Betapa Semakin Utopianya Cita-Cita Bangsa Indonesia

Betapa semakin jauhnya cita-cita menegakkan pemerintah yang bersih alias ‘good governance’ di Indonesia. Keinginan memberantas korupsi hanya menjadi sebuah otupia. Seperti angan-angan yang kosong. Menegakkan benang basah. Seperti tidak mungkin bisa diwujudkan. Karena negara telah dikalahkan oleh koruptor.

Data yang disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauzi, tentang banyak pejabat setingkat gubernur, bupati dan walikota, yang menjadi tersangka tindak kejahatan korupsi. Data yang disampaikannya sungguh sangat mengkawatirkan bagi masa depan kehidupan bangsa ini. Data-data itu justrus akan terus bertambah, bukan semakin berkurang dari pejabat daerah yang melakukan korupsi.

Gumawan Fauzi menyampaikan adanya 155 pejabat – diantaranya 17 gubernur tersangkut kasus hukum, yang diduga melakukan melakukan tindak korupsi. Jika yang sudah menjadi tersangka itu 17 gubernur, itu berarti 50 persen dari 33 gubernur yang akan menghadapi pengadilan. Sungguh luar biasa. Jumlah pejabat setingkat gubernur yang jumlahnya mencapai 50 persen melakukan korupsi.

Jumlah dari 33 gubernur itu masih bisa bertambah. Karena, tidak ada jaminan yang tidak menjadi tersangka sekarang ini, besok tidak menjadi tersangka. Tidak ada jaminan yang sekarang ini belum terjamah oleh penyidik KPK, belum tentu nanti bersih dari tindakan korupsi. Kalau pemerintah dengan sungguh seperti yang diinstruksikan Presiden menggunakan pembuktian terbalik, masihkan diantara 33 gubernur itu, yang nantinya selama dari tindakan korupsi?

Padahal, sejak reformasi telah dibuat Tap MPR No XI/1998, yang mengamanahkan pemerintah membasmi tindak kriminal korupsi. Orde Reformasi dengan dasar kekuatan hukum berupa Tap MPR No XI/1998 itu, mestinya mempunyai kekuatan untuk memberantas dan menghilangkan praktek-praktek korup dikalangan pejabat. Sehingga lahir pemerintahan yang bersih, seperti yang dicita-citakan oleh para mahasiswa yang telah mengusung gerakan di tahun 1997, mengakhiri pemerintah Orde Baru yang sangat korup, yang dipimpin Soeharto.

Kenyataan betapa pahitnya reforamsi yang sudah berumur 13 tahun, dan sudah empat kali ganti pemerintah dan pemimpin nyatanya tak mampu mengakhiri praktik korupsi yang ada. Sebaliknya prakti-praktik korupsi semakin meluas. Mengapa demikian? Karena semua aparat penegak hukum terlibat dan melakukan praktik korupsi. Pejabat penegak hukum yang seharusnya memberantas korupsi, justru menjadi beking para koruptor.

Dalam memberikan keterangan kepada para wartawan, Menteri Dalam Negeri Gumawan Fauzi, pernah menanyakan kepada seorang pejabat gubernur, mengapa korupsi bisa terjadi dikalangan pejabat pemerintah daerah, seperti gubernur? Menurut Gumawan itu, pengakuan salah seorang gubernur , mengatakan biaya pemilihan untuk seorang calon gubernur menang, sangatlah mahal dibutuhkan dana Rp 100 miliar. Latar belakang inilah yang menyebabkan banyaknya gubernur yang sekarang tersandung kasus korupsi.

Ternyata sistem demokrasi tidak dapat mengantarkan bangsa Indonesia ke pula idaman, kehidupan yang adil, sejahtera, dan kedamaian. Tetapi, justru berbagai ketidak-adilan, pelanggaran hukum, dan bentuk bentuk kejahatan lainnya, yang sangat mengkawatirkan bagi masa depan bangsa.

Demokrasi yang derivatnya adalah partai politik, danpemilu, serta kekuasaan itu, hanyalah melahirkan ironi-ironi dan paradok-paradok dalam kehidupan. Sehingga, sesudah Indonesia dibawah rezim diktator yang despotik selama 30 tahun lebih, dan sekarang beralih ke sistem demokrasi tidak membuat kehidupan lebih baik.

Masa pemerintahan diktator kekuasaan ditegakkan dengan bedil dan kekerasan, yang penuh dengan kekejaman. Sekarang di era demokrasi kekuasaan ditegakkan dengan manipulasi, bujukan dan uang. Kekuasaan dan uang menjadi sebuah tuhan baru. Ingin berkuasa harus mempunyai uang, kemudian dengan kekuasaan itu bisa mendatangkan uang.

Ironinya banyak diantara tokoh yang mempunyai obsesi berkuasa dan mendapatkan kekuasaan, ujung dari kekuasaan itu menghempaskan ke dalam penjara. Sungguh sebuah ironi. Karena manusia sudah menuhankan uang. Uang menggantikan tuhan, dan menjadi sesembahan manusia. Itulah episode sebuah kekuasaan. Kekuasan justru tidak menciptakan kebaikan dan kebahagian bagi kehdipan manusia. Wallahu’alam.