Catatan Pengajian di Bumi Sakura: “Experiencing Islamic Culture”

Awal Februari 2010, Masjid Fukuoka kembali menggelar program dakwah yang dikemas dalam bentuk workshop berbahasa Jepang dengan tema “Experiencing Islamic Culture”. Acara tersebut memiliki setidaknya tiga tujuan utama. Pertama adalah menjaga hubungan sosial dengan masyarakat Jepang yang dulu pernah berinteraksi dengan kami sebelum Masjid berdiri.

Saat itu, kami selalu meminjam balai desa mereka untuk menyelenggarakan sekolah bahasa Arab. Tujuan berikutnya adalah untuk melibatkan sebanyak mungkin muslim dan muslimah Jepang, agar mereka lebih aktif berpartisipasi dalam kegiatan masjid. Adapun tujuan ketiga dari workshop tersebut adalah menyebarkan syiar dan dakwah Islam.

Sekitar 70 orang Jepang non-muslim hadir diacara tersebut. Pemandu acara workshop adalah seorang muslimah Jepang yang pernah belajar agama di Syiria selama 1 tahun. Acara dibuka dengan membacakan surat Al-Fatihah oleh seorang mu’alaf Jepang. Berikutnya adalah presentasi oleh muslim Jepang selama 25 menit.

Tema yang diangkat adalah dasar-dasar Islam dan kesan tentang Islam yang berkembang di sebagian besar masyarakat Jepang. Tak lupa penjelasan dan tafsir singkat tentang surat Al-Fatihah juga disinggung dalam presentasinya. Presentasi ditutup dengan mengucapkan salam berikut penjelasan tentang arti salam dalam agama Islam.

Presentasi kedua disampaikan oleh seorang muslim Jepang yang relatif senior (dituakan) diantara komunitas mualaf. Di presentasi kedua tersebut, sejarah singkat berdirinya Masjid Fukuoka; termasuk didalamnya usaha-usaha dialog dengan masyarakat disekitar lokasi masjid sebelum Masjid didirikan. Presentasi disampaikan dengan gaya penuturan yang santai tapi sangat informatif. Presentasi kedua ini berlangsung 10 menit lebih singkat dibanding presentasi pertama.

Setelah presentasi kedua selesai, acara dilanjutkan dengan makan siang. Sajiannya adalah hidangan dari berbagai macam negara; seperti Nasi Biryani dari Bangladesh、sup daging dan lauk serta makanan kecil khas Indonesia. Makanan ringan dan ayam masak merah khas Malaysia ikut meramaikan meja hidangan.

Tak ketinggalan juga nasi lemak dan satai ayam ala Mesir, ditambah dengan aneka camilan serta menu lainnya. Sebelum mengambil hidangan yang tersedia, para peserta mendapat penjelasan tentang jenis makanan dan asal negaranya. Mereka nampak sangat antusias mendengarkan penjelasan tersebut dan segera larut menikmati hidangan yang tersaji.

Dan seperti biasanya, saat makan adalah saat santai dimana kami bisa berbagi cerita dan pengalaman. Dalam situasi makan tersebut saya bertemu dengan salah seorang peserta yang langsung mendatangi saya dengan wajah sumringah. Dia berkata bahwa dia sering melihat saya bersepeda dengan kedua anak saya tapi selalu ragu-ragu untuk menyapa. Dia menyatakan sangat senang bisa hadir diacara tersebut dan berkesempatan mengenal saya secara lebih dekat lagi. Siapa menduga bahwa dia ternyata adalah salah satu tetangga saya yang tinggal di apartemen yang sama, tapi berbeda lantai. Dia di lantai 3. sedangkan saya di lantai 8.

Saat kami masih sibuk berbagi resep masakan sup daging, tiba-tiba azan zuhur berkumandang. Kebetulan acara makan juga sudah selesai hingga kami bisa segera turun ke ruang sholat. Kira-kira 15 menit sesudah azan, komat dikumandangkan dan kami melaksanakan sholat zuhur berjamaah dengan disaksikan oleh para peserta workshop yang duduk berjajar rapi di belakang kami.

Ada berbagai macam kesan yang saya tangkap tapi sulit untuk dilukiskan dengan kata-kata;. sesaat setelah selesai sholat berjamaah. Saya menyaksikan berbagai macam perubahan ekspresi wajah para peserta workshop yang seperti larut sejenak dalam sebuah keheningan yang tak terelakkan. Saya hanya mampu berdoa dalam hati, semoga perubahan ekspresi mereka merupakan pantulan dan pengakuan dari alam bawah sadar, yang keluar dan berbisik di sanubari, bahwasanya Allah itu ada dan hanya Dia-lah yang layak disembah.

***

Setelah sholat zuhur, acara dilanjutkan dengan diskusi kelompok. Tiap kelompok diskusi terdiri dari 4-5 peserta, 1 atau 2 muslimah/muslim Jepang, dan 1 muslimah/muslim internasional tergantung apakah itu di kelompok pria atau wanita. Peserta dipersilahakan untuk bertanya tentang apa saja yang berkaitan dengan Islam maupun budaya Islam.

Dalam kelompok diskusi saya, salah satu pertanyaan yang muncul adalah Islam dan terorisme. Mereka membandingkan dengan salah satu ajaran Kristen yang kurang lebih menyatakan “bila pipi kirimu ditampar, berikanlah pipi kananmu”. Kebetulan teman muslimah Jepang dalam kelompok saya pernah belajar di Syiria dan sedikit banyak tahu tentang budaya Islam secara langsung. Dengan luwesnya dia berujar bahwa ajaran itu sangat sulit diterapkan. Sambil mengkomunikasikan jawabannya kepada saya, dia melanjutkan:

“Dalam ajaran kami, bila kita disakiti oleh orang lain, maka kita mempunyai 3 pilihan. Yang pertama, balaslah dengan setimpal/ adil; kedua, maafkanlah; dan ketiga, maafkanlah dan ajaklah berteman menuju kearah perbaikan”. Semakin tinggi pilihan yang kita ambil, semakin banyak pahala yang disediakan Allah untuk kita. Kita bebas untuk memilih. Dan biasanya mayoritas orang akan selalu berusaha untuk memilih yang ketiga atau paling tidak yang kedua”. Jawabannya sungguh mencerminkan pemahaman dan pengalamannya berinteraksi langsung dengan masyarakat Islam dimana dia belajar dulu.

“O…” kata peserta diskusi manggut-manggut, seperti berusaha memaklumi dan memahami jawaban teman saya. Melihat reaksi mereka, saya langsung menimpali, “Yang perlu digaris bawahi disini adalah kita tidak memulai, kita hanya terpaksa membalas bila dirasakan perlu untuk mempertahankan diri”. Teman saya menambahkan lagi dengan beberapa contoh yang berlaku di masyarakat Jepang; dimana orang pasti akan berjuang sampai titik darah penghabisan kalau perlu nyawa taruhannya, demi menjaga kehormatan atau harga diri keluarga. Sebuah penjelasan penutup yang manis!

Topik lain yang juga menjadi bahan diskusi dikelompok kami adalah perbedaan antara tuhan dalam pengertian orang Kristen dan orang Islam; dan kesan sulitnya menjadi orang Islam yang harus sholat 5x sehari. Diskusi masih berlangsung dengan seru dan hangat saat moderator memberikan tanda bahwa sesi diskusi kelompok sudah habis. Banyak gumam kecewa dan ketidakpuasan dari peserta karena menginginkan diskusi yang lebih panjang lagi. “Alhamdulillah, sebuah pertanda bagus!”, bisikku dalam hati.

Selesai diskusi kelompok, tiap wakil kelompok membuat semacam laporan dan kesan singkat dari hasil diskusi kelompoknya. Alhamdulillah, betapa banyak kesan positif dari para peserta terhadap acara workshop ini. Lebih bersyukur lagi saat para peserta merasa mendapatkan pengetahuan dari sisi lain tentang Islam, yang selama ini hanya mereka kenal lewat media massa atau pemberitaan lainnya yang tentu saja cenderung negatif dan tidak baik. Ada perasaan bahagia yang sulit terungkapkan saat para peserta menanyakan kapan akan diadakan acara serupa lagi.

***

Kira-kira dua hari setelah acara workshop, seorang muslimah Jepang menelpon saya. Dia berkata bahwa dia merasa sangat bersyukur karena bisa bekerja sama, bahu-membahu dalam suasana yang akrab dan menyenangkan dengan sesama rekan muslimah internasional. Sebuah situasi gotong-royong dan berbagi yang terjadi baik sebelum maupun selama acara berlangsung, hingga kegiatan bersih-bersih bersama diakhir acara. Sesuatu yang jarang sekali dialaminya sebagai muslimah Jepang minoritas, ugkapnya penuh keharuan. Dan bila sudah begitu, sayapun otomatis larut dalam keharuannya. Tanpa terasa buliran air menitik begitu saja karena merasakan jalinan ukhuwah yang begitu indah. Persaudaraan yang terus menguat karena kami sama-sama memiliki satu tekat untuk menebarkan syiar dan dakwah Islam di bumi sakura, InshaAllah.

Fukuoka, Pertengahan Februari 2010
Hanik Utami Morise