Konglomerat, Sebuah Refleksi

Konglomerat, Sebuah Refleksi

Saiful Adl itu memang buron Pemerintah Mesir sejak dulu. Beliau diduga terlibat pembunuhan Anwar Sadat. Krisis keamanan itulah yang membuat beliau betah di Afghanistan. Setelah perang Afghan-Soviet usai, ia tak kunjung pulang. Ia berjaya menjadi pemikir dan perancang strategi Al-Qaidah serta masuk dalam lingkar inti Usamah. Akan tetapi ‘krisis keamananan’ bukanlah satu-satunya penyebab beliau betah menjadi muhajir. Dalam sebuah catatannya yang dikirimkan ke Fuad Hussein, ia pernah menyebutkan bahwa sebuah perubahan memiliki syarat penting berupa jaminan keamanan organisasi dan pendanaan yang memadahi.

Keamanan dan Dana itulah dua syarat yang menurutnya tak dimiliki oleh harakah jihadiyah di Mesir. Dan Afghanistan dinilai lebih memiliki syarat bagi terwujudnya perubahan. Pilar keamanan dimiliki oleh Thaliban sementara pilar dana dimiliki oleh muhajir bernama Usamah bin Laden. Dunia memahami bahwa Usamah sudah kaya sejak lahir. Perusahaan keluarganya menggurita di lebih dari 30 negara. Sektor usahanya pun beragam dari konstruksi, telekomunikasi, hingga minyak. Media Barat bahkan menaksir laba perusahaan Bin Laden mencapai US $ 5 Milyar/tahun. Saya tak pandai menghitung tapi agaknya angka itu jika dirupiahkan mencapai 50 Triliun. Itu setara dengan seperempat perolehan pajak Indonesia era Megawati.

Tentu Bin Laden Group bukan Usamah. Tapi tidak menghubungkan sama sekali juga tidak betul. Sebagai generasi ke-2 yang mewarisi kekayaan abahnya, sangat lazim antar ahli waris mewarisi dalam serikat saham. Asset Usamah memang target utama yang dibekukan. Usamah juga mungkin sudah tak punya nomor rekening. Di publik, keluarganya bahkan sering mendeklarasikan ‘cuci-tangan’ mereka dari sepak terjang Usamah. Tetapi, dalam bab loyalitas dan tradisi persekutuan keluarga Arab (terlebih adik-kakak) sangatlah sulit dicari tandingannya. Sikap di publik bisa berbeda dengan sikap didalam rumah. Cerita bagaimana prosesi kepindahan Usamah dari mahjar Sudan ke Afghanistan dengan mencarter pesawat khusus, menggambarkan betapa beliau adalah pribadi yang kuat secara lobi dan pendanaan.

Jadi dana itu serupa ‘darah’ dalam perjuangan. Mematikan perjuangan harus dengan menghilangkan darahnya. Bukankah pemblokiran rekening aktifis jihad sudah berlangsung lama? Bukankah BNPT juga menempatkan ‘funding’ sebagai unsur kedua (next target) setelah apa yang diistilahkan sebagai ‘aksis teror’ itu sendiri?; satu tingkat sama bahaya-nya dengan unsur doktrin dan unsur rekrutmen? Itulah pertarungan. Masing-masing kubu harus menjalankan tugas dan fungsinya masing-masing. Seorang kawan yang memimpin LSM Kemanusiaan yang cukup popular di negeri ini pernah bercerita bahwa dirinya dipanggil PPATK secara pribadi. Intinya, orang penting di lembaga bergengsi itu menasehati beliau agar berhati-hati karena FBI meminta PPATK untuk mengaudit aliran dana LSM itu. Padahal itu lembaga kemanusiaan murni dan didanai sepenuhnya oleh ummat. Tapi sekali lagi, itulah pertarungan. FBI tak kenal siapa itu FPI, HTI, atau FUI. Yang mereka kenal bahwa mereka ada di shaf Islam dan musuh kami.

Orang bilang ini zaman modern. Modern konon dicirikan dengan distribusi power yang merata di tengah publik dan tidak menumpuk di titik tertentu. Tapi soal pusat fulus, zaman dahulu dan zaman sekarang tetap sama. Konglomerat tetap menempati point kunci. Tidak di Barat tidak di Timur; Tidak untuk nilai hitam atau nilai putih. Dalam sebuah workshop di Yogyakarta yang disponsori Asia Foundation untuk para wartawan sesaat setelah tumbangnya Soeharto, para sosiolog berdiskusi ihwal siapa ‘Kelompok Strategis’. Dan kesimpulannya, ‘kapital’ menempati peringkat utama yang menentukan merah hijaunya ‘sebuah kebijakan’. Naifnya, kapital itu dipegang oleh manusia dan kelompok yang terbatas. Itulah kenapa skandal century tak pernah diselesaikan. Skandal Gayus demikian juga. Salah satu alasan yang pernah terpublikasi kenapa skandal piknik Gayus (termasuk misteri passport) menjadi remang-remang adalah karena ‘Jika dibuka maka akan mempengaruhi stabilitas Negara’. Agaknya, ada kelompok ‘kapital’ yang sangat diperhitungkan dalam kasus ini.

Dalam khazanah kita, kita kenal Abdurrahman Bin Auf RA. Kekayaan dan kedermawanannya sampai membuat seluruh penduduk Madinah bersyarikat dengan hartanya. Beliau pernah menjual tanah dan membaginya sebesar 40.000 dinar. Jika dinar hari ini senilai @ Rp. 1.500.000,-, maka itu setara 60 Milyar. Beliau pernah juga membagi 50.000,- dinar atau setara Rp. 75 Milyar. Dalam peperangan beliau pernah mendermakan 1500 dan 500 ekor kuda. Jika kita hargai murah seekor kuda dengan Rp. 5 juta, itu setara 10 Milyar. Beliau juga pernah mensedekahkan 700 ekor kuda beserta barang dagangannya kepada penduduk Madinah. Jika masing-masing kuda berikut muatannya ditaksir @ Rp. 7.5 juta, itu setara 5 Milyar lebih.

Angka-angka itu tentu menggambarkan bahwa seorang personal kadang kemampuan finansialnya mengalahkan komunitas. Juga bahwa distribusi mayoritas finansial sering ada di tangan-tangan terbatas. Juga menggambarkan bahwa meski Para Sahabat dihasung untuk hidup sederhana dan zuhud, tapi itu tidak menghalangi Sahabat menjadi konglomerat. Ya.. uang besar ada di tangan mereka tapi ‘tidak masuk’ di dalam hati. Dalam cerita yang popular soal Abu Bakar RA yang menyumbangkan seluruh hartanya (5.000 dinar) dalam sebuah jihad, kalau kita konversi itu setara 7.5 Milyar. Di dunia aktifis hari ini, uang segede itu sudah sangat besar. Kita belum bercerita soal bagian ghanimah Rasulullah SAW, sumbangan Utsman bin Affan dan donasi Umar bin Khottob. Kondisi ini agaknya sedikit berbeda dengan dunia aktifis hari ini. Jumlah konglomerat tidak banyak (untuk tidak menyebut belum ada). Jika ada konglomerat di kalangan Islam, mereka biasanya kehilangan orientasi perjuangan. Aktifis sekarang lebih siap menjadi muhajir daripada menjadi anshar.

Tapi kita harus tetap bersyukur. Bahwa uang receh jika dikumpulkan juga akan menjadi besar. Perjalanan gerakan Islam hari ini lebih banyak disupport dari dana receh semacam ini. Secara fondasi tentu ini lebih kuat karena tidak bertumpunya power di titik tertentu. Pada era dimana Khilafah Islam sudah mulai tertata, pusat finansial juga mulai diarahkan dari personal ke Baitul Mal. Karena dominasi personal juga ada madhorot-nya terutama jika ada interest dan pamrih. Meski demikian fungsi konglomerat tetap harus difikirkan. Jika tidak kuat mikir, perlu didoakan agar ada. Sebab ia kadang serupa mawahib (hadiah) dari Allah setelah sekelompok orang bersungguh-sungguh beramal dengan uang receh. Hadirnya 1 konglomerat bernama Usamah membuat Amerika kalang kabut. Semoga orang konglomerat di Indonesia ada yang dapat hidayah dan bisa membantu Islam ☺.