Kisah Jurnalis Senior Dunia Yvonne Ridley Kagumi Keistimewaan Alquran

Eramuslim.com – Ia sempat ditahan pasukan Taliban. Setelah bebas, ia mempelajari Islam dan memilih menjadi pemeluknya tahun 2003.

Apa perasaan Anda jika tertawan dan ditangkap musuh? Mungkin susah untuk membayangkan nasib Anda akan berakhir pada sebuah kebahagiaan. Apalagi, jika menghadapi tuduhan sebagai mata-mata, penyusup, dan lain sebagainya.

Namun, tidak demikian dengan yang dirasakan Yvonne Ridley, seorang wartawati Inggris. Perempuan paruh baya ini justru mengaku bahagia setelah ditangkap dan diinterogasi pasukan Taliban yang oleh media massa Amerika Serikat (AS), digambarkan sebagai kelompok Islam garis keras dan kejam.

Pengalaman Ridley di Afganistan saat ditangkap pasukan Taliban, justru membuatnya mengenal Islam lebih dalam. Dan, dengan bersentuhan langsung dengan kelompok Taliban, Ridley merasakan perbedaan dengan tuduhan yang dilontarkan. Ridley menyebut kelompok yang oleh banyak negara dicap sebagai teroris ini sebagai keluarga terbesar dan terbaik di dunia.

Dikisahkan, mantan guru sekolah Minggu yang juga mantan peminum (gemar mabuk) itu masuk Islam setelah membaca Alquran seusai dilepas oleh Taliban.

Bekerja sebagai wartawan Sunday Express, surat kabar terbitan Inggris, pada September 2001 lalu, Ridley diselundupkan dari Pakistan ke perbatasan Afganistan untuk melakukan tugas jurnalistik. Saat itu, perempuan kelahiran Stanley, Distrik Durham, Inggris, tahun 1959 ini mencoba menyusup ke Afganistan secara ilegal. Tanpa paspor maupun visa.

Seperti dilansir dalam banyak pemberitaan di media massa, wartawati Inggris yang sudah kerap ditugaskan ke daerah-daerah konflik di dunia ini, tertangkap basah di sebelah timur Kota Jalalabad. Penyamarannya terungkap ketika ia jatuh dari seekor keledai persis di depan seorang tentara Taliban dan kameranya jatuh. Saat ditangkap, Ridley terlihat mengenakan burqa, sejenis busana Muslimah tradisional Afganistan.

Yang ada di benaknya ketika tentara itu dengan marah mendatanginya adalah rasa takjub. ”Luar biasa tampan. Bola matanya hijau, khas bola mata dari daerah itu dan dengan jenggot yang tebal,” batinnya.

Tak berselang lama, ketakutan mulai merayapinya. Ridley diinterogasi selama 10 hari tanpa diperbolehkan menggunakan telepon (ponsel) ataupun menghubungi anak perempuannya yang sedang berulang tahun ke-9.

Selama menjalani proses interogasi, Ridley mengaku tidak menyetujui apa yang dilakukan oleh kaum Taliban ataupun apa yang mereka percaya sebagai kebenaran. Awalnya, bagi Ridley, Taliban sama seperti yang digambarkan media massa Eropa tentang kelompok Islam ini.

Namun, perlakuan yang diterima Ridley selama menjalani masa penahanan dan interogasi justru mengubah semua pandangannya mengenai orang-orang Taliban. Menurutnya, anggapan umum kaum Taliban yang selama ini digambarkan sebagai monster sangat jauh dari realitas. ”Orang-orang Taliban adalah orang-orang yang baik dan mereka sangat ramah,” ujarnya.

Dalam acara keterangan pers yang digelar di Peshawar, Pakistan, seusai pembebasannya, Ridley menuturkan bahwa selama dirinya ditahan, secara fisik ia tak pernah diperlakukan dengan buruk oleh Taliban. Bahkan, perlakuan yang diterimanya tergolong cukup istimewa dibandingkan pesakitan para penghuni penjara lainnya.

Di dalam tahanan, Ridley dipisahkan dengan penghuni lainnya, termasuk para tahanan wanita. Selain itu, secara khusus, ruang tahanannya telah dibersihkan dari segala gangguan kecoa dan kalajengking. Berbeda dengan sel di sebelahnya, kamar di balik terali itu tetap kotor seperti biasanya, kata Ridley.

Atas pengakuan Ridley ini, banyak pihak yang mengatakan ibu dari seorang putri bernama Daisy ini terkena Sindrom Stockholm, di mana sandera malah kemudian memihak penyandera. Tetapi, ia membantahnya, ”Saya membenci mereka yang menangkap saya. Saya meludahi mereka, kasar terhadap mereka dan menolak makan. Saya tertarik Islam hanya ketika saya sudah bebas,” katanya menegaskan.

Dalam sebuah wawancara kepada situs Islamonline beberapa waktu lalu, Ridley mengungkapkan saat menjadi tawanan Taliban, seorang ulama mendatangi dirinya. Sang ulama menanyakan beberapa pertanyaan tentang agama dan menanyakan apakah ia mau pindah agama.

”Saat itu, saya takut kalau saya salah memberikan respons, saya akan dibunuh. Setelah berpikir masak-masak, saya berterima kasih pada ulama tadi atas tawarannya yang baik itu. Dan, saya bilang bahwa sulit bagi saya membuat keputusan untuk mengubah hidup saya saat sedang menjadi tawanan,” paparnya.

Kepada sang ulama, Ridley berjanji akan mempelajari agama Islam setelah dibebaskan dan kembali ke London. Begitu kembali ke Inggris, Ridley membaca Alquran melalui terjemahannya untuk mencoba memahami pengalaman yang baru dilewatinya.

”Saya luluh dengan apa yang saya baca. Tak ada satu pun yang berubah dari isi buku ini, baik titiknya maupun yang lain sejak 1.400 tahun yang lalu,” ungkapnya.

Dalam mempelajari Islam, Ridley memilih surat-surat dalam Alquran hanya yang ingin ia baca. Ia sangat mengagumi hak-hak yang diberikan Islam pada kaum perempuan dan inilah yang paling membuat dirinya tertarik pada Islam. Dalam buku yang ia tulis setelah pembebasannya, Ridley menceritakan bahwa dirinya juga sempat menemui Dr Zaki Badawi, ketua Islamic Centre London, dan berdiskusi dengannya seputar ajaran Islam.

Dari sinilah kemudian Ridley memutuskan untuk memilih Islam sebagai keyakinan barunya. Proses keislaman Ridley ini terjadi pada tahun 2003 silam. Mengenai pilihannya ini, Ridley mengungkapkan bahwa dirinya telah bergabung dengan apa yang ia anggap sebagai keluarga terbesar dan terbaik yang ada di dunia ini.

Bagaimana reaksi orang tuanya yang beragama Protestan Anglikan saat Ridley masuk Islam? ”Pada awalnya, keluarga dan teman saya khawatir, tetapi ketika mereka melihat bagaimana bahagianya saya. Saya lebih sehat dan merasa hidup saya lebih punya arti, mereka sangat senang,” papar Ridley.

Kebahagiaan, ungkap Ridley, terutama dirasakan sang ibu ketika ia memeluk Islam. Kebahagiaan tersebut disebabkan semenjak menjadi seorang Muslimah, Ridley memutuskan untuk meninggalkan kebiasaannya minum minuman keras. ”Ibu saya sangat gembira, karena saya sudah tak minum lagi.”

Setelah memeluk Islam, Ridley memutuskan untuk mengenakan baju Muslim dan jilbab. Ia pun hingga kini masih menjalankan profesinya sebagai seorang wartawan. Dedikasi Ridley sebagai wartawan memang tak diragukan lagi. Muslimah ini pernah bekerja pada sederet media bergengsi, seperti News of the World, The Daily Mirror, The Sunday Times, The Observer, The Independent, dan Sunday Express.

Redaktur Sunday Express, Martin Townsend, pernah mengungkapkan komentarnya mengenai Ridley, ”Dia adalah seorang jurnalis yang sangat berpengalaman dan berani.” Sementara itu, Colin Patterson, wakil redaktur dari Sunday Sun, menyebutnya sebagai pribadi yang hangat dan suka bersahabat.

Pascatragedi Lockerbie sembilan tahun lalu, Ridley adalah wartawan pertama yang berhasil mewawancarai Ahmad Jibril, pemimpin populer Front for the Liberation of Palestina (Front Rakyat untuk Pembebasan Palestina). (jk/republikaonline)