3 Golongan yang Mendapat Pahala Dua Kali

Jika ahli kitab menolak masuk Islam dan enggan beriman kepada Nabi Muhammad, berarti mereka telah mengingkari kitab-kitab mereka yang menyebutkan sifat-sifat beliau Shallallahu alaihi wasallam secara jelas dan perintah untuk mengikutinya bila diutus kelak. Padahal, seandainya Nabi Musa Alaihissalam masih hidup di kala Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam diutus, niscaya Nabi Musa Alahissalam akan mengikuti beliau Shallallahu alaihi wasallam. Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Seandainya saudaraku, Musa, masih hidup, tidak ada kesempatan selain mengikutiku.” (HR. Ahmad dan dinyatakan hasan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Irwa al-Ghalil)

Ketika turun nanti di akhir zaman, Nabi Isa Alaihissalam pun akan menjadi bagian umat ini dan berhukum dengan syariat Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda,

Tidak ada seorang pun dari umat ini yang mendengar aku (diutus), baik dia Yahudi maupun Nasrani, lantas ia mati dalam keadaan tidak beriman dengan apa yang aku bawa, kecuali dia termasuk penghuni neraka.” ( Shahih Muslim, “Kitabul Iman”, dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu)

Hendaknya mereka memeluk agama ini karena besarnya pahala yang telah menunggu. Lebih-lebih, orang kafir yang berbuat kebaikan di saat jahiliah lalu masuk Islam, kebaikan di masa jahiliah itu tetap dicatat sebagai pahala. Dahulu Hakim bin Hizam bertanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam tentang amal kebaikan yang ia lakukan di saat jahiliah, seperti silaturahim, memerdekakan budak, dan sedekah, apakah ada pahalanya. Nabi Shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Engkau masuk Islam di atas kebaikankebaikan yang kaulakukan.” (Shahih al-Bukhari, “Kitabuz Zakat”)

Nabi Shallallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya), “Apabila seorang hamba masuk Islam kemudian baik keislamannya, Allah Subhanahu wataala mencatat segala kebaikan yang telah dilakukannya dan menghapus segala kejelekan yang pernah dikerjakannya.” (HR. Malik dan an-Nasai, lihat Shahih al-Jami no. 336)