JK : Lugas, Santun, dan Kejujuran

Pada awalnya sangat diragukan. Dinilai elektabilitasnya sangat rendah. Sehingga banyak kalangan politisi yang tidak berminat. Tapi, tokoh JK yang memiliki karakter khas, dan rasa percaya dirinya yang tinggi, sekarang mulai menuai hasil.

Pertemuan dalam forum dialog yang sudah dijalaninya, dan diselenggarakan berbagai media, mengantarkan dirinya lebih menjadi tokoh the ‘coming president’, seperti yang diungkapkan Dr.Syafi’i Maarif, yang mengatakan JK, adalah ‘the real president’. Tentu, JK yang mampu memberikan jawaban yang lugas, santun, fokus, disertai dengan ‘sense of humor’ yang tinggi, dan gayanya yang alami, tidak dibuat-buat, akhirnya menjadi pribadi yang menarik.

Semalam, JK dihadapan audien yang penuh, disebuah studio telivisi terkemuka, bertemu dengan tokoh lainnya, yaitu Mario Teguh. JK, dalam kesempatan ini berhasil menjawab pertanyaan yang sulit, dan agak filosofis, seperti menyangkut masalah keluarga, dan kejujuran, serta ketaladanan. JK, ketika ditanya soal keluarga, dan kejujuran, menyatakan, ‘Jika seseorang tidak dapat jujur dengan istrinya, maka ia tidak akan pernah dapat jujur dengan siapapun’, ucap JK. JK, juga menilai keberhasilan seorang pemimpin itu, dimulai dari memimpin keluarga yang kecil.

Betapa, pernyataan ini mempunyai arti yang sangat penting, karena banyak sekarang ini, pasangan suami istri, yang sangat tidak jujur satu sama lainnya. Banyak pasangan yang gagal, tidak dapat melanjutkan bahtera hidup. Karena, mereka dalam hidup berumah tangga tidak dilandasi oleh adanya ‘mutual trust’,  (saling mempercayai), dan juga kehidupannya jauh dari nilai-nilai agama. Semuanya, menjadi faktor pencetus, kegagalan, dan penyelewengan atau sifatnya menjadi akud, dan membawa ketingkat destruktif.

Pernyataan JK itu, mempunyai arti yang sangat penting, terutama bagi mereka yang memiliki tanggung jawab, dan akan ikut terlibat dalam pengelolaan negara. Tidak mungkin mereka dapat mengelola negara, dan memenuhi seluruh komitment atau janjinya, jika mereka tidak memiliki pribadi yang jujur. Terutama, jujur dengan keluarganya, istri, dan anak-anaknya. Mereka tidak akan pernah dapat mengelola persoalan yang besar, jika mereka tidak dapat mengelola hal-hal yang kecil, seperti persoalan keluarga.

Betapa, sekarang banyak tokoh-tokoh politik, pemimpin, serta mereka yang memiliki kedudukan yang tinggi, tapi gagal menciptakan kejujuran diantara keluarganya. Antara suami dengan istri tidak jujur. Antara ayah dengan anak tidak jujur. Antara seorang ibu dengan anak dan suaminya tidak jujur. Banyak diantara mereka yang sebenarnya gagal mengelola keluarga, akibat tidak jujur itu, tapi mereka menciptakan sebuah image (citra), yang penuh dengan harmoni.

Dikalangan masyarakat Jawa, dikenal budaya harmoni, yang menggambarkan harmoni dalam keluarga yang sangat ideal. Seperti dalam bentuk upacara, atau pergaulan sehari-hari, yang penuh dengan adat-istiadat, yang sebenarnya, hanyalah bersifat artifisial. Dulu, ada seorang tokoh, yang sangat luar biasa, dan berkuasa, dan selalu mengadakan tradisi ‘sungkeman’, ketika ‘idul fitri’. Seluruh keluarganya, anak,menantu, dan cucu,semuanya hadhir, dan memberikan ‘sungkem’ kepada ‘eyang’ kakung (kakek laki-laki) atau ‘eyang’ putri (nenek perempuan), dan sambil duduk dihadapannya. Budaya penghormatan, dan berbau feodal, yang sampai kini masih terus dipertahankan. Sebagai budaya harmoni.

Dan, sekarang ini banyak, tokoh-tokoh yang ingin menciptakan citra harmoni, yang selalu diwarnai dengan keakraban keluarga. Tapi, kenyataannya, dibalik semuanya yang digambarkan itu, justru yang terjadi adalah ‘disharmoni’. Maka, keluarga yang nampaknya harmoni itu, justru tidak harmoni, keluarganya pecah, sampai akhirnya bercerai, dan melahirkan gambaran yang negative. Mengapa menjadi seperti itu? Karena, faktor yang paling pokok tidak adanya kejujuran, diantara anggota keluarga itu sendiri.

Relasinya, tidak adanya kejujuran seorang suami terhadap istri, dan itulah yang menyebabkan kehancuran keluarga.

Di dalam Islam, posisi seorang suami mempunyai posisi ‘qowwam’ (memimpin), tidak sebaliknya, seorang suami dipimpin dan diatur oleh istri, lebih-lebih jika seorang istri sudah mempunyai posisi yang dominan, dan menghilangkan peran dan otoritas seorang suami, maka itu sudah menyalahi kodrat. Dan, pasti akan membawa kehancuran dalam hubungan keluarga. Inilah ketidak jujuran. Seorang istri tidak jujur dengan posisinya. Betapapun, seorang istri yang memiliki kemampuan superioritas sekalipun, tetap saja, ia tidak dapat menyalahi kodratnya.

JK, menempatkan istrinya Ny.Mufidah, tetap pada posisinya, seorang ibu, yang bertindak mengurusi keluarga, dan anak-anaknya. Tidak ikut terlibat dalam politik. Seperti, diungkapkannya sendiri, bahwa dia hanya diminta untuk mengurusi keluarga oleh suaminya, JK. Ny.Mufidah, sebagai orang yang dekat dengan JK, tidak kemudian terlibat dalam politik, dan ikut menentukan segala sesuatunya,  tapi lebih fokus kepada keluarga. Sejarah, pernah memberikan gambaran, bagaimana seorang penguasa, yag memiliki kekuasaan yang begitu besar, tapi ia lebih banyak dipengaruhi dan dikendalikan oleh istrinya, ketika berkuasa dan mengelola negara.

Tokoh yang lahir di Bone,Sulawesi ini, berbicara kejujuran, dan juga keteladan di dalam keluarga, yang keduanya mempunyai dampak langsung, bagi keluarganya. Mario Teguh berhasil mengangkat pribadi JK, secara terbuka dan jujur. Apakah JK nanti dapat memperlakukan pemerintahannya dan negara ini, seperti dia mensikapi terhadap istrinya dengan kejujuran?

Betapa bangsa Indonesia di masa depan memerlukan pemimpin yang jujur. Sudah berulangkali lahir pemimpin, dan memimpin bangsa Indonesia, tapi tidak banyak mereka yang jujur. Jujur terhadap dirinya sendiri, keluarganya dan rakyatnya. Kita butuh pemimpin yang jujur. Wallahu’alam.