Gaza: Bukan Ghetto Warsawa

Sejak usai perang ‘Enam hari’ , Oktober 1967, dan kekalahan bangsa Arab melawan Israel, serta dicaploknya wilayah Arab dan Palestina oleh Israel, sepeti Gurun Sinai, Dataran Tinggi Golan, Gaza dan Tepi Barat, secara de facto wilayah-wilayah itu, sekarang di bawah pendudukan Israel. Sejak menduduki wilayah Arab dan Palestina itu, Israel telah menciptakan ‘ghetto’ bagi warga Palestina di Gaza, dan ini seperti Nazi Jerman yang menciptakan ‘ghetto’ bagi orang Yahudi di Warsama.

Jika membandingkan Nazi-Jerman menciptakan ‘ghetto’ bagi orang Yahudi di Warsawa, selama holocaust, ketika Perang Dunia II, dan dalam waktu dua tahun, kematian, kelaparan, dan kesengsaraan, dan deportasi (pengusiran) terus berlangsung, serta konon jumlah orang Yahudi di ‘ghetto’ dari 450.000 menyusut menjadi 37.000. Holocaust yang terjadi pada perang Dunia II itu sudah menjadi ‘industri’. Israel terus-menerus mempropagandakan ‘holocaust’ untuk mempengaruhi bangsa-bangsa lain di seluruh dunia, bahwa orang-orang Yahudi yang ada di ‘ghetto’ Warsawa itu menjadi korban genoside Nazi-Jerman. Ini adalah bagian usaha Israel untuk menciptakan ingatan dan sikap yang kolektif, yang menguntungkan bagi Israel.

Zionis-Israel dalam bentuk yang lain, sekarang menciptakan ‘ghetto’, kampung besar, bernama Gaza, yan dihuni 1.5 juta orang Palestina. Gaza menjadi ‘ghetto’? Memang, faktanya Israel menciptakan ‘ghetto’ bagi orang Palestina di Gaza. Mereka mengalami kelaparan, kematian, deportasi (pengusiran) dari tanah air mereka. Banyak orang Palestina yang tanah sudah dirampas Israel, berdiaspora (mengembara) ke berbagai negara.

Menurut catatan, pusat kependudukan pemerintah Palestina, jumlah orang Palestina, di luar Palestina jumlah lebih banyak, dibandingkan dengan mereka yang masih tinggal di Palestina. Tak kurang 7 juta orang Palestina, yang sekarang ini berdiaspora di seluruh dunia.

Tapi, menurut Mahmud al-Zahar, Gaza bukanlah seperti ‘ghetto’ yang seperti di Warsawa. Karena, peristiwa yang terjadi di Gaza, melahirkan kesadaran yang bersifat kolektif di seluruh dunia, khususnya bagi kaum muslimin. Peristiwa yang terjadi di Gaza telah melahirkan gerakan anti perang di Eropa, Amerika, Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Demikian pula, opini (pendapat) dan berita di hampir seluruh media massa, hampir semua menolak perang. Seperti dituturkan Richard Falk, seorang wartawan dari Lembaga Hak Asasi Manusia (HAM) PBB, yang menggambarkan perubahan yang bersifat drastis terhadap Israel, akibat peristiwa perang yang terjadi di Gaza.

Aksi-aksi demonstrasi di seluruh dunia telah mengubah posisi Israel, yang selama ini secara efektif berhasil menggunakan ‘industri’ ghetto sebagai alat propaganda, dan memanipulasi pandangan masyarakat internsional, tapi dengan peristiwa perang yang terjadi di Gaza, menempatkan Israel sebagai Nazi. Israel telah menjadi Nazi-Hitler yang sejati.

Dulu, Nazi mendorong orang-orang Yahudi, keluar dari ‘ghetto’ di negara-negara Eropa ke kamp konsentrasi, kemudian melakukan ‘genoside’. Israel telah merampas tanah orang Palestina, dan mereka mengumpulkan orang Palestina di Gaza dan Tepi Barat, lalu Israel secara sistematik menghancurkan orang-orang Palestina. Blokade, embargo, dan peperangan yang tujuannya ingin mengusir orang-orang Palestina dari tanah air mereka.

‘Ghetto’ di Warsawa bukanlah Gaza. Bangsa Palestina akan berjuang dengan penuh pengorbanan, guna mendapatkan hak mereka kembali ke tanah air. Orang Palestina mempunyai hak mendapatkan tanaha air mereka. Seharusnya kaum muslimin di seluruh dunia mendukung perjuangan bangsa Palestina yang tinggal di Gaza.

Hasan al-Banna, lima tahun sesudah berdirinya Jamaah Ikhwanul Muslimin, dan Israel belum berdiri, sudahmengirimkan ribuan sukarelawan, guna membebaskan Palestina dari orang-orang Yahudi, dan sekarang saudara kita di Palestina memerlukan dukungan. Mari kita bebaskan Palestina dari belenggu penjajahan Zionis-Israel. Wallahu ‘alam.