Rakyat Mati Makan Tiwul, Pejabat Kekenyangan

Sangat paradok dibandingkan dengan pesta pora menjelang tahun baru 2011. Kemeriahan yang luar biasa. Tempat-tempat hiburan, hotel, mall, dan tempat wisata penuh sesak. Pesta kembang api di mana-mana, memperingati tahun baru masehi di Ancol, Monas, dan Bundaran HI, disaksikan jutaan orang. Tahun baru masehi, yang tak lain, tahun baru orang Nasrani.

Pemerintah yang melakukan rapat khusus bidang ekuin, di Istana Bogor, merilis laporan tentang turunnya angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan angka statistik kemiskinan turun 1,5 juta. Orang miskin dari 32,5 juta, turun menjadi 31 juta jiwa. Itulah suguhan dari rapat kabinet di Istana Bogor, yang dipimpin Presiden SBY. Seakan ini menjadi prestasi yang membanggakan dan spektakuler selama periode pertama pemerintah Presiden SBY, di tahun 2010.

Kemeriahan menyambut tahun baru itu, dan laporan turunnya angka kemiskinan, tak sebanding dengan berita yang sangat menyentakkan, di mana di Jepara, terjadi kematian akibat rakyat mengkonsumsi makanan gaplek. Di Jepara, Jawa Tengah, pemerintah merilis angka kemiskinan menurun, tetapi faktanya justru kemiskinan menjadi penyebab kematian.

Enam orang anak yang merupakan pasangan Jamhamid (45) dan Siti Sunayah (41), meninggal akibat makan tiwul (gaplek), yang di duga mengandung racun. Tiwul di daerah Jawa sehari-hari menjadi pengganti beras. Mereka tak mampu membeli beras, yang harganya terus naik. Rakyat miskin seperti Jamhamid dan Siti Sunayah memilih makan tiwul, karena tidak mampu membeli beras. Jamhamid dan Siti Sunayah lainnya masih banyak, yang hidup di daerah-daerah pedesaan, yang mereka tidak mampu lagi membeli beras.

Apalagi bila mereka petani penggarap yang tidak memiliki sawah. Menjadi buruh tani. Penghasilan mereka sangat kecil. Tidak cukup untuk menghidupi kebutuhan mereka sehari-hari. Kehidupan di pedesaan, rakyat sudah terbiasa makan tiwul, yang bahan bakunya dari gaplek. Musim peceklik  dan  gagal panen, akibat terjadinya bencana, dan mereka menjadi kehilangan sumber kehidupan mereka, yang berasal dari sawah. Inilah tragedi yang terjadi di pedesaan.

Bukan hanya makan tiwul yang menjadi menu rakyat dipedesaan. Mereka juga menjadi penyantap menu nasi aking. Nasi aking, tak lain, nasi sisa (basi) yang dijemur dan dikeringkan, lalu ditanak (dimasak), dan menjadi menu sehari-hari. Ini merupakan penorama di daerah-daerah padesaan yang mayoritas di Jawa.

Iklim yang tidak lagi ramah, dan terjadi anomali, terjadinya terus-menerus  bencana, yang merusak tanaman petani, dan mereka menjadi rugi. Karena mereka terus mengalami kerugian, maka mereka kehilangan sumber penghasilan yang pokok dari hasil pertanian. Petani di desa umumnya mereka hanyalah mengandalkan satu-satunnya sumber penghidupan mereka adalah dari pertanian.Tidak ada sumber yang lain, yang mereka dapatkan.

Kembali, pasangan Jamhamid dan Siti Sunayah, mempunyai enam orang anak, yaitu Luthfiah (22 tahun), Abdul Amin (3 tahun), Ahmad Kusrianto (5 tahun), Ahmad Hisyam Ali (13 tahun), Saidatul Kusniah (8 tahun), dan Faridatul Solihah (15), semuanya tewas akibat makan tiwul. Inilah tragedi kemiskinan yang telah merenggut anak bangsa.

Jamhamid seorang buruh konveksi yang penghasilannya hanya Rp 120-150 ribu per pekan. Dengan anak delapan orang. Mereka harus mempertahankan hidup dengan penghasilannya itu. Jangankan untuk sekolah anak mereka. Untuk bertahan hidup pun mereka harus makan tiwul.

Bayangkan berupa uang yang dihabiskan perhari untuk makan siang seorang pejabat di Indonesia? Bayangkan berapa uang yang dibahabiskan perhari untuk makan siang seorang ekskutif di Indonesia? Bayangkan berapa uang yang dihabiskan perhari untuk makan siang seorang pemimpin partai politik? Bayangkan berapa uang yang dihabiskan perhari untuk makan siang seorang anggota DPR/DPRD di Indonesia? Berapa uang yang dihabiskan untuk berlibur akhir tahun orang kaya di Indonesia? Bayangkan berapa uang orang-orang kaya yang dihabiskan untuk makan siang?

Sementara para pejabat dan penguasa negeri ini mereka tetap menikmati hidupnya, diatas kematiannya rakyatnya yang mati karena makan tiwul. Merka masih dapat tertawa-tawa di malam tahun baru di hotel-hotel, tempat peristirahatan sambil bercengkarama.

Mereka tidak ambil peduli rakyatnya mati kelaparan dan mati karena makan tiwul atau nasi aking. Mereka terus bercerita tentang keberhasilan yang mereka capai selama tahun 2010, dan dengan indikator dari data-data statisktik, yang sudah disiapkan oleh BPS (Badan Statistik Pusat), di Istana Bogor.

Rakyat mati makan tiwul dan nasi aking, bukan menjadi masalah besar, bagi para pemimpin negeri ini, karena rakyat memang harus begitu nasib mereka. Wallahu’alam.