Abdi, Pengabdi, dan Mengabdi

Sementara pekerjaannya menjadi ibadah. Seorang abdi tidak lagi fokus pada gaji yang didapatnya, namun pada ridla-Nya ia menambat. Maka tak salah jika memindah kata “saya bekerja” dengan “saya mengabdi.” Tentu bukan bermaksud mengabdi pada pekerjaannya, tapi karena bekerja masuk dalam beribadah itu sendiri.

Lihatlah ketika penggembala di kala Umar bin Khattab selaku Khalifah. Jika bukan karena menggembala itu mengabdi, sudahlah tentu ia melepas satu domba. Umar hanya berpura-pura sekadar menguji karakter abdinya.

Ia rayu penggembala, “juallah satu domba gembalaanmu, tuanmu tak akan tahu.” Apa jawabnya, “tuanku memang tidak tahu, tapi Allah-lah Sang Maha Tahu.” Atau lihat si penjual susu, ketika sang Ibu berkata kepada putrinya, “campur saja susu dengan air, Khalifah manalah tahu.” Umar yang blusukan, yang tidak sengaja mendengar menunggu jawaban anak gadis tersebut. Jawabannya luar biasa, “Ibu, Khalifah mungkin tak akan tahu, tapi Tuhannya Umar pastilah tahu.”

Si penggembala dan si penjual susu, mereka berdua adalah pekerja. Tapi apakah rutinitas pekerjaan yang biasanya.

Ternyata tidak, mereka tidak sekadar bekerja tapi mengabdi. Maka, apa pun profesinya, tautkan seluruh pekerjaan sebagai pengabdian. Selama pekerjaan tersebut adalah halal, di situlah lapangan pengabdian dapat dilakukan.

Seorang Muslim tentulah berkarakter pengabdi. Segala tindak-tanduknya adalah dalam rangka berserah bertawakal kepada Allah Swt.

Tatkala pengabdian merasuk dalam tiap detik satu pekerjaan, seseorang akan merasa nyaman dan senang. Tidak hanya insentif yang memang akan ia dapatkan, tapi juga karena ia menyuguhkan detik-detik yang dikerjakannya kepada dan karena Allah. Pengabdiannya pula yang akan mendorong seorang Muslim untuk keep on the right track. Ia tidak akan memanfaatkan kesanggupan dan kemampuannya bekerja untuk mencari ridla di luar Allah.

Maklumlah apa yang dikatakan oleh Imam Ahmad ibn Harb, selama 50 tahun mengabdi kepada Allah, manisnya ibadah tidak ia rasakan kecuali meninggalkan tiga hal: (1) meninggalkan ridla manusia sehingga dapat berkata benar; (2) menjauh dari perkumpulan orang-orang fasik sampai dapat melebur dengan orang-orang saleh; (3) dan menghiraukan manisnya dunia dan memusatkan diri pada manisnya akhirat. (rol)