Depresi dan Kabah, Kisah Pemuda Singapura Bersyahadat

“Aku benar-benar ketakutan,” katanya sambil tertawa kecil.

Dia perlahan mempelajari Islam dan melakukan penelitian sendiri selama sekitar dua tahun. Ini dilakukan sebelum dia memutuskan mendaftarkan diri dalam kursus mualaf ketika dia berusia 19 tahun.

Menjadi polyglot memang berguna. “Beberapa bahasa (saya tahu) sedikit membantu ketika belajar Islam, tetapi materi utama saya masih dalam bahasa Inggris,” katanya.

Ketika Mak mengumumkan mualafnya di Facebook, orang mengira dia mengerjai mereka. “Seseorang benar-benar mengirimi saya pesan ‘ini lelucon kan?'”

Yang lain bisa tahu Mak orang yang sudah berubah. Suatu hari, setelah dia menjadi mualaf, Mak bertemu dengan seorang teman sekolah menengah saat makan malam.

Lima menit setelah makan, dia ingat temannya tiba-tiba berkata kepadanya, “Hei Darren, aku baru sadar kamu belum mengucapkan sepatah kata pun.”

Ibu Mak cukup senang dengan perubahan pada putranya. “Kamu memiliki tujuan hidup sekarang, kamu kini menjadi lebih baik, lebih bahagia,” katanya.

Namun ayahnya, sedikit lebih berhati-hati karena mualafnya Mak terjadi selama puncak kekejaman ISIS. “Dia sangat ketakutan sehingga saya berubah menjadi teroris. Dia sangat takut sampai hari ini pun dia masih ragu. Seperti ketika saya mengatakan saya akan ke Indonesia, misalnya, dia akan bertanya, melakukan apa?” ujar dia.

Sejak menjadi Muslim, Mak makan makanan yang berbeda dengan keluarganya. Namun, dia tidak memaksakan ibunya dapur yang benar-benar halal.