Goresan Pena Anak-Anak Bangsa di Negeri Seberang

Dalam salah satu sesi Pesantren Ramadhan untuk anak-anak Indonesia ini, saya dan sekelompok anak-anak awal usia remaja duduk melingkar di bawah sebuah pohon rindang di tepi danau. Saya meminta mereka menulis sebuah tulisan singkat dengan judul ”Being A Muslim in Australia.”

Ia mulai membaca, dalam bahasa Indonesia. ”…Menjadi seorang Muslim di negara yang bisa dikatakan belum menerima Islam sepenuhnya, yang pasti lumayan sulit. Mulai dari makanan halal yang sulit didapatkan di toko-toko biasa, masjid yang tidak terlalu mudah ditemukan, dan bagi akhwat-akhwat (mungkin maksudnya para muslimah-pen.) yang memakai kerudung masih sedikit diasingkan, dan lain-lain…”

Setelah dibujuk-bujuk, Wikan, seorang belia tiga belas tahun, mau juga membacakan tulisannya. Ia baru beberapa bulan tinggal di ibukota Queensland ini, mengikuti ibundanya yang menempuh program doktor. ”…We usually don’t know when is the time for salat, because there is no athan on the TV or radio and there are only a few mosques that we can hear the athan from; so we must have the timetable of the time for salat… As a Muslim, we also have to fast during the Ramadhan month. Fasting in Australia is more challenging than in Indonesia…”

Faiz, remaja dua belas tahun yang telah bermukim di Australia sejak kecil, masih terlalu pemalu untuk membacakan tulisannya. Akhirnya ia mengizinkan saya membacakan tulisannya di depan teman-temannya. ”…If somebody has teased the Islam religion, do not be angry, just ignore them and do what you were doing before. If you are angry and being agressive, they would think that Islam is a religion of war.”

Melihat putra-putri yang melewatkan sepenggal masa belianya di Negeri Kanguru ini, perasaan saya campur aduk: bangga, penuh harap, sekaligus sedikit khawatir. Hidup di negeri orang merupakan pengalaman langka yang tidak semua anak bangsa seusia mereka berkesempatan merasakannya. Mengikuti orangtuanya yang belajar atau bekerja, mereka juga tinggal, bermain, bersekolah, dan menjalani keseharian di sini.

Di satu sisi, mereka berkesempatan tinggal di sebuah negara maju dengan berbagai keunggulan di dalamnya: kemakmuran yang merata, kualitas pendidikan yang tinggi, pemerintahan yang profesional, sistem yang teratur dan mapan, penegakan hukum yang efektif, tingkat kriminalitas yang rendah, dan seterusnya. Namun, di sisi lain, mereka juga berhadapan dengan berbagai fenomena yang berbahaya bagi harta paling berharga bernama iman. Masyarakat yang cuek terhadap aspek spiritualitas, pemandangan vulgar di alam nyata maupun di media, prinsip ”fair go” yang membiarkan orang lain melakukan apa saja asal tidak mengganggu sesama dan tidak melanggar hukum positif, adalah beberapa di antaranya. Belum lagi kelakuan muda-mudi setempat: pesta pora, menghabiskan akhir pekan dengan hura-hura dan mabuk-mabukan, bergaul demikian bebas, bercumbu melakukan wet kiss di tempat-tempat publik, berjemur ala pantai di sembarang tempat di musim panas, dan seterusnya. Cukuplah itu semua membuat saya (dan juga kita) merasa khawatir.

Yang menggembirakan, banyak orangtua Muslim memberikan perhatian cukup besar terhadap pembinaan keagamaan putra-putri mereka. Taman Pendidikan Alquran (TPA) dan pelajaran agama di sekolah merupakan beberapa yang perlu dicatat, di samping pembinaan oleh orangtua di rumah yang memegang peranan paling penting. Sangat membanggakan bertemu anak yang sangat memperhatikan waktu shalat, tetap mengenakan kerudung di sekolah, turut shalat Shubuh berjamaah di masjid atau mushalla bersama ayahandanya, hafal kode emulsifier produk makanan yang tidak boleh dikonsumsi, dan seterusnya.

”Mau tinggal di Australia untuk seterusnya?” saya bertanya.

Pertanyaan itu mendapat respon berupa gelengan kepala sebagian besar dari mereka. Rata-rata mereka memang ingin kembali dan tinggal di Tanah Air. Ada yang sudah tahu kapan mereka akan pulang ke Tanah Air, terutama mereka yang orangtuanya menuntut ilmu di Sunshine State ini. Namun ada juga yang tidak tahu kapan mereka bisa pulang dan tinggal kembali di negeri kelahiran, bahkan ada yang telah menjadi warga negara Australia.

Saya benar-benar menaruh segudang harapan pada mereka. Di manapun mereka tumbuh dewasa dan mencari penghidupan, di belahan bumi manapun mereka berkesempatan menuntut ilmu, dan menjadi warga negara manapun mereka, semoga mereka tetap bangga, berjuang, dan teguh pada jatidiri mereka yang paling asasi: being a Muslim.

Sunshine State, Syawwal 1429
Salim Darmadi
salimdarmadi.multiply.com