Pelangi Retak (Bag. 9)

PENGGALAN 4

Pagi ini aku sibuk menyiapkan segala sesuatu agar aku tampil sempurna. Tak sempat lagi menikmati barisan pelangi dan semburat kemerahan sang mentari yang juga mulai berbenah untuk menunaikan tugas rutinnya menyinari dunia.

“Ingat, Li! Ini adalah kantor kelima yang kau masuki. Aku berharap kamu akan menemukan apa yang kau cari. Dan berusahalah untuk lebih bisa menerima keadaan. Terimalah kekurangan orang lain. Kehidupan sering kali tidak seideal impian kita!” begitu pesan Hilma kemarin yang masih tercatat rapi di memoriku. Kali ini aku sengaja meneleponnya lebih dulu sebelum memulai hari pertamaku di Citra Persada, sebuah perusahaan outsourcing software di kawasan Jakarta Timur.

Perusahaan ini tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan PMM atau tiga perusahaan yang kumasuki sebelumnya. Namun, bangunannya yang kecil tertata begitu artistik. Dua pilar beton berelief halus menyangga tepat di kedua sisi bangunan. Pintu utama seluruhnya terbuat dari glass art dengan lukisan natural dengan warna-warna cerah. Di tengah-tengah halaman kantor terdapat sebuah taman kecil berbentuk setengah lingkaran. Ditumbuhi rumput jarum dan kolam air mancur mungil di tengahnya. Semuanya serba mungil, tapi terkesan mewah. Elegan.

“Selamat datang di Citra Persada, Mbak. Selamat memulai hari-hari yang lebih menyenangkan di sini.” Kalimat pertama yang kudapat dari seorang wanita yang tak terlalu muda, tapi dandanannya yang naturalis cukup menyiratkan wibawanya. Dia atasanku di sini. Dari sikapnya yang ramah, aku punya keyakinan bahwa aku akan bertahan lebih lama di sini.

“Untuk hari pertama, mungkin Mbak Rienita belum bisa mengerjakan banyak hal. Pelajari saja semuanya terlebih dulu. Saya sudah buatkan job description dan beberapa penjelasan penting tentang tugas anda nantinya. Silahkan buka di hard disk. Silahkan tanyakan apapun yang belum jelas. Saya yakin, anda punya kemampuan di atas rata-rata. Jadi, saya harap kemampuan itu bisa tersalurkan dengan optimal di sini. Ok, selamat bekerja!”

Sebelum pergi menuju ruangannya sendiri, wanita itu sempat menyalamiku hangat. Ah, begitu berbeda dengan manajerku sebelumnya…

Ya Allah, segala puji bagimu. Aku merasa begitu dihargai dengan kepercayaan yang diberikannya. Tapi, baru saja aku akan memulai pekerjaanku, Siemensku berdering. Sebuah nama terpampang di sana. Enggan aku mengangkatnya. Tapi suara ringtonenya yang terus melengking memaksa tanganku untuk menekan tombol terima.

“Ass….”

“Pagi, Rien!” dadaku berdegup kencang. Suara bariton itu membangunkan memoriku pada peristiwa demi peristiwa beberapa minggu yang lalu. Peristiwa yang sempat membuatku down. Apa pula ini? Untuk apa dia meneleponku pagi-pagi dengan gaya sok akrab.

“Kok diam? Kaget, ya. Maaf, ganggu. Gimana kabarnya?

“Baik, Pak.” Sahutku datar.

“Ayolah…santai saja. Sekarang saya bukan lagi atasanmu. Jadi tidak usah memanggil saya, “Pak”. Gimana? Biar lebih akrab.”

“Tapi…”

“Oh, I see. Ok-lah. Nggak pa-pa. Sudah dapat pekerjaan baru?”

“Sudah, Pak. Ini adalah hari pertama saya bekerja. Saya baru akan memulai pekerjaan ketika Anda menelepon saya dan menanyakan sesuatu yang tidak terlalu penting.”

“Oww, maaf. Selamat kalau begitu. Saya tahu pekerjaan itu sangat penting bagi anda. Ok, kapan-kapan saya call lagi. Terima kasih waktunya.”

“Klik!”

Sambungan terputus. Tapi aku sudah kehilangan seleraku untuk melanjutkan pekerjaan. Hingga jam makan siang berlangsung, tetap tak banyak yang kulakukan. Hanya membolak-balik contoh-contoh design program beberapa perusahaan asing yang kebetulan menyerahkan Technology information systemnya ke Citra Persada. Penat rasanya. Membuat satu desain flowchart saja aku melakukan banyak kesalahan. Hhh!!

Sudah dua kali handphone-ku berdering namun tak pernah kuangkat. Sengaja kuprogram silent agar suara ringtone-nya tak terdengar. Masih nama yang sama. Apa sih, maunya orang ini?

***

Sore itu tol Bekasi Timur macet total. Bis hanya bergerak sekitar lima belas menit sekali. Suara klakson bersahutan. Dan waktu berlalu seperti dengungan lebah yang mengamuk karena sarangnya dirusak. Kacau dan ruwet. Ah, jalan-jalan ini membuatku ingin kembali ke masa-masa kuliah saja. Datang, duduk, diam, denger dan moga-moga aja enggak dapat D. Begitu semboyan teman-temanku dulu. Nggak ada waktu yang terbuang untuk memusingkan sikap atasan yang aneh, gaji dipotong karena kesalahan pembuatan program, deretan bahasa pemrograman COBOL dan syntax 4GL yang memusingkan. Belum lagi serangkaian complain dari user-user bawel tipe-tipe perfeksionis.

Berbeda dengan Hilma yang tiap hari menghadapi manusia. Manajemen motivasi, menyemangati karyawan, seleksi bakat dan minat, memberikan konseling, dan sederetan pekerjaan kemanusiaan lainnya. Ah, pasti dia selalu bahagia karena setiap hari mendapatkan ucapan terima kasih dari karyawannya. Kenapa dulu aku nggak masuk psikologi aja, ya…?

Perjalanan ke tempat kos terasa amat melelahkan. Dan baru saja kuhempaskan tubuhku di atas tempat tidur, Siemensku berdering lagi. Tapi kali ini hanya tanda “message receive”.

Li, aku jadian. Sama atasanku. Saat makan siang tadi. Kasih selamat dong…

What?? Aku terlonjak. Anak ini memang benar-benar gila. Apa-apaan sih tuh anak. Katanya nggak mau pacaran. Semua yang ditampakkan semu, munafik, de el el…sekarang buktinya? Hilma…Hilma… Sekarang aku bersyukur dulu nggak jadi masuk psikologi. Bisa-bisa aku ketularan sciezofremia sepertimu.

Selamat! Kenapa nggak nikah aja sekalian?

Aku berharap Hilma tak lagi membalas smsku. Anak itu biasanya kalo dituruti bisa jadi chatting. Aku butuh waktu untuk meluruskan otot-otot tubuhku. Dan memang…Hilma tak membalasnya. Hingga akhirnya aku bisa tertidur lelap… zzhh…zzhh...

***

(bersambung)