Kebangkrutan Pemimpin Arab Menghadapi Israel?

Sejarah kekalahan bangsa  Arab dalam perang tahun 1967, yang mengakibatkan dicaploknya tanah Palestina, termasuk Al-Aqsha, tempat yang dimuliakan oleh umat Islam, hanyalah memberikan gambaran betapa absurdnya bangsa Arab, ketika berhadapan dengan Israel.

Tetapi, kekalahan bangsa Arab dalam perang melawan Israel, tak lain hanyalah  menunjukan kebangkrutan para rejim di negara-negara Arab, yang terus mengalami dekadensi (kemorosotan) moral.

Hanya beberapa bulan, sesudah berlangsungnya perang,  pasukan tentara Jordan, dan sekelompok pejuang (fedayeen) bertempur dengan pasukan Israel di Karamah, yang di wilayah Jerusalem Timur, dan menyebabkan banyaknya korban dari kalangan Arab, dan hanya 80 tentara Israel yang terbunuh.

Kekalahan bangsa Arab melawan Israel dalam perang tahun 1967, menyisakan perasaan trauma, yang dalam dikalangan para pemimpin Arab, dan mereka akhirnya memilih jalan politik. Mereka tidak lagi ingin bertempur  dengan Israel. Mereka para pemimpin Arab, justru melucuti para gerakan pembebasan yang membebaskan Palestina dari jajahan Israel.

Kekalahan militer Arab dalam perang melawan Israel dalam perang tahun 1967, menjadi titik balik, semangat perjuangan para pemimpin Arab, kemudian lebih memilih jalan damai dan diplomasi. Sampai  pada tingkat mereka menelanjangi gerakan perjuangan seperti PLO, yang akhirnya mengubah asas perjuangan dari militer ke diplomasi dan politik. Pergeseran ini tak lain, ekses dari sikap dan pandangan para pemimpin Arab yang sudah tidak ingin lagi  berperang melawan Israel. Mereka sudah merasa tidak mampu lagi melawan Israel.

Maka, penelanjangan terhadap gerakan-gerakan perjuangan bersenjata di Palestina dan tanah Arab, bukan hanya menghadapi Amerika dan Israel, tetapi mereka justru yang paling kejam menghadapi para rejim Arab, yang mereka lebih  bersikap bersahabat dengan Amerika dan Israel dibanding dengan gerakan-gerakan pembebasan di tanah Palestina.

Hanya ada  sedikit episode yang menggembirakan dalam sejarah di tahun 1973, yang dikenal dengan perang Oktober di bulan Ramadhan, di mana pasukan Mesir dan Syria berhasil mengalahkan Israel di Semenanjung Sinai, tetapi Amerika melakukan dukungan militer, lewat darat dan udara secara massive kepada Israel, termasuk armada pasukan Nato dikerahkan untuk menyelamatkan Israel. Dan, sesudah itu Presiden Mesir Anwar Sadat, tangannya diikat dengan perjanjian Camp David, dan hanya mendapatkan tanah Sinai. Tetapi, Gaza, Tepi Barat, dan Jerusalem Timur, serta Dataran Tinggi Golan tetap dijajah Israel, sampai hari ini.

Di balik kekalahan bangsa Arab dalam perang tahun 1967, di mulai lebih dahulu oleh Israel melakukan kampanye kepada kalangan Arab,  dan Israel menggukan para imigran Yahudi yang fasih berbahasa arab. Mereka melakukan kampanye dikalangan masyarakat Arab. Tentu, yang menjadi sasaran mereka adalah para pemimpin Arab. Mereka memberikan gambaran kepada para pemimpin Arab, bahwa orang-orang Yahudi itu sangat baik. Inilah awal penjajahan yang dijalankan oleh Israel dikalangan para pemimpin Arab.

Sebagian kalangan pemimpin Arab merasa optimis akan memasuki era baru, khususnya dalam membangun hubungan dengan Yahudi. Para propangandis Yahudi itu, mengatakan kepada para pemimpin Arab, kami sangat mencintai bangsa Arab. Karena itu, para pemimpin Arab, mempunyai kesimpulan, "Oh, mereka baik, kemudian rakyat Jordania, mereka (Yahudi) itu sangat beradab dan menghormati", dan "Orang Yahudi adalah orang yang  terdidik, mereka memiliki sikap yang mulia dan memiliki respek yang tinggi", serta "Pemerintah Israel itu menghargai kesetaraan kepada setiap orang".  

Itulah opini yang dibangun para misionaris Yahudi, yang telah menelusup ke pusat-pusat kekuasaan di seantero negara Arab. Pantas kalau mereka lebih mencintai Yahudi, dibandingkan bangsa Palestina, yang sekarang menghadapi sekarat. Dan, mereka tetap tidak peduli.

Satu-satunya penguasa Arab, yang masih memiliki tanggungjawab dan kesadaran membela rakyat Palestina adalah Raja Arab Saudi,  Faisal. Faisal menggunakan kekayaan minyaknya untuk membela rakyat Palestina. Dengan melakukan embargo minyak terhadap  negara-negara Barat, yang menjadi pendukung Israel semuanya kolaps (ambruk). Tetapi, tak lama Raja Faisal di bunuh oleh keponakannya sendiri yang baru pulang dari Amerika, yang memang sudah diatur  oleh CIA.

Sejak itu tidak ada lagi yang tersisa di dunia Arab, yang berani melawan Israel. Mereka lebih bersahabat dengan Israel, yang didukung Amerika. Apalagi, Amerika yang sejatinya dibelakangnya adalah Israel terus mengobarkan perang di Teluk, dan mengakibatkan pemerintahan di negara-negara Arab dan Teluk terus menggigil, dan ketakutan, kemudian mereka menyerahkan diri kepada Israel dan Amerika.

Sebuah episode yang sangat menyedihkan. Israel dan AS masih memiliki kartu ‘truf’ untuk menakut-nakuti para pemimpin Arab dan Teluk, tentang isu nuklir ‘Iran’, yang seperti hantu, yang sangat menakutkan. Tetapi, ketika berlangsung konferensi perlucutan senjata nuklir  di Washington, yang diselenggarakan Presiden Obama, justru Israel, yang memiliki 100-200 hulu ledak nuklir menolak hadir, dan juga menolak menandatangani perjanjian perlucutan senjata nuklir. Netanyahu menolak mentah-mentah.

Rakyat Palestina tetap saja, bagaikan yatim piatu, yang tidak memiliki pembela siapa-siapa. Kekuatan LSM-LSM yang bergerak dalam bidang kemanusiaan, tidak akan dapat mendobrak blokade Israel. Apalagi, Mesir yang memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sejak tahun l973, sampai hari ini, ikut melakukan blokade terhadap rakyat Palestina di Gaza.

Inilah kebangkrutan dan dekandensi para pemimpin Arab, yang sangat tega membiarkan rakyat Palestina terus dijajah dan ditindas oleh Israel. Wallahu’alam.