Amerika Faktor Kekacauan Global?

“Saya akan membuat program kerjasama keamanan bersama untuk menempa badan intelijen internasional dan infrastruktur penyelenggaraan hukum demi melumpuhkan jaringan teroris dari pulau-pulau terpencil di Indonesia, hingga ke kota-kota yang membujur di Afrika. Program ini akan menyediakan 5 milyar dolar,selama tiga tahun dalam kerjasama terorisme dengan negara-negara seluruh dunia”, tegas Obama.

David Olive, menulis buku yang diberi judul : ” Obama : Setan Berkedok Malaikat?”, hanyalah menggambarkan sisi-sisi orang nomor satu di Amerika yang akan menempati di Gedung Putih, berkaitan dengan kebijakan-kebijakan yang akan diambil, tentang berbagai aspek, dan diantaranya pendekatannya terhadap umat Islam. Tidak ada perbedaan antara Presiden Bush dengan Obama, secara substansial, mendasar dan ideologis. Hanya gaya atau cara yang mungkin agak sedikit berbeda antara Bush dan Obama.

Maka, apakah situasi keamanan secara global di masa pemerintahan Obama akan lebih tertib dan damai? Atau tetap mengalami kekacauan seperti sekarang ini? Di mana Gedung Putih akan tetap memprioritaskan penghancuran ‘teroris’, ketimbang mencari akar masalah yang menyebabkan lahirnya terorisme secara global?

Nampaknya, Obama tetap menggunakan perangkat-perangkat militer dan intelijen dalam menghadapi gejolak di berbagai wilayah dunia. Seperti dikutip diatas pandangan Obama, yang lebih mengedepankan pendekatan militer dan intelijen, dalam menghadapi konflik di berbagai negara. Bahkan, calon penghuni Gedung Putih itu, sudah bersiap-siap menghadapi situasi global yang lebih kacau, akibat peristiwa ‘perang’ yang terjadi di Mumbay, India.

Penyelesaian krisis global, berkaitan dengan masalah keamanan, yang merupakan implikasi dari kebijakan luar negeri pemerintahan Presiden Bush, yang sangat unilateral (sepihak), dan menggunakan pendekatan militer, serta sangat reaktif telah menimbulkan balasan yang eksplosif, seperti yang terjadi di berbagai negara, yang sedang dilanda konflik. Jika, dunia sekarang dihadapkan pada kekacauan secara global, tak lain adalah respon dari kalangan Islam, yang menggunakan berbagai cara, termasuk ‘teror’, yang banyak dikutuk masyarakat internasional, karena mereka merasa di dzalimi, dan tidak mendapatkan rasa keadilan, serta tidak mendapatkan pilihan-pilihan lain.

Seperti, yang terjadi di Iraq yang penuh dengan kekerasan dan kekacauan adalah akibat dari agresi militer Amerika. Presiden Bush sendiri dalam wawancaranya dengan ABC News, merasa menyesal mengambil tindakan militer di Iraq, yang hanya mengadalkan laporan intelijen (CIA) yang tidak akurat. Dan,terbukti laporan intelijen menjadi dasar pemerintahan Presiden George W.Bush, menyerang dan menggulingkan Presiden Saddam Husien.

Kebijakan yang dilakukannya terhadap Afghanistan dan Pakistan, tak jauh berbeda dengan yang dilakukan terhadap Iraq. Semuanya, menimbulkan kekacauan yang tidak terkendali, dan bahkan cara-cara kotor, yang dilakukan badan intelijen, seperti CIA, yang sengaja menciptakan ‘shadow enemy’ (musuh bayangan), seperti ‘teroris’, yang mereka ciptakan sendiri, yang tujuannya untuk membenarkan kebijakan terhadap pembasmian dan penghancuran sebuah kelompok atau negara tertentu.
Obama tak akan berbeda dengan Presiden Bush.

Gambaran yang paling gamblang, pilihan yang diambil oleh Obama, memilih tim di kabinetnya yang menangani kebijakan bidang luar negeri dan keamanan. Tokoh-tokoh yang dipilih menggambarkan, mereka yang mempunyai pandangan ‘hawk’ (elang), garis keras, seperti Hallary Clinton, yang mendukung kebijakan Presiden Bush menyerang Irak. Apakah, Senator Demokrat dari New York, Hallary, dapat mengubah, kebijakan-kebijakan luar negeri, di masa pemerintah Presiden Bush? Kalangan di Timur Tengah, sangat skeptis dengan tampilnya mantan istri Presiden Bill Clinton ini. Apalagi, tokoh-tokoh Yahudi,yang pernah menjabat sebelumnya di masa Clinton, ikut menduduki pos penting, seperti Rahm Immaanuel (Kepala Staf Gedung Putih), Dennis Rose (Penasehat Timur Tengah), Robert Gate (Menhan), Susan Rice ( Dubes AS di PBB), Jendral James Jones (Ketua NSC), dan Admiral Dennis Blair (Direktur CIA), adalah orang-orang yang memiliki pandangan yang keras terhadap isu-isu tentang ‘terorisme’.

Tentu, orang berharap banyak terhadap Obama. Tapi, pasti mereka yang berharap terlalu banyak terhadap pemerintahan baru Amerika, di bawah Barack Obama, pasti akan kecewa. Obama, yang ayahnya beragama Islam, tidak akan mengubah secara mendasar pandangan Barat yang steriotipe terhadap Dunia Islam. Siapapun, para penguasa di Gedung Putih, silih berganti, datang dan pergi, tapi mereka yang menggantikannya, tak pernah berubah ‘mindset’ mereka terhadap komunitas Islam. Mereka tetap menempatkan umat Islam sebagai ‘musuh’.

Pertanyaan yang sangat mendasar , dan harus disampaikan kepada masyarakat dunia, apakah umat Islam menjadi sumber lahirnya berbagai tindak kekerasan? Sebaliknya, apakah umat Islam menjadi korban tindak kekerasan? Setiap kekerasan akan melahirkan kekerasan baru, yang tak kalah lebih dahysat. Aksi saling membalas ini, tak pernah berkesudahan, ketika tindak kekerasan itu dimulai. Sekarang, persoalan-persoalan yang harus diurai, yang menyangkut sumber konflik, dan lahirnya perang, yang tanpa henti, seperti konflik di Palestina, Iraq, Afghanistan, Somalia, Sudan Selatan, Gurun Sahara, dan bekas Yugoslavia, dapatkah Amerika mengakhiri konflik dan bertindak adil? Dan, apakah Amerika bertanggungjawab atas kekerasan yang di terjadi diberbagai kawasan, yang dipicu oleh kebijakan luar negeri dan keamanan, yang menempatkan secara steriotipe terhadpa umat Islam, yang melahirkan balas dendam, yang tak pernah kunjung selesai.

Isu yang paling menyita perhatian global, dan menjadi episentrum (pusat) dari konflik sepanjang sejarah adalah Palestina, bersediakah nantinya Barack Obama, bersikap netral dan adil, dan tidak berpihak kepada rejim Zionis-Israel? Dalam pidato kampanyenya yang lalu, Obama menegaskan : "Saya mendapatkan dukungan paling kuat dari komunitas Yahudi. Itu karena saya sejak dulu menjadi sahabat dekat Israel", ungkap Obama. Belakangan, kalangan Ortodoks di Israel, mendorong pemimpin baru Amerika, agar memindahkan Kedutaan Besar Amerika, yang kini ada di Tel Aviv ke Yerusalem. Jika, pemerintah Obama mengikuti tekanan politik kalangan Ortodoks, ini berarti tak pernah ada lagi perdamaian di kawasan itu. Pasti orang-orang Palestina dan Islam akan melawan dengan segala kekuatan yang mereka, karena disitu terdapat  Masjidil al-Aqsha.

Pemimpin baru Amerika itu, tak memiliki kaidah baru, yang digunakan mendekati umat Islam dan dunia Islam, kecuali dengan menggunakan bahasa kekerasan, yang sudah digunakan para pendahulunya. “Saya tidak akan ragu untuk menggunakan kekuatan militer dalam menyingkirkan teroris. Saya akan menjamin bahwa kemampuan militer kita dalam menangkap dan membunuh teroris telah menjadi lebih lihai, lebih tangkas, dan lebih mematikan”, tambah Obama.