Editorial

Belum digelar pemilihan presiden (pilpres) pasangan SBY-Boediono sudah menang mutlak. Survei yang dialkukan LSI (Lembaga Survei Indonesia) menunjukkan hasil yang sangat fantastik.

Namanya juga politik. Dinamikanya sangat kuat. Setiap saat dapat mengalami perubahan. Interaksi antara kekuatan-kekuatan politik dan tokohnya sangat intens.

Banyak yang marah dan kecewa. Khususnya warga keturunan Arab. Mengapa? Pasalnya, Anggota Tim Kampanye SBY-Boediono, Ruhut Sitompul, di dalam sebuah dialog di stasiun TV swasta, mengatakan bahwa Arab tidak pernah membantu Indonesia.

Orang-orang yang dekat Boediono sibuk menjelaskan bahwa cawapresnya SBY ini bukan Neolib. Tapi, benarkah bahwa Boediono itu bukan seorang penganut Neolib?

Partai-partai Islam sampai sekarang belum ada, yang mempunyai langkah-langkah strategis membangun kekuatan yang mandiri, yang tidak menjadikan para jendral sebagai patron mereka dalam berpolitik.

Presiden SBY membatalkan pendeklarasian Cawapres yang akan mendampinginya, dan rencananya akan dilaksanakan di kota Bandung, Senin ini.

Teka-teki hampir terpecahkan. Siapa yang dipilih Presiden SBY menjadi pendampingnya, sebagai cawapres pada pemilu Juli nanti.

Sebuah entitas politik yang besar akan berpulang kepada individu-individu. Individu-individu menjadi struktur  yang paling kecil dari sebuah entitas politik, yang bernama negara.

Usai pemilu 2009, para pengamat politik dengan serta merta berbicara dengan gaya yang agak ‘vulgar’ menyatakan bahwa partai-partai Islam, tidak laku dan tidak memiliki pemilih.

Indonesia bergerak dari titik ekstrim ke titik ekstim yang lain. Dari pemerintahan sebelumnya, dibawah kepemimpinan  Presiden Soeharto, menganut sistem yang sangat tertutup yang otokratis (menindas), serta despotis.