Zaid Shakir: Islam, Solusi untuk Menyembuhkan Penyakit Sosial

shakirNama Imam Zaid Shakir cukup populer di kalangan komunitas Muslim di AS. Ia bukan hanya dikenal sebagai juru dakwah, tapi juga aktif di berbagai kegiatan sosial dan aktif menulis. Mendapat sebutan “imam” adalah hal yang luar biasa bagi Shakir mengingat perjalanan panjangnya sebelum akhirnya ia mengenal Islam dan menjadi seorang Muslim.

Imam Zaid Shakir masuk Islam pada tahun 1977 ketika ia masih bertugas di dinas angkatan udara AS. Setelah itu ia melanjutkan pendidikannya dan meraih gelar BA di bidang hubungan internasional dan MA di bidang ilmu politik di AS.

Shakir pergi ke Kairo, Mesir untuk belajar bahasa Arab. Sekembalinya ke AS, ia menjadi imam di Masjid Al-Islam di New Haven Connecticut dari tahun 1988 sampai 1994. Shakir kemudian pergi ke Maroko untuk melanjutkan studinya di Universitas Abi Noor, salah satu universitas Islam bergengsi di Suriah. Di universitas ini ia memperdalam bahasa Arab, hukum Islam, studi Al-Quran dan spiritualitas.

Lulus Universitas tahun 2001, Shakir kembali ke Connecticut lalu pindah ke Hayward, California tahun 2003 untuk mengajar di Institut Zaytuna dan hingga hari ini, Zaid Shakir menjadi salah satu cendikiawan Muslim yang cukup disegani di AS.

Ditanya soal ikhwal ia menjadi seorang muslim hampir 32 tahun yang lalu, Shakir mengatakan bahwa semua bermula dari pencariannya tentang hakekat hidup yang sebenarnya. Sejak usia remaja, ia sering bertanya pada dirinya sendiri apa makna hidup sebenarnya.

Ketika itu, ia menyaksikan banyak hal negatif di lingkungannya mulai dari masalah alkohol, narkoba dan berbagai kasus sosial dan korban rumah tangga yang berantakan. Shakir memikirkan bagaimana ia bisa memberikan kontribusi untuk mengubah kondisi buruk di lingkungannya dan apa yang bisa dijadikan dasar untuk melakukan perubahan itu.

Semua pertanyaan itu sampai pada puncaknya ketika Shakir mulai mempelajari berbagai agama. Karena lahir dari keluarga Kristen dan tumbuh di lingkungan masyarakat Kristen, ia lebih dulu mempelajari ajaran Kristen lebih mendalam bahkan sampai dibaptis.

“Tapi kalau ada orang yang bertanya apa istimewanya pembaptisan dalam ajaran Katolik, saya tidak tahu jawabannya,” kata Imam Zaid Shakir mengenang masa ketika ia mempelajari ajaran Katolik.

Dari situ, ia membaca banyak buku tentang kekristenan, bagaimana peran seorang Yesus, peran kaisar Romawi dalam perkembangan agama Kristen dan munculnya konsili Nicea. Tapi semakin ia belajar, ia makin ragu dengan ajaran Kristen karena menemukan banyak kontradiksi dalam ajaran dan sejarahnya.

“Itulah yang menjadi perhatian saya ketika itu, bahwa agama Kristen bukan lagi agama yang diturunkan Tuhan untuk umat manusia tapi sudah berubah total menjadi agama buatan manusia,” ujar Shakir.

Ia lalu beralih ke keyakinan-keyakinan reliji dari Timur. Tapi perlahan-lahan, Shakir malah cenderung ke arah atheisme dan komunisme. Ia bahkan sempat beranggapan bahwa komunisme lah yang paling tepat untuk memperbaiki masyarakat yang sakit.

Kurang lebih setahun Shakir menganut keyakinan itu, sampai ia menyadari bahwa keberadaan Tuhan itu tetap penting. “Saya yakin bahwa harus ada Sang Pencipta yang menciptakan hal yang tidak ada menjadi ada, harus ada yang mengatur kehidupan ini,” pikir Shakir.

Ia lalu belajar ajaran Kristen lagi, tapi ia merasa belum mendapatkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaannya selama ini. Shakir pun mempelajari agama Budha selama hampir dua tahun dan kerap melakukan meditasi. Saat memperdalam agama Budha itulah, Shakir mendapat sebuah buku tentang Islam berjudul “Islam in Focus”.

Setelah membaca buku itu, Shakir merasa menemukan apa yang dicarinya selama ini. Jawaban atas pertanyaannya tentang siapa itu Tuhan, apa hubungan Tuhan dengan ciptaanNya dan sebagainya.

“Semua pertanyaan itu berawal dari keinginan saya untuk mencari solusi untuk menyembuhkan berbagai penyakit sosial di masyarakat. Dan dalam Islam, saya menemukan tuntutan yang jelas untuk solusi itu. Itu artinya saya sudah menemukan apa yang saya cari, ketika saya mengenal Islam dan saya tidak akan pernah berpaling lagi dari Islam,” tukas Shakir.

Menurutnya, hal yang paling membuatnya tertarik dengan agama Islam adalah gagasan tentang persaudaraan antar sesama manusia, sesama umat Islam di seluruh dunia meski banyak umat Islam yang menganut mazhab yang berbeda-beda.

Shakir tidak pernah melupakan saat pertama ia mengucapkan dua kalimat syahadat. Ia selalu menyebutnya sebagai pengalaman yang emosional. Shakir tak bisa menahan tangisnya saat mengucapkan syahadat dan hal itu masih sering terjadi jika ia menyaksikan orang yang bersyahadat untuk menjadi seorang Muslim.

Setelah menjadi seorang Muslim, Shakir yang ketika itu masih bertugas di dinas angkatan udara AS mendapatkan dukungan dari rekan-rekannya yang mualaf. Meski komunitas Muslim sedikit, hubungan antar mereka sangat kuat.

Shakir mengakui Islam telah memberikan banyak perubahan bagi dirinya sebagai manusia. Sebelum masuk Islam, Shakir sering mengalami mimpi buruk sampai membuatnya berteriak ketakutan dan mengagetkan orang di sekitarnya. Tapi setelah menjadi seorang Muslim, dimana ia mulai belajar salat secara rutin, Shakir tidak pernah mengalami mimpi buruk lagi. (ln/readislam)