Menderitanya Hidup di Indonesia?

Mungkin paling tepat mengungkapkan kondisi rakyat Indonesia, tak lain dengan ungkapan, ‘Sudah miskin ditimpa kenaikan harga’. Sudah penghasilan ‘cekak’, harga-harga tak ada belas kasihannya, terus membubung alias melangit. Maka kemampuan daya beli mereka pun, boleh dibilang menjadi ‘nol’.

Tetangga yang setiap tahunnya ‘mudik’ lebaran, tahun ini terpaksa mereka diam di rumah. Sambil menangis. Mereka tak dapat mudik di hari lebaran, bertemu dengan sanak familinya. Tetangga yang tinggal di rumah kontrakan sebelahnya, yang asalnya dari Banyuwangi dengan sangat terpaksa ‘mudik’ harus menaiki motornya menuju kampung halamannya di ujung Pulau Jawa, selama dua hari dua malam, sambil membawa anak balitanya.

Betapa mereka rakyat miskin, harus mengalami kepahitan hidup yang sangat, terbebani dengan kenaik-kenaikan. Seakan para penentu harga tak peduli dengan kondisi yang dialami rakyat miskin, yang jumlahnya semakin besar, bukan makin berkurang. Hidup mereka bukan semakin membaik, tapi justru semakin sengsara. Suasananya serba ekstrim. Lebaran biasa-biasa saja. Bahkan, mungkin sangat pahit buat mereka.

Mereka hanya dapat memandangi singkong rebus, yang tak seberapa, dikelilingi anak-anaknya.  Sebuah keluarga yang mempunyai anak tujuh orang, semuanya menganggur, tak ada yang bekerja, karena mereka rata-rata pendidikannya hanya SD. Sementara itu, anak perempuan mereka yang  bekerja, hanya beberapa hari  sudah di PHK, karena anaknya yang kecil sakit. Tapi, sekarang ditambah lagi dengan harga-harga naik. Bahkan,seorang ibu yang miskin, menuturkan anaknya yang masih kecil, SD, hanya diberi makan dua hari sekali. 

Mereka sudah didera oleh oleh berbagai kenaikan sejak sebelum puasa. Sebelum puasa, harga-harga kebutuhan pokok sudah melonjak drastis. Dan, biasanya kenaikan harga-harga sebelum puasa, tak akan pernah turun lagi. Kini, disusul dengan kenaikan jalan tol, yang pasti akan berakibat kenaikan komponen barang-barang, yang menjadi kebutuhan rakyat.

Tentu, para orang kaya, yang setiap hari mobilnya berseliweran di jalan-jalan tol, tak terasa dengan kanaikan tol itu. Tapi, mobil-mobil truk yang mengangkut barang antar propinsi dan antar kota, yang membawa barang, pasti mereka sangat terpengaruh. Belum lagi ditambah pungli di jalan-jalan, dan pasti ikut membuat ekonomi biaya tinggi. Semua muaranya akan ditanggung rakyat, terutama kaum miskin, makin tertimpa dengan kenaikan tol itu.

Kenaikan tol itu, selanjutnya akan disusul dengan kenaikan harga elpiji, yang banyak digunakan orang-orang miskin, yang beratnya 12 kg, dan harganya dari Rp 7,700 akan membumbung terus bisa-bisa mencapai harga eceran sampai Rp 100 ribu. Padahal, elpiji 12 kg ini banyak digunakan aktivitas ekonomi di sektor riil, seperti warung-warung, tukang mi, tukang gorengan, tukang baso, dan pedagang kecil lainnya. Mereka hidupnya tergantung dengan elpiji ini. Tapi, sekarang harganya oleh Pertamina dinaikkan. Kalau harga elpiji naik, pasti harga-harga yang menjadi kebutuhan orang-orang miskin, yang berkaitan dengan ‘perut’ ini juga akan naik.

Barangkali masih belum cukup hantaman terhadap rakyat miskin ini. PLN juga akan menaikan tarif dasar listrik (TDL), yang rata-rata diatas 30 persen. Alasannya baik Pertamina dan PLN menaikkan harga elpiji dan TDL itu untuk menutupi kerugian mereka. Tapi, lagi-lagi yang harus ikut memikul beban kerugian itu, tak lain para konsumen, yang jumlahnya paling besar adalah golongan menengah dan kebawah, dan mereka akan menjerit dengan kenaikan-kenaikan itu. Apalagi, sesudah disyahkannya undang-undang kelistrikan yang baru, yang memberikan peluang kepada swasta, maka nantinya listrik sepenuhnya akan diserahkan kepada fihak swasta, yang pasti mereka berlomba-lomba mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, tanpa peduli dengan kondisi yang dihadapi rakyat.

Kenaikan lainnya,yang bakal diputuskan adalah bahan bakar minyak (BBM). Inilah skenario ‘kiamat’ bagi mereka yang hidupnya pas—pasan. Jadi, harga barang-barang kebutuhan pokok naik, tol naik, elpiji naik, listrik naik, dan terakhir harga bahan bakar minyak naik. Semua yang selama ini disubsidi akan dipangkas. Jadi, rakyat harus menerima keadaan itu, suka tidak suka. Tak ada lagi komitment buat rakyat miskin.

Karena, pemilu sudah usai, janji-janji tinggal janji, rakyat harus bisa hidup dengan kehidupan kapitalisme yang terus menggerus kehidupan yang tidak ada lagi subsidi. Kecuali bagi mereka yang ‘ besar’, seperti Bank-Bank yang dulu pernah mendapat kucuran talangan lewat BLBI (Rp 650 triliun), termasuk Bank Century, yang belakangan ini ikut mendapatkan kucuran Rp.6.7 triliun. Tapi, tidak untuk orang-orang miskin, yang tidak memiliki arti apa-apa.

Getir. Mereka mudik dengan menggunakan motor berboncengan bersama keluarganya, yang tak jarang, diantara mereka tak sampai dikampung halamannya, karena kecelakaan dan meninggal. Kereta dan bus serta kendaraan angkutan lainnya, yang umumnya digunakan kelas menengah ke bawah, penuh sesak, dan semrawut. Hanya karena mereka orang-orang miskin. Siapa yang masih memiliki belas kasihan terhadap orang-orang miskin di negeri ini?

Mungkin mereka akan menerima kenyataan hidup dengan penuh pasrah. Sembari mengatakan : Lanjutkan!