Menggugat Kebijakan Enam Tahun SBY

Hari ini, Selasa 28 September, rencananya para aktivis yang akan menggelar Gerakan 10/10 mengadakan pertemuan pematangan aksi di kantor Lembaga Bantuan Hukum atau LBH Indonesia di Jalan Diponegoro Jakarta Pusat.

Mereka terdiri dari berbagai LSM dan organisasi kemahasiswaan. Tujuan aksi Gerakan 10/10 ini lumayan mencolok: Turunkan SBY, Turunkan Harga, Usir Penjajah-penjajah Asing (perusahaan-perusahaan Neolib), dan Usut Tuntas Skandal Century.

Momentum bulan Oktober yang mereka pilih adalah memperingati enam tahun pemerintahan yang dipimpin oleh Presiden SBY. Selama enam tahun itu, menurut mereka, SBY dianggap tidak becus mengelola negeri ini untuk menuju masyarakat yang adil dan makmur.

Apa yang ingin disuarakan dari Gerakan 10/10 ini boleh jadi sebagai gugatan apa yang telah dilakukan SBY terhadap negeri berpenduduk lebih dari dua ratus juta ini. Sebuah negeri kaya dengan sumber daya alam yang diakui dunia, tapi masih belum jelas mau jalan kemana.

Di hampir semua kebijakan strategis, belum terlihat adanya perbaikan, terutama ekonomi untuk rakyat negeri ini. Jumlah kemiskinan kian bertambah dan pencaplokan perusahaan asing terhadap perusahaan pribumi kian menjadi hal yang lumrah.

Kebijakan energi misalnya. Seperti yang disampaikan pengamat kebijakan energi, Marwan Batubara, produk batubara di Indonesia yang mencapai 300 juta ton per tahun, hanya 20 persen saja yang diperuntukkan kebutuhan dalam negeri. Sementara, sekitar 250 juta ton diekspor untuk kebutuhan luar negeri. Di antara para penikmat ekspor ini adalah Cina.

Anehnya, justru ekspor yang 80 persen itu berlangsung di tengah krisis energi dalam negeri. PLN misalnya yang menaikan harga listrik karena biaya produksi dengan BBM yang terus naik. PLN tidak menggunakan batubara karena produk yang melimpah di Indonesia itu harus mereka beli di bursa internasional, dan tentunya dengan biaya internasional. Begitu pun dengan krisis pupuk yang berhubungan dengan kebijakan ekspor gas yang sama dengan batubara.

Belum lagi eksplorasi sumber daya alam lain yang lebih mensejahterakan perusahaan asing daripada mensejahterakan rakyat Indonesia. Sudah bukan pemandangan baru bagaimana rakyat Papua hidup dalam kemiskinan sementara penghasilan alam mereka berupa emas dikuras habis perusahaan asing Amerika.

Begitu pun dengan pemberdayaan sektor riil. Bagaimana mungkin sektor ekonomi mayoritas rakyat ini bisa bergeliat jika dipatok dengan suku bunga perbankan yang saat ini bertengger di level sekitar 12 persen. Sementara, di Cina hanya berkisar 5 persen.

Belum lagi sektor lain seperti politik, hukum, dan keamanan. Negeri ini seolah masih dalam mimpi ketika berbicara soal penegakan hukum yang adil, dan keamanan untuk seluruh rakyat.

Begitu pun dengan upaya membentuk pemerintahan yang bersih. Alih-alih ada pengokohan institusi pemberantas korupsi seperti KPK, justru publik dikejutkan dengan kasus kriminalisasi KPK dan obral remisi untuk para koruptor.

Rakyat negeri ini tidak butuh atraksi dan pencitraan politik yang sudah memuakkan. Rakyat butuh kesejahteraan, keadilan, dan keamanan. mnh