bergegas mencari sumber suara dan berupaya menolongnya. Kepala bayi Mahmud terlihat dari celah-celah kehancuran.

Alhamdulillah, tangan relawan bernama Khaled Omar Harrah menjadi perantara pertolongan itu. Ia menarik dan mengeluarkan tubuh Mahmud kecil dari reruntuhan.

Film ini diganjar dengan hadiah piala Oscar dalam kategori film dokumenter terbaik. Namun, sang aktor utama penyelamatan tak muncul di film dokumenter ini.

Tidak ada cerita langsung darinya. Hanya teman-temannya yang mengisahkan momen mengharukan itu.

Khaled Omar Harrah, sang pejuang kemanusiaan White Helmet di Aleppo telah syahid (Insya Allah) dalam serangan udara di Aleppo, 11 Agustus 2016. Atau sebulan sebelum film dokumenter itu ditonton dunia.

Khaled adalah satu dari sekitar 3.000 relawan White Helmet lain yang bekerja di kehancuran perang Suriah.

Semasa pengabdiannya, Khaled hidup dengan menantang risiko setiap hari, berlari ke wilayah yang terkena serangan udara rezim Assad untuk menyelamatkan warga, atau hanya mendapati mayat hancur.

Ia dikenal sebagai spesialis penyelamat anak-anak, karena di berbagai dokumentasi sering menggendong anak-anak yang baru diselamatkan.

Pada Hari Kemanusiaan Dunia 19 Agustus 2016, atau seminggu setelah Khaled gugur, Al-Jazeera mewawancarai Ibrahim al-Hajj (26), Kepala media White Helmet Aleppo timur (saat masih dikontrol oposisi).

Berikut kenangan Ibrahim tentang Khaled:

Suatu hari, seperti biasa saya tidur jam 11 malam. (tiba-tiba) Istri saya membangunkan pada pukul 1 dini hari, mengatakan ada suara yang aneh dan pemboman.

Saya terkejut mengetahui bahwa al-Zibdiya, daerah saya tinggal, diserang dengan bom fosfor putih.

Kami segera ke luar untuk melihat sekitar, dan menemukan (langit) latar terang benderang meski masih malam. Ada api di mana-mana.

Saya bergegas menuju daerah yang terkena serangan. Pesawat tempur meningkatkan serangan udara di malam hari. Jika kita menyalakan lampu, mereka akan menargetkan.

Ketika serangan udara dimulai ke daerah-daerah sipil dan perumahan Aleppo, kami (relawan) menuju ke sana.

Kami mencari warga sipil yang terluka, segera menyelamatkan mereka dari reruntuhan, atau menarik jenazah korban. Jika ada laporan korban anak-anak, kami akan menunggu hingga bisa menemukan dan mengeluarkannya.

Warga ini adalah keluarga kami. Saya kenal mereka, dan saya merasa takut hal sama bisa dialami istri, kakak, ibu atau anak saya.

Karena kemungkinan pesawat tempur masih akan menyasar daerah yang sama. Kami menempatkan diri dalam bahaya.

Situasi sangat sulit. Nasib kami berada di tangan Allah. Tapi, kami selalu berpikir: “Bagaimana jika masih ada orang di bawah reruntuhan, dan kami bisa menyelamatkan nyawanya?”.

Sehingga kami akan merasa bersalah jika datang terlambat ke tempat serangan.

Kami mencoba menjadi yang paling pertama ada di tempat kejadian sehingga dapat menyelamatkan korban.

Dari awal bergabung dengan pertahanan sipil (White Helmet), kami sadar pekerjaan ini sangat berbahaya.

Saya adalah seorang mahasiswa tahun kedua di jurusan penerjemah di Homs University. Konflik Suriah terjadi ketika saya mengikuti dinas wajib militer. Saya terpaksa membelot karena melihat berbagai hal buruk di tubuh militer rezim Assad.

Bom Birmil pertama mulai menghujani Aleppo sejak Juni 2013. Itu adalah saat pertahanan sipil Aleppo didirikan.

Saya bertemu Khaled ketika bergabung menjadi relawan. Ia lebih dari sekedar saudara bagi saya.

Kematiannya berdampak untuk semua tim pertahanan sipil. Setiap penduduk Aleppo mengenal Khaled, karena karisma dan ketangguhannya.

Ia juga dijuluki “penyelamat anak-anak” karena banyaknya anak kecil yang diselamatkannya dari reruntuhan.

Sebagian besar bisa dikeluarkan dalam keadaan selamat, bahkan setelah terkubur tumpukan besar puing-puing dalam waktu lama.

Khaled selalu merasakan dalam hatinya, bahwa ada anak di bawah sana. Dengan izin Allah, ia akan mengeluarkan bayi itu dalam keadaan hidup.

Saya membuat film dengan kamera ponsel saat Khaled menarik “Miracle Baby” dari bawah reruntuhan.

Kami tidak pernah membayangkan, bayi itu akan keluar hidup-hidup. Satu saja langkah salah, maka bisa menyebabkan kematiannya.

Khaled memutuskan menolong menggunakan tangan. Hanya dengan mendengarkan tangisan, meraba dan menggali, ia berhasil.

Bayi “ajaib” itu keluar tanpa cedera meski berada di bawah reruntuhan bangunan lima lantai.

Khaled secara teratur akan mengunjungi anak-anak yang diselamatkan.

Ia sangat mencintai semua orang. Ia bercanda dengan semua orang. Dan entah bagaimana, ia tiba-tiba menghilang.

Tak lama setelah menyelamatkan “Miracle Baby”, Khaled pergi ke Washington DC dan New York untuk menghadiri pertemuan.

Ia bahkan berbicara dengan Basyar al-Ja’afari, dubes rezim Suriah di PBB, sambil membawa pecahan bom Birmil.

Khaled berkata kepadanya: “Lihatlah apa yang kalian gunakan untuk menyerang rakyat Suriah”.

Ketika menelepon saya dari sana, ia mengatakan: “Sejujurnya, saya tidak ingin datang ke AS. Mereka menawari saya tinggal di sana secara permanen, bersama istri dan anak, tapi saya tidak mau. Saya ingin kembali ke Suriah dan melakukan pengabdian”.

Terus terang, saya belum pernah menemukan orang seperti Khaled. Jika ada orang lain yang ditawari seperti itu, mereka mungkin akan meninggalkan Suriah.

Ia memiliki putri berusia tiga tahun bernama Israa. Anak itu lengket dengan Khaled, dan selalu berkata: “Semoga Allah melindungi ayah saya”.

Kematiannya memberikan saya kekuatan moral dan alasan agar terus mengabdi di Suriah.

Saya tahu, bagaimanapun, kami bisa terbunuh setiap saat.

Istri saya bertanya (tentang kematian): “Mengapa kamu menunggu momen itu?”

Saya katakan padanya: “Kemana kita akan pergi? Jika takdir kita adalah kematian, maka kemanapun kita akan mati”.

Ini adalah tahun keenam perang Suriah. Membuat saya berpikir sendiri, Kapan ini berakhir?

Apa salah anak-anak itu sehingga layak mengalami ini semua?

Tidak ada keluarga di Aleppo timur tanpa anggotanya yang pernah terluka atau meninggal.

Namun, kami masih memiliki banyak “Khaled”. Kemarin, saya mewawancarai seorang relawan yang terluka. Ini membawa pengaruh besar bagi saya.

Kini, Aleppo timur telah jatuh ke tangan pihak rezim Assad setelah gempuran mematikan berbulan-bulan. Puluhan ribu penduduknya dievakuasi ke provinsi Idlib, termasuk relawan White Helmet.

Mereka tetap akan melanjutkan pengabdiannya ke tempat-tempat yang dihajar serangan udara. Menjadi penyelamat paling awal.

Tubuh Khaled terkubur di Aleppo, namun cerita heroismenya akan melekat di hati penerusnya. Semangat Khaled tidak akan padam dalam sejarah kemanusiaan.

Semoga Allah mengganjarnya dengan pahala syahid….

Khaled menggendong salah satu anak korban keganasan rezim Syiah Suriah

(jk/sumber: risalahTV dan Portalislam)