Pelangi Retak (Bag. 8)

Ini adalah hari ketujuh aku menghirup udara sedingin 16 derajat celsius di ruangan server. Rasanya seperti sudah setahun. Sebuah perjalanan panjang yang melelahkan. Di tanganku sudah tergenggam dua lembar amplop. Surat Pengunduran Diri.

Aku memang tidak punya alasan kuat untuk memilih keputusan ini. Aku hanya tidak ingin melangkah terlalu jauh. Apalagi berhadapan setiap hari dengan orang seaneh Mr. Aan Ardhantie…

Yah, waktu seminggu mungkin begitu singkat tapi sudah terlalu panjang untuk membuat manajer angkuh itu menceritakan semua. Memaksaku masuk ke dalam masa lalunya. Dan itu berarti…aku telah menyalakan api. Sebelum terbakar, aku benar-benar menjauh. Aku tidak mau menjadi lilin yang rela dirinya hancur luluh hanya karena ingin menerangi sekitar.

“Sepertinya kehadiran Rieni akan membawakan setitik cahaya dalam hidupku.” Ujarnya kemarin. Dan itu untuk pertama kalinya dia memanggilku tanpa embel-embel “Bu”. Ah, menakutkan. Dan adalah langkah terbaik kalau pagi ini aku benar-benar harus berjanji pada diriku bahwa ini adalah untuk yang terakhir kalinya aku melangkahkan kaki di perusahaan ini.

***

“Selamat pagi, Rien… Selamat datang. Gimana perasaanmu hari ini? Enjoy? Masih betah di sini kan?”

Sepagi ini dia sudah datang dengan sederet pertanyaan yang tak mungkin bisa kujawab. Apa dia sudah punya firasat ya?

“Saya ingin menyerahkan ini, Pak!”

Kusodorkan salah satu surat pengunduran diriku. Yang satunya lagi masih kugenggam dan akan kuserahkan ke bagian personalia.

“Apa ini?”

“Bapak bisa membacanya di ruangan Bapak!”

“Kok?” alisnya menyatu. Tapi aku tak peduli. Mungkin juga, ini adalah saat terakhir aku bertemu dengannya.

Tapi bukannya menuruti keinginanku, dia malah langsung menyobek kasar sudut surat itu. Dan dengan gerakan mata yang cepat, manajer aneh itu membaca suratku.

“Mengundurkan diri? Kamu?”

“Ya, Pak! Saya merasa kurang cocok bekerja di sini.”

“Kurang cocok dengan pekerjaan atau dengan saya?”

“Yang pasti dengan pekerjaan. Saya tidak tahan dengan kondisi ruangan server yang terlalu dingin, Pak. Saya alergi dingin. Farangitis saya sering kambuh kalau terlalu lama berada di udara dingin.”

Ah, akhirnya kalimat yang telah kupelajari semalam itu mengalir dengan lancar. Meyakinkan. Dan cukup logis kukira.

“Ya…saya kira saya bisa bertahan di sini. Tapi ternyata tidak. Tadi malam mimisan saya kambuh dan saya tahu pasti apa penyebabnya.”

“Oh, kenapa selama ini Bu Rien tidak pernah cerita? Mungkin pihak perusahaan memiliki alternatif solusi atas masalah Anda.”

“Tidak, Pak. Keputusan saya sudah bulat.”

“Saya harap Bu Rien akan mempertimbangkannya sekali lagi.”

Saya sudah terlalu lama mempertimbangkannya, Pak...

“Ok! Saya tidak bisa memaksa Anda untuk tetap bekerja di sini. Yang jelas, saya pribadi tidak rela kalau anda meninggalkan kantor ini sekarang. Dan saya harap, hubungan kita tidak akan terputus sampai di sini.”

Simpan saja basa-basimu, Tuan Manajer. Sepertinya harapan terbesar saya adalah menghindari Anda.

“Anda tahu, dengan masa kerja sesingkat ini, anda tidak akan mendapatkan apa-apa dari perusahaan. Tidak menyesal?”

“Ini yang terbaik buat saya, Pak!”

Ah, seharusnya aku tidak perlu berkata begitu. Kenapa aku harus membohongi diriku sendiri? Bukankah aku menyukai pekerjaan ini? Kenapa begitu mudah meninggalkannya, padahal, bukan hal yang mudah untuk bisa masuk ke perusahaan ini. Di luar sana, orang-orang kebingungan mencari pekerjaan, sedangkan aku… dengan santainya meninggalkan pekerjaan yang dicari banyak orang.

“Pak, saya minta maaf kalau saya melakukan banyak kesalahan.”

“Oh, ya. Sama-sama. Saya juga minta maaf kalau sering menyakiti Anda. Senang bisa mengenal Anda. Semoga menemukan apa yang Anda cari!”

“Terima kasih, Pak.”

Nyess. Dadaku seperti baru dibebaskan dari sebuah beban maha berat yang menghimpit. Lega rasanya. Selamat tinggal PMM… selamat tinggal Mr. Aan yang super aneh. Semoga anda menemukan jalan-Nya…..

***

“Apa, Li? Kamu sudah benar-benar keluar dari perusahaan itu? Kamu sadar kan dengan apa yang kamu pilih?”

Of course. Masa aku gak sadar, sih!”

“Li! Kamu tau kan… cari kerjaan sekarang itu sulitnya bukan main. Dan ini… adalah perusahaan keempat yang kau tinggalkan. Dengan alasan senada. Mungkin lebih baik kalau kamu mendirikan perusahaan sendiri atau LSM yang isinya perempuan yang semuanya satu misi denganmu.”

“Biarkan aku menuruti kata hatiku, sobat.”

I see, honey. Tapi aku jadi bingung. Apa sih sebenarnya yang kau cari?”

“Aku nyari tempat dan lingkungan kerja yang membuatku save. Itu aja.”

“Dan itu belum kau temukan?”

“Hmm…yah, begitulah.”

“Li…tidak ada yang sempurna di dunia ini. Nggak ada yang seideal bayangan kita. Kau tahu, ideal itu hanya sesuatu yang utopis. Rasional, dong!”

“Kalau memang nggak cocok kenapa harus menyiksa diri?”

“Kau berubah, Li!”

“Hilma…kita ganti topik, saja ya… daripada ntar jadi berantem.”

“Tapi kau harus sudah memikirkan masa depan, Li…”

“Masa depan kan tidak hanya bisa dibangun dengan uang!”

“Ok! I trust you, sobat. Kau tahu ke mana harus mencari pelita ketika semuanya terasa gelap…”

***

(bersambung)