Khilafiyah, Bukankah Kebenaran Hanya Satu?

Ustadz yang dirahmati ALLOH,

Bagaimana kita harus memandang masalah khilafiyyah, bukankah kebenaran itu hanya satu?, maksud ana, kalaupun di antara hal yang menjadi khilaf itu -katakanlah semua benar- bukankah di antaranya keduanya ada nash yang paling kuat, ambil contoh isbal di mana Ibnu Hajar dan Syaikh Bin Baz berselisih, dengan contoh tersebut bukankah ada nash paling kuat?, dan kewajiban kita mengikuti nash yang paling kuat itu.

Mohon penjelasannya.

JazakumuLLOH,

Assalamu ‘alaikum waramatullahi wabarakatuh,

Kalau kita bicara pada konteks aqidah Islam yang bersifat asasi dan fundamental, maka prinsipnya kebenaran memang hanya ada satu. Pada masalah fiqhiyah yang bersifat qathi’i dan menjadi ijma’ para ulama, kebenaran memang hanya ada satu.

Namun ketika kita memasuki wilayah furu’ (cabang), kebenaran bisa menjadi banyak, karena pengaruh bias dalil yang ada. Boleh jadi nash atau dalil teks yang digunakan sama, namun cara mengambil kesimpulannya berbeda. Seperti dalam masalah quru’, yaitu masa iddah seorang wanita yang ditalak suaminya. Bahkan terkadang ada beberapa nash dalil yang keshahihannya diperselisihkan, seperti masalah shalat tasbih.

Nash Yang Paling Kuat Tidak Selalu Sama Dengan Kebenaran

Mungkin anda heran dan kaget dengan pernyataan di atas. Tetapi ketahuilah bahwa tolok ukur kebenaran bukan semata-mata kekuatan nash. Bukan hanya karena suatu hadits dianggap shahih, lantas apa yang dipahami dari hadits itu adalah pasti kebenaran. Tidak demikian saudaraku.

Sebab boleh jadi suatu hadits itu sudah muttafaqun ‘alaihi, tidak ada yang berselisih tentang keshahihannya. Namun tetap saja masih mungkin terjadi beda pendapat dalam menerapkan hadits itu dalam kasus hukum.

Adakah hadits yang lebih shahih dari ayat Al-Quran? Jawabnya pasti tidak ada. Al-Quran adalah hadits yang mutawatir dengan beberapa kelebihan. Tetapi tetap saja ulama berbeda pendapat tentang pengertian hukum dan kesimpulan aplikatif suatu ayat. Dan jumlah ayat ahkam yang diperselisihkan sejumlah ayah ahkam itu sendiri. Padahal semuanya shahih bahkan mutawatir, tetapi tetap saja ada khilaf di dalamnya.

Apalagi mengingat bahwa keshahihan suatu hadits ternyata bukan hal yang qath’i. Buktinya tidak semua hadits dalam shahih bukhari dikatakan shahih oleh Albani. Meski hal itu dikritik oleh para muhaddits lain. Bahkan Albani sendiri sering bersikap mendua ketika menyatakan status hukum suatu hadits. Di dalam satu kitab beliau mengatakan A dan di kitab lain beliau bilang B, untuk satu hadits yang sama.

Apa yang dibilang sebagai hadits palsu oleh Ibnul Jauzi ternyata dishahihkan oleh Al-Bukhari dan Albani. Misalnya tentang hadits shalat tasbih.

Maka, kebenaran bukan ditentukan oleh semata shahih atau tidaknya suatu nash. Bahkan keshahihan itu adalah semata produk ijtihad manusiawi.

Khilaf Sudah Ada Sejak Masa Nabi SAW

Di masa nabi sendiri, khilaf bukan tidak pernah terjadi. Bahkan khilaf terjadi di depan hidung Rasulullah SAW sendiri. Ingat peristiwa shalat Ashar di perkampungan bani Quraidhah?

Para shahabat terpecah dua, sebagian shalat Ashar di perkampungan Bani Quraidhah, meski telah lewat Maghrib, karena pesan nabi adalah, "Janganlah kalian shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah." Namun sebagian yang lain tidak shalat di sana, tetapi di tengah jalan namun pada waktunya.

Lalu apa komentar nabi, adakah beliau membela salah satu pendapat. Jawabnya tidak. Beliau tidak menyalahkan kelompok mana pun karena keduanya telah melakuka ijtihad dan taat kepada perintah. Hanya saja, ada perbedaan dalam memahami teks sabda beliau. Jadi, khilaf di masa kenabian sudah terjadi dan tetap menjadi khilaf.

Khilaf Perang Badar

Terkadang khilaf bukan terjadi hanya di antara shahabat nabi saja, namun terjadi juga antara nabi SAW dengan para shahabatnya.

Dalam kasus penempatan pasukan perang di medan Badar, terjadi perbedaan pendapat antara Rasulullah SAW dengan seorang shahabat. Menurut shahabat yang ahli perang ini, pendapat Rasulullah SAW yang bukan berdasarkan wahyu kurang tepat. Setelah beliau menjelaskan pikirannya, ternyata Rasulullah SAW kagum atas strategi shahabatnya itu dan bersedia memindahkan posisi pasukan ke tempat yang lebih strategis.

Di sini, nabi SAW bahkan menyerah dan kalah dalam berpendapat dengan seorang shahabatnya. Namun beliau tetap menghargai pendapat itu. Toh, pendapat beliau SAW sendiri tidak berdasarkan wahyu.

Ketika perang nyaris berakhir, muncul keinginan di dalam diri beliau untuk menghentikan peperangan dan menjadikan lawan sebagai tawanan perang. Tindakan itu didasari oleh banyak pertimbangan selain karena saat itu belum ada ketentuan dari langit. Maka nabi SAW bermusyawarah dengan para shahabatnya dan diambil keputusan untuk menawan dan meminta tebusan saja.

Saat itu hanya satu orang yang berbeda pendapat, yaitu Umar bin Al-Khattab ra. Beliau tidak sepakat untuk menghentikan perang dan meminta agar nabi SAW meneruskan perang hingga musuh mati semua. Tidak layak kita menghentikan perang begitu saja karena mengharapkan kekayaan dan kasihan.

Tentu saja pendapat seperti ini tidak diterima forum musyarawah dan Rasulullah SAW serta para shahabat lain tetap pada keputusan semula, hentikan perang.

Tidak lama kemudian turun wahyu yang membuat Rasulullah SAW gemetar ketakutan, karena ayat itu justru membenarkan pendapat Umar ra dan menyalahkan semua pendapat yang ada.

Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah menghendaki akhirat. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Anfal: 68)

Khilaf di Antara Para Nabi

Kalau para shahabat nabi Muhammad SAW sering berbeda pendapat, maka ternyata para nabi pun sering berbeda pendapat.

Lihat bagaimana nabi Musa as berselisih dengan saudaranya, nabi Harun as. Bahkan sampai menarik kepalanya dengan marah dan kecewa.

Dan tatkala Musa telah kembali kepada kaumnya dengan marah dan sedih hati berkatalah dia, "Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu? Dan Musa pun melemparkan luh-luh itu dan memegang kepala saudaranya sambil menariknya ke arahnya, Harun berkata, "Hai anak ibuku, sesungguhnya kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir-hampir mereka membunuhku, sebab itu janganlah kamu menjadikan musuh-musuh gembira melihatku, dan janganlah kamu masukkan aku ke dalam golongan orang-orang yang zalim"(Q. Al-A’raf: 150)

Konon Musa as kecewa dengan sikap Harus as yang dianggapnya terlalu lemah dan tidak bisa bersikap tegas di hadapan kedegilan kaum mereka, kaum yahudi. Padahal keduanya nabi dan sama-sama dapat wahyu dari Allah SWT. Tetapi urusan berbeda pendapat dan pendekatan, adalah urusan yang bersifat manusiawi. Sangat mungkin ikhtilaf terjadi di kalangan para nabi ‘alaihimussalam.

Bukankah kisah Musa as dengan nabi Khidhir as juga demikian? Keduanya selalu berselisih dan beda pendapat dalam perjalanan. Musa as selalu mempertanyakan semua tindakan shahabatnya itu, meski pada akhirnya beliau selalu harus dibuat mengerti. Tetapi intinya, beda pemahaman itu adalah sesuatu yang wajar dan mungkin terjadi, bahkan di kalangan sesama para nabi. Dan tidak ada kebenaran tunggal dalam hal ini.

Para Malaikat Berikhtilaf

Bahkan sesama malaikat yang mulia dan tanpa hawa nafsu sekali pun tetap terjadi beda pendapat.

Masih ingat kisah seorang yang taubat karena telah membunuh 99 dan 1 nyawa?

Dalam perjalanan menuju taubatnya, Allah mencabut nyawanya. Maka berikhtilaflah dua malaikat tentang nasibnya. Malaikat kasih sayang ingin membawanya ke surga lantaran kematiannya didahului dengan taubat nashuha. Namun rekannya yang juga malaikat tetapi job-nya mengurusi orang pendosa ingin membawanya ke neraka, lantaran masih banyak urusan dosa yang belum diselesaikanya terkait dengan hutang nyawa.

Bayangkan, bahkan dua malaikat yang tidak punya kepentingan hewani, tidak punya perasaan, tidak punya kepentingan terpendam, tetap saja ditaqdirkan Allah SWT untuk berbeda pendapat.

Walhasil, ihtilaf itu adalah sesuatu yang melekat pada semua makhluq Allah, danbukan hal yang selalu jelek atau hina. Ikhtilaf di kalangan umat Islam adalah sesuatu yang nyaris tidak mungkin hilang, apalagi di zaman sekarang ini.

Ikhtilaf Yang Diharamkan

Namun ada jenis-jenis ikhtilaf yang diharamkan dan kita wajib menghindari diri dari sifat dan sikap itu.

Pertama, apabila sudah ada nash yang bersifat qath’i dan tidak ada multi tafsir. Bahkan para ulama telah berijma’ di dalamnya. Mengingkari ijma’ adalah kufur.

Seperti mengatakan bahwa semua agama sama, jelas bukan bagian dari ikhtilaf yang dibenarkan, karena tidak ada satu pun ulama yang membenarkan agama selain Islam.

Kedua, ikhtilaf yang diteruskan dengan kerasa kepala, sombong, takabbur, merasa benar sendiri dan semua orang yang tidak sama pendapatnya dengan dirinya dianggap salah, bodoh, ahli bid’ah, ahli neraka, murtad, keluar dari manhaj salaf, melawan sunnah, bahkan kafir. Naudzu billah min zalik.

Sikap merasa diri paling benar dan paling mendapat hidayah dari Allah adalah sikap seorang yang kurang ilmu dan kurang sifat tawadhu’. Dia merasa hanya dirinya saja yang punya kebenaran, sementara pendapat siapa pun yang dianggapnya bertentangan dengan pendapat dirinya, harus dilukai dengan kata-kata tajam yang merendahkan, menghinakan, melecekan, kalau perlu dengan memboikotnya seolah orang lain itu musuh agama.

Ketiga, ikhtilaf yang tidak pakai ilmu tetapi mengandalkan taqlid dari seseorang tokoh, padahal jauh dari disiplin ilmu yang benar. Berbeda pendapat bahkan berdebat sementara dirinya bukan ahli di bidang itu. Ini tentu kesalahan maha fatal dan kekonyolan maha konyol.

Kalau ada ribuan ahli astronomi sepanjang masa berijma’bahwa pusat edar tata surya adalah matahari dan bumi mengelilinginya, tentu kita lebih percaya. Sementara kalau adaseorangkiyai yang mengatakan bahwa bumi itu rata seperti meja dan pusat edar tata surya adalah bumi dan matahari mengelilingi bumi, boleh jadi bukan ayatnya yang salah, tetapi ilmu pengetahuan si kiyaiitu yang out of date alias ketinggalan zaman.

Setidaknya, si kiyai itu harus mawas diri karena ilmu yang dikuasainya bukan ilmu falak dan bukan astronomi. Beliau tidak punya teropong, tidak punya teleskop, tidak pernah naik wahana luar angkasa, tidak pernah membayangkan sebuah satelit yang mengorbit bumi.

Dan kasus seperti ini, sayangnya, sering terjadi lantaran fanatisme buta dan taqlid bukan pada tempatnya. Kalau kiyai bilang langit itu hijau, maka santrinya akan bilang hijau, walau pun langit itu biru. Maka taqlid tidak karuan kepada kiyai adalah sebuah kesalahan dalam berikhitlaf.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc