Syaikh Haji Rasul dan Fitnah Kekuasaan (1)

Tahukah Anda jika musuh-musuh Islam senantiasa membuat satu daftar klasifikasi terhadap para ulama yang berpengaruh di satu negeri? Demikian pula yang terjadi di Indonesia semasa penjajahan Belanda, Jepang, sampai sekarang. Mereka membuat daftar dan memisahkan para ulama ini berdasarkan apakah mereka bisa diajak bersekutu dengan penjajah atau tidak.

Untuk ulama yang dianggap bisa diajak bersekutu (musyarokah), maka penjajah memberikan mereka jabatan, dana, dan berbagai fasilitas duniawi. Tentu saja, dalam melakukan pendekatan dengan mereka, para penjajah tetap memakai strategi yang sangat halus agar tidak menyinggung perasaan mereka. Jadi, dengan berdekatan dan bekerjasama dengan penjajah, para ulama tersebut tetap menganggap langkahnya sudah sesuai dengan koridor dakwah Islam, dan jika ada beberapa prinsip agama yang dikorbankan, maka itu pun dilakukannya demi kemashlahatan dakwah. Ini adalah paradigma yang sengaja di tanamkan musuh-musuh Islam di mana pun kepada para ulama yang bisa dikendalikannya.

Dan untuk ulama yang dianggap tidak bisa diajak bekerjasama, maka penjajah pun segera menghancurkan namanya lewat operasi-operasi intelijen yang sistematis. Berita-berita dusta disebarkan agar umat tidak percaya pada sosok ulama seperti ini, berbagai dokumen palsu dibikin yang isinya juga berisi fitnah terhadap mereka, karirnya dihambat, bahkan tempat mereka mencari nafkah pun diganggu. Jalan terakhir yang dilakukan penjajah terhadap para ulama yang tidak mau diajak bekerjasama adalah dengan menjebloskan mereka ke dalam penjara lewat suatu peristiwa yang direkayasa, atau jika perlu membunuhnya, baik dengan diracun atau lewat operasi terselubung sehingga orang banyak menganggapnya sebagai kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja, atau pun sakit yang tidak bisa disembuhkan. Sebab itu, ulama jenis ini sangat berhati-hati di dalam menjalani hidupnya dan memasrahkan diri sepenuhnya kepada perlindungan Allah SWT.

Islam pun telah membuat penggolongan terhadap para ulamanya. Ulama Akhirat dan Ulama Dunia. Ulama akhirat adalah ulama yang sebenarnya, yang menghidupi Islam dan umat-Nya dengan cahaya ilmu dan pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan Ulama dunia sebaliknya, ulama ini hidup dengan menjual Islam dan umat-Nya demi kekayaan dan kemashyuran diri, keluarga, dan kelompoknya sendiri. Dagang umat, itu hakikat profesinya.

Rasulullah SAW sendiri telah memberikan umat ini pedoman untuk bisa memilah mana ulama yang baik dan mana ulama yang buruk. Al-Ghazali dalam Ihya ‘Ulum ad Din menyitir sebuah hadits Rasulullah SAW, “Ulama yang paling buruk adalah ulama yang suka mengunjungi penguasa, sementara penguasa yang paling baik adalah yang sering mengunjungi ulama.” (HR. Ibnu Majah).

Dalam hadits lainnya, Rasulullah SAW bersabda, “Kaum ulama adalah para pemegang amanat Rasul (untuk disampaikan) kepada hamba-hamba Allah selagi mereka tidak bergaul dengan para penguasa. Apabila mereka telah menjalin hubungan dengan para penguasa, berarti mereka telah berkhianat kepada Rasul. Oleh karena itu, berhati-hatilah kamu kepada mereka dan jauhilah mereka.” (HR. al-Uqayli, lihat al-Ghazali: Kehidupan Ulama Dunia dan Akhirat; 1986).

Setelah Rasulullah SAW, seluruh sahabat juga bersikap wara’ dan sangat hati-hati terhadap dunia dan fitnah kekuasaan. Salah satunya ditulis oleh Ali bin Abi Thalib r.a. dalam suratnya kepada Mu’awiyah: “Dunia membuat orang sibuk dan melupakan urusan-urusan lain. Pengejar dunia tak pernah mendapat sesuatu, selain rasa tak puas. Sungguh, ia tak kan pernah puas pada setiap apa yang diperolehnya.”

Sejarah Indonesia membuktikan hal ini sejak zaman dahulu hingga detik ini. Sepanjang zaman ada saja dua jenis ulama seperti di atas.

Laporan Rahasia PID

Contoh upaya penggolongan para ulama yang dilakukan penjajah Belanda bisa kita lihat dalam laporan-laporan rahasia Dinas Polisi Belanda (PID) bertarikh 1916. Menurut laporan salah satu agennya bernama L. Ph. Van Ronkel yang juga seorang ahli bahasa Melayu, di Sumatera Barat paska Perang Paderi (1831-1839) terjadi polarisasi yang tajam antara kaum agama yang berpikiran maju dengan kaum adat ortodoks.

Ronkel menulis, “Saat itu, di Sumatera Barat ada tiga corak orientasi keagamaan: Pertama, tradisi agama lama yang mengakomodasi adat; Kedua, aliran baru tetapi bersifat ortodoks; dan ketiga, modernisme atau reformasi Islam yang dimotori oleh kaum muda.” (Taufik Abdullah; “Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia”, 1987. Lihat juga Alfian: “Muhammadiyah: The Political Behaviour of Muslim Modernist Organization Under Dutch Colonialism”; 1989)

Dalam laporan rahasia tersebut Ronkel menyebut sejumlah nama ulama Sumatera Barat: Syaikh Muhammad Djamil Djambek ditulisnya sebagai “seorang praktisi yang memiliki sifat pragmatis”, Haji Abdullah Muhamad adalah “Politisi dan intelektual”, Haji Muhammad Thaib adalah seorang yang lembut, tenang, dan menghindari perdebatan sengit. Dan untuk Haji Rasul, van Ronkel memberikan label “seorang yang sangat fanatik”. Dibanding dengan ulama-ulama lainnya, Belanda memang sangat takut pada Haji Rasul (Subhan SD; Ulama-Ulama Oposan; 2000; h.32).

Syaikh Haji Rasul, yang dianggap paling fanatik oleh Belanda, merupakan tokoh terdepan dalam gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau. Gerakan pembaharuan Islam atau Reformis Islam yang terjadi di Minangkabau bukanlah sebuah gerakan yang berorientasi kekuasaan, melainkan pencerdasan umat dengan nilai-nilai dakwah Islam yang benar dan lurus. Gerakan ini malah berdiri dengan kokoh di sisi umat, bukan di sisi penguasa. Mereka mengambil jalan para nabi, bukan jalan para pendukung Firaun dengan Bal’am-nya  dan Qarun. Syekh Haji Rasul, ayahanda dari HAMKA, merupakan sosok ulama yang bisa diteladani oleh umat Islam sekarang, agar kita tidak seperti bebek yang begitu mudah digiring kesana-kemari. Dan tidak seperti keledai yang mudah ditipu dengan dalil-dalil yang keluar dari mulut ulama dunia. (bersambung/rd)