Masihkah Belum Cukup Bagimu?

Tatkala Umar telah masuk ke dalam Islam, berarti ia telah menyerahkan dirinya  secara total kepada Allah, dan tokoh itu senantiasa berbuat kebaikan. Agama Islam telah memberi neraca yang selurus-lurusnya. Karena itu, tabiatnya selalu peka dan waspada, tak mau terjatuh kepada sifat-sifat dan amal yang dilarang dan menyebabkan murka-Nya.

Tokoh yang memiliki perawakan tinggi besar itu, memiliki kamampuan mengatasi apa saja, ia bangkit dengan langkah-langkah yang teguh dalam menempuh jalan yang lurus, jalan keutamaan dan kewajiban. Umar tidak pernah menyimpangkan langkahnya dari jalan Allah Rabbul Alamin, dan jalan Rasulullah Shallahu Alaihi Wa sallam.

Tak ada bencana yang lebih ditakuti, yang dikhawatirkan akan menimpa keberuntungannya, selain bencana terkucil dan dijauhkan dari ridha Allah Azza Wa Jalla, dan menyimpang dari sunnah Rasul-Nya. Sebelum masuk Islam, ia selalu mencari kebenaran agar dapat diikutinya sesuai dengan bakat dan kemampuannya, dengan sifat dan kekuatan jiwanya.

Sekarang Umar telah mengenal al-haq dan kebenaran mutlak, yaitu menerima keimanan dari Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam tidak mungkin berbicara dengan kemauan dan hawa nafsunya, melainkan berdasarkan tuntunan Rabbul Alamin.

Umar telah mencatat, dan tidak pernah ia lupakan sepanjang hidupnya, ketika hari kelahirannya yang baru, ketika ia menjabat tangan Rasullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, dan seraya mengucapkan, “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah Utusan Allah”. Dan, hari itu Umar menemukan keberuntungan dalam hidupnya yang paling mulia, sesudah ia mengucapkan dua kalimah syahadat.

Keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya serta agamanya, tidak pula demi mendapatkan sesuatu keuntungan. Ia melakukan semuanya secara sadar yang digerakkan oleh lubuk hatinya.

Maka, ketika pertama kali didengar firman Allah, yang dibacakan oleh Rasulullah Shallahu Alaihi Wa Sallam, kepadanya, “Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main (saja), dan kalian tidak akan dikembalikan?”. Ayat itu seakan khusus diturunkan untuk dirinya sendiri. Disadarinya bahwa usia manusia itu sangatlah pendek. Padahal, betapapun panjang usia manusia, katakanlah seperti Nabi Nuh Alaihi Sallam, yang mencapai 950 tahun, bahkan mencapai beribu-ribu tahun, takan akan pernah cukup untuk mebalas nikmat-Nya yang telah diberikan kepada manusia.

Umar sangat takut ucapan-ucapannya yang keluar dari mulutnya akan menyimpang dari garis kebenaran. Begitu pula ia mengkhawatirkan perbuatan-perbuatannya tergelincir dari jalan kebenaran. Ia sangat cemas, jika kehidupan yang suci itu akan ternodai oleh dosa disebabkan walau hanya syubhat. Umar ingin hidupnya dijauhkan dari segala keburukan, bencana, dan kekafiran. “Maka apakah kalian mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kalian secara main-main (saja), dan kalian tidak akan dikembalikan kepada Kami?”. Itulah yang menyebabkan Umar selalu gelisah.

Umar yang gagah itu menjadi sangat kurus. Karena jarang memejam matanya. Makannya sangat sedikit, hanya sekedar agar dapat hidup. Pakaiannya terbuat dari bahan yang kasar. Umar boleh dikatakan jarang tidur, hingga boleh dikatakan selalu terjaga. “Jika saya tidur malam, berarti saya menyia-nyiakan diri saya. Dan, jika saya tidur siang, berarti saya mengabaikan rakyat jelata .. !”.

Kepada setiap orang yang ditemuinya, selalu ditanyakannya sambil mengeluh dan dengan sungguh-sungguh. “Atas nama Allah, jawablah pertanyaan saya dan jangan berdusta!”, ucap Umar. “Bagaimana pandangan anda terhadap Umar? Apakah menurutmu Allah akan ridha kepadanya? Dan, apakah menurut pendapatmu Umar itu tiada mengkhianati Allah dan Rasul-Nnya”, tanya Umar kepada rakyatnya.

Rasa malu, kecemasan, ketakutan, dan semua kamauan baik, serta cita-cita mulia, sebabnya tiada lain, hanyalah, karena Umar bingung, dan tidak tahu apa yang akan dikatakannya kepada Rabbnya nanti?

Sementara, di hari ini, segala kedurhakaan, kenistaan, dan kekafiran, yang pernah dilakukan umat-umat terdahulu, semuanya telah terjadi. Apa yang pernah dilakukan kaumnya Nabi Nuh, Nabi Sueb, Nabi Luth, dan Musa, telah ada di zaman ini.

Apakah para pemimpin hari ini masih belum cukup dengan pelajaran dari umat terdahulu yang mendapat azab dari Allah Azza Wa Jalla akibat kelaian mereka terhadap Rabbnya. Dan, masihkan dapat tidur dengan nyenyak melihat berbagai hal yang terang-terangan melanggar ketentuan-Nya. Wallahu’alam