Catatan Pengajian di Bumi Sakura (2): Tantangan Dakwah di Negara Maju

Bangunan megah yang telah lama menjadi impian setiap umat Islam di Fukuoka itu kini berdiri tegak dihadapanku dengan sejuta pesonanya. Bangunan Masjid Fukuoka yang terdiri dari 4 lantai dengan luas kurang lebih 120 meter persegi itu kelihatan megah sekali.

Saat pertama kali masuk kedalamnya, ingatan saya langsung kembali ke beberapa tahun lalu. Betapa waktu itu semua saudara seiman berjuang keras dan bahu-membahu dari mulai proses ide pembangunan, penggalangan dana, pencarian lokasi, pendirian bangunan hingga akhirnya memasuki tahap sekarang ini. Tahap peresmian formal yang jatuh pada tanggal 12 April 2009 yang akan datang.

Terbayang kembali betapa pengorbanan waktu, tenaga, pemikiran maupun materi dari para pelopor dan pelaku aktif pendirian bangunan itu seperti terukir jelas di setiap sudut bangunanannya. Terlebih lagi kokoh dan indahnya desain bangunan yang serasa melukiskan kokoh dan indahnya persatuan teman-teman yang harus menempuh perjuangan yang panjang dan berliku. Dan semua pengorbanan tersebut serasa membuahkan hasilnya dengan berdirinya Masjid An-Nour yang sekarang ada ini.

Alhamdulillah, betapa saya termasuk salah satu dari sekian banyak muslim Fukuoka yang merasa sangat terbantu dan berterima kasih dengan adanya masjid ini. Berbagai agenda kegiatan dan program keislaman langsung menari-nari dikepala. Tekat untuk tidak menyia-nyiakan jerih payah para penggagasnya serasa menjadi sebuah tanggung jawab yang tidak terelakkan lagi. Sebuah tanggung jawab dan sekaligus amanah yang tidak ringan untuk menjaga bangunan semegah An-Nour agar tetap indah, dan bisa berfungsi maksimal sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pelopornya. Sebuah amanah yang melahirkan tantangan-tantangan tersendiri agar dakwah Islam bisa lebih bergaung di bumi Sakura ini.

Beberapa tantangan yang tampak jelas didepan mata dan saya rasa memerlukan kesungguhan untuk menjawabnya adalah beberapa tantangan berikut ini.

Kebersihan

Tantangan kebersihan merupakan PR tersendiri yang harus segera dipikirkan jalan keluarnya. Masjid An-Nour berdiri tegak ditengah lingkungan masyarakat yang memiliki tingkat kesadaran sangat tinggi akan kebersihan dan kecantikan lingkungan. Sudah bukan rahasia lagi bila (maaf) di beberapa kegiatan keislaman yang kami ikuti, kebersihan selalu menjadi masalah tersendiri. Entah sudah berapa kali saya dan teman-teman menyaksikan dengan mata kepala sendiri sampah dan bekas makanan anak-anak yang ditinggalkan begitu saja selepas acara. Kami mencoba berbaik sangka bahwa mungkin sang Ibu terlalu repot dengan anak-anaknya, hingga tidak sempat atau lupa membersihkan bekas makan anaknya yang berjatuhan di lantai. Masalah sampah ini juga kadang merupakan ujian kesabaran tersendiri.

Ujian itu muncul tatkala ada saudara yang dengan santainya menjatuhkan sampah ke lantai; dan hanya melihat sepintas pada kami yang tengah memunguti bekas-bekasnya satu-satu. Sungguh sebuah kenyataan yang ironis karena disatu sisi kita meyakini dan bangga dengan ajaran Islam yang indah. Salah satunya adalah ajaran bahwa kebersihan adalah sebagian dari iman. Tapi dalam prakteknya, kita masih harus belajar dari tetangga dan lingkungan kita yang notabene bukan muslim; dan juga tidak tahu tentang salah satu keindahan ajaran Islam tersebut. Rasanya ingin sekali saya menganjurkan agar tiap Ibu membawa serta satu kantong plastik didalam tas bawaannya; hingga tiap Ibu bisa memunguti sampah kecil anak-anaknya sebelum menemukan tempat sampah yang sebenarnya.

Satu lagi adalah, saya berharap sekali ada semacam kegiatan kerja bakti rutin yang tidak hanya dilakukan di dalam masjid; tapi juga di lingkungan sekitarnya seperti kebiasaan orang Jepang disini. Tujuannya adalah memberikan manfaat sosial kepada masyarakat disekitar masjid. Masyarakat yang sebelumnya sempat dilanda keragu-raguan sebelum menyetujui didirikannya masjid di lokasi tersebut. Lebih jauh lagi, sebenarnya program kerja bakti tersebut bisa dipakai sebagai sarana dakwah yang efektif dan nyata meskipun tanpa kata-kata.

Manajemen dan Koordinasi Kegiatan

Entah mengapa, di beberapa kegiatan keislaman yang sempat saya ikuti; sungguh terasa kalau kegiatan yang dilaksanakan memberikan kesan bahwa koordinasinya masih perlu ditingkatkan lagi. Sebuah seminar keislaman, dengan pembicara terkenal dari sebuah negara dibelahan benua Amerika Utara, merupakan salah contoh terjelas akan adanya kekurangan tersebut. Pembicara tersebut hanya bisa berbahasa Inggris sementara target pesertanya adalah orang Jepang. Saya tidak tahu apa sebabnya, sampai panitia penylenggara belum bisa mendapat atau mencari seorang interpreter untuk acara sebesar itu. Yang saya tahu kemudian, wakil panitia berusaha minta tolong rekan mualaf yang kebetulan berprofesi sebagai pengajar bahasa Inggris dan sudah pernah beberapa tahun tinggal diluar negeri.

Sepekan sebelum seminar, panitia menjanjikan untuk mengirimkan makalah yang akan dipresentasikan agar sempat dipelajari terlebih dahulu. Janji tersebut baru terlaksana tepat satu hari menjelang seminar dan rekan mualaf tersebut tidak punya cukup waktu untuk mendalami makalah yang lumayan panjang. Makalah untuk seminar sehari!

Bisa dibayangkan betapa kalang kabutnya rekan mualaf tersebut. Apalagi topik yang menjadi bahasan utama tergolong topik yang sangat sensitive dan mengandung banyak istilah teknis keislaman yang perlu pendalaman. Kejadian berikutnya tentu sudah bisa diprediksi.

Banyak peserta yang pulang ditengah jalan, sementara rekan mualaf yang bertugas sebagai interpreter tersebut merasa sangat malu dan bahkan sempat kapok dimintai tolong lagi. Butuh waktu yang lama untuk mengembalikan kepercayaan rekan tersebut agar mau kembali aktif terlibat dalam acara-acara keislaman. Sungguh sangat disayangkan. Padahal sebenarnya topik seminarnya sangat bagus dan akan sangat berguna dalam mengurangi rasa sentimen terhadap umat Islam yang sangat mendalam saat itu. Sentimen yang muncul pasca pemboman WTC oleh pihak tak bertanggung jawab.

Saya berharap bahwa kejadian seperti diatas tidak akan pernah terulang lagi meskipun saya juga menyadari bahwa itu bukanlah semudah membalikkan telapak tangan. Hal itu mengingat bahwa setiap kegiatan keislaman biasanya dimotori dan digerakkan oleh para mahasiswa yang pastinya juga sangat sibuk dengan urusan belajar dan juga keluarganya.

Disini terasa sekali perlunya melibatkan juga orang lokal muslim meskipun itu juga bukanlah hal yang mudah. Memang jadinya serba dilematis. Terutama bila kita mengingat bahwa saudara Jepang muslim itu sendiri tidak bisa secara otomatis ikut ambil bagian dalam kegiatan keisalaman kecuali beberapa gelintir saja. Hal ini lebih didasari pada karakter sebagian orang Jepang yang sangat pemalu dan tidak gampang berbaur dengan lingkungan baru (islam) yang mungkin saja sangat jauh berbeda budayanya dengan lingkungan asalnya.

Akan tetapi di atas semua itu, saya positif bahwa dengan niat yang sungguh-sungguh dan pendekatan yang tepat, InshaAllah kita akan bisa meningkatkan manajemen dan koordinasi di setiap kegiatan. Termasuk dalam usaha melibatkan lebih banyak sudara muslim lokal. Hingga dengan demikian, setiap usaha dakwah bisa mengenai sasarannya secara lebih efektif, InshaAllah.

Akses Informasi yang Cepat dan Akurat

Yang masih erat kaitannya dengan tantangan manajemen dan koordinasi seperti diuraikan diatas adalah akses dan penyebaran informasi. Beberapa rekan muslimah Jepang yang kebetulan tidak bersuamikan mahasiswa seringkali mendapat kesulitan dalam mengkses informasi yang berkaitan dengan kegiatan keislaman. Hal itu juga terjadi pada beberapa rekan muslimah non Jepang, yang bersuamikan orang Jepang dan bukan mahasiswa. Betapa besar keinginan sebagaian saudara tersebut untuk ikut aktif berpartisipasi maupun belajar bersama dalam kegiatan keislaman tetapi seringkali informasi tidak sampai kepada mereka.

Dan setelah melalui beberapa pengamatan, saya berkesimpulan bahwa tidak sampainya informasi itu kemungkinan disebabkan oleh beberapa hal dibawah ini.

  1. Tiap orang beranggapan bahwa pasti semua orang sudah tahu.
  2. Yang mendapat amanah untuk meneruskan informasi ternyata lupa karena kesibukannya, atau belum sempat mengecek informasi yang sampai kepadanya.
  3. Informasi memang hanya berputar dikalangan tertentu saja dan tidak sempat diteruskan.
  4. Kendala bahasa atau kendala lainnya yang mungkin tidak sempat saya tangkap.

Oleh karena itu, saya sangat berharap bahwa kedepannya akan ada suatu jalan keluar agar akses informasi bisa lebih mudah terutama bagi mereka yang memang ingin sekali bergabung untuk menyumbangkan tenaga dan pemikirannya bagi kepentingan dakwah; maupun mereka yang sekedar ingin bergabung untuk belajar bersama.

Budaya Tepat Waktu

Saya sangat menyadari bahwa budaya dimana saya dibesarkan cukup terkenal akan konsep waktunya yang sangat elastis alias lentur bak karet. Setidaknya itulah pelajaran pertama di bangku kuliah saya yang membuat saya tersinggung dan sekaligus tersadar akan kondisi diri. Sebuah pelajaran Pemahaman Lintas Budaya (Cross Cultural Understanding) yang dibawakan oleh seorang dosen dari Amerika. Saya tersinggung kami dicap sebagai bangsa tukang ngaret tapi tidak sempat mengungkapkan perasaan saya karena keterbatasan nyali waktu itu, yang kemudian tertutupi juga oleh kesadaran akan sebuah realitas diri dan lingkungan saya.

Waktu terus berlalu dan saya mulai berusaha untuk menghilangkan cap itu, setidaknya dari diri sendiri. Dan seiring berjalannya waktu, entah sudah berapa kali saya mendengar komentar-komentar serupa tentang kebiasaan orang Indonesia yang satu itu. Akan tetapi saya sudah mulai lebih bisa menerima anggapan-anggapan yang melekat pada budaya kami meskipun tetap merasa tidak nyaman.

Akan tetapi, setelah sekian lama saya berusaha berbesar hati untuk menerima kritik atas budaya tersebut; rasa ketersinggungan saya muncul lagi tanpa bisa kuhindari. Suatu hari, kami hendak mengikuti sebuah acara keislaman. Kami memutuskan untuk berangkat bersama-sama dengan sebuah keluarga muslim Jepang.

Saat bersiap-siap hendak berangkat, tiba-tiba teman Jepang tersebut berujar ke suami saya, “Tidak usah terlalu tepat waktu Brother, karena orang Islam kalau mengadakan acara biasa terlambat jamnya”. Sebuah ungkapan datar yang mungkin diungkapkan dengan tanpa beban tapi serasa menusuk jantung saya. Saya berjuang untuk menahan rasa marah saya yang serasa sudah diambang batas. Saya marah sekali karena identitas Islam yang dikaitkan dengan budaya terlambat, padahal saya yakin bahwa itu semua tergantung individu masing-masing.

Satu lagi pelajaran berharga saya petik. Bahwasanya disadari atau tidak, tiap-tiap diri kita ini, mempunyai peluang yang sama untuk mewarnai potret islam. Potret islam bisa menjadi semakin bersih dan cemerlang karena keindahan ajaran dan ketakwaan pemeluknya; atau justru semakin suram karena tindakan beberapa oknum yang tidak mencerminkan ajaran Islam. Bahkan mungkin ia sebenarnya juga tidak sedang bermaksud secara sengaja untuk mewakili Islam dalam bertindak. Akan tetapi karena dia termasuk dalam komunitas Islam, orang akan langsung mengaitkannya dengan status keislamannya. Apalagi untuk lingkungan seperti di Jepang ini, dimana agama dan budaya Islam relatif baru untuk lingkungan masyarakatnya.

Akhirnya, saya bermaksud mengakhiri catatan pengajian kali ini dengan sebuah doa. Semoga tantangan-tantangan dakwah dinegara maju ini, bisa kami lalui dengan bimbingan dan pertolongan dari Allah SWT, InshaAllah, amin. Dan semoga Allah SWT selalu menyatukan hati dan tekat kami untuk selalu berjuang di jalan-Nya, InshaAllah, amin.

Fukuoka, Penghujung Awal April 2009

Terima kasih kepada para penggagas & pejuang berdirinya Masjid Fukuoka Thank you Kang Nana untuk sumbangan fotonya.