Inilah Ilmuwan Jepang yang Hafal Alquran dan Kuasai 30 Bahasa

Setelah mengajar di MacGill, dia berhijrah ke Iran untuk menjadi pengajar di Imperial Iranian Academy of Philosophy sebagai pemenuhan undangan koleganya, Seyyed Hossein Nasr, antara tahun 1975 sampai dengan 1979. Setelah itu, Izutsu kembali ke tanah airnya dan menjadi profesor emiritus di Universitas Keio hingga akhir hayatnya. Selain itu, dia adalah penggiat di beberapa lembaga keilmuan, seperti Nihon Gakushiin (The Japan Academy) pada tahun 1983, Institut International de Philosophy di Paris pada tahun 1971 dan Academy of Arabic Language di Kairo Mesir pada tahun 1960.

Izutsu juga memiliki beberapa kegiatan yang dilakukan di luar negeri yaitu Pelawat Rockefeller (1959-1961) di Amerika Serikat dan Eranos Lecturer on Oriental Philosophy di Switzerland antara tahun 1967-1982.

Izutsu adalah seorang sarjana yang jenius. Ia menguasai banyak bahasa dunia. Ia menguasai lebih dari 30 bahasa, termasuk bahasa Persia, Sansekerta, Pali, Cina, Rusia, dan Yunani. Kemampuan Izutsu dalam bidang bahasa memungkinkannya untuk melakukan penelitian terhadap kebudayaan-kebudayaan dunia dan menjelaskan secara spesifik berbagai sistem keagamaan dan filsafat melalui bahasa aslinya.

Bidang kegiatan penelitiannya sangat luas, mencakup filsafat Yunani kuno, filsafat Barat abad pertengahan, mistisisme Islam (Arab dan Persia), filsafat Yahudi, filsafat India, pemikiran Konfusianisme, Taoisme China, dan filsafat Zen. Keluasan pengetahuan Izutsu memungkinkan untuk melihat persoalan dari berbagai perpektif, sehingga dapat melahirkan pandangan yang menyeluruh tentang satu masalah.

Izutsu mampu mengkhatamkan Alquran dalam waktu 1 bulan setelah mempelajari bahasa Arab. Hal menakjubkan hasil dari kerja keras lainnya adalah terjemahan langsung pertama Alquran dari bahasa Arab ke Jepang pada tahun 1958. Sejauh berkenaan dengan kajian Islam, kepentingan karya Izutsu terletak pada sebuah pemikiran yang dibentuk oleh Zen Buddhisme, Neo-Konfusianisme, dan Shintoisme (yang merupakan unsur-unsur pembentuk kebudayaan klasik Jepang), yang dipertemukan dengan dunia wahyu Alquran dan pemikiran Islam.

Inilah yang membedakannya dengan sarjana-sarjana orientalis yang menghasilkan begitu banyak karya tentang pemikiran Islam yang merupakan hasil dari tradisi yang dibentuk oleh warisan Yahudi dan Kristen. Bagi Seyyed Hossein Nasr, karya Toshihiko Izutsu dalam bidang kajian Islam menunjukkan betapa pentingnya sebuah pandangan dunia yang dijadikan pijakan oleh seorang sarjana dalam mengkaji dunia intelektual lain dan bagaimana dangkalnya tuduhan-tuduhan yang disampaikan oleh begitu banyak sarjana Barat menurut pengertian mereka.

Baik disadari atau tidak, hal tersebut merupakan alasan yang anti-metafisis, bersifat sekuler, dan rasionalisme Abad Pencerahan. Dalam pandangan Sayyed Hossein, Izutsu adalah seorang sarjana terbesar pemikiran Islam yang dihasilkan oleh Jepang dan seorang tokoh yang mumpuni di dalam bidang perbandingan filsafat.

Sayyed Hossein menyatakan kekagumannya seraya mengatakan bahwa dengan menggabungkan kepekaan Buddhis, disiplin Jepang tradisional, dan bakat yang luar biasa dalam mempelajari bahasa dan kepintaran filsafat yang meliputi kemampuan analitik dan sintetik, dapat melintasi batas-batas kultural dan intelektual, Izutsu dapat dengan mudah memasuki semesta makna yang berbeda dengan wawasan yang hebat.