Bangkit dari Kandang Kambing

 

Zubaidah (34) diusir dari kontrakan lantaran tak sanggup membayar uang sewa. Ia bingung, isi dompetnya kosong. Seorang temannya lalu menawarkan tempat gratis. Wajah Zubaidah yang semula ceria seketika mengkerut.

”Kok tega banget, yah. Masak saya suruh tinggal di kandang kambing yang lama tak terpakai. Di sekelilingnya banyak pohon pisang dan kelapa. Setelah dipikir, daripada anak-anak (Aida, Ali, Sholihah, dan Solahudin) tidur di pinggir jalan atau kolong jembatan, masih mending di sini,” Zubaidah mengelus dada.

Zubaidah mengangkut barang-barang pindahannya sendirian. Kebetulan saat itu bertepatan dengan keberangkatan Nurdin (35), suaminya, ke Kalimantan. Begitu pun saat membersihkan kandang yang kotor dan bau, ia mengerjakan sendiri. Tangannya cekatan membuang sarang laba-laba.

Sebetulnya, kata Zubaidah, kondisi kandang kambing berukuran 3×3 meter persegi itu tak layak didiami. Kayu penyangganya terlihat sudah rapuh. Beberapa gentingnya terlepas. Lantainya tanah. Dinding dan atapnya banyak yang bolong. Ia kemudian menyumpalnya dengan plastik dan koran bekas.

”Anak-anak kalau malam suka nangis, nggak bisa tidur. ’Umi (ibu), itu ada kecoa,’ kata Sholihah ketakutan. ’Umiiii, itu di atas ada tikus,’ seru Ali. ’Awas umi, di bawah tikar ada cacing,’ Aida memperingatkan. Kalau sudah begitu, saya cuma bisa nangis sembari membesarkan hati mereka,” kenangnya lirih.

Rupanya bukan cuma itu yang membuatnya sedih. Dalam keadaan ekonomi yang benar-benar terpuruk, ia harus tetap mengeluarkan uang Rp. 180.000 perbulan untuk membeli obat demi kesembuhan anak keduanya.

”Kalau saya tidak nebus obat, kondisi Ali akan semakin gawat.”

Penghasilan Zubaidah memang tak sebanding dengan pengeluarannya. Sebagai sales kue brownies, perhari rata-rata ia mengantongi Rp. 20.000. Sedangkan honornya sebagai pengajar di Paud (Pendidikan Anak Usia Dini) Rp. 150.000 perbulan.

”Honor itu jarang dibayar oleh yayasan. Jadi, sehari-hari saya ini selalu kekurangan. Saya dan anak-anak biasa makan nasi pakai sayur doang. Pagi-pagi saya beli sayur Rp. 2.000 di pasar, terus sayur itu dimakan berlima untuk sehari.”

Zubaidah mengajar di Paud sejak pagi hingga Dhuhur. Lepas Dhuhur, ia menjajakan brownies dengan mengendarai sepeda motor hingga kumandang Maghrib. Sebelum punya motor, ia membawa brownies dengan sepeda mininya. Kotak brownies ditaruh dijok belakang. Karena bagian depan sepedanya tak sanggup menahan beban belakang, ia kerap terjungkal.

”Sakit yang saya alami ketika terjatuh tak terasa bila ingat anak-anak. Mereka selalu menunggu di rumah, berharap saya pulang bawa uang. Pernah suatu hari hanya dapat keuntungan 700 rupiah, sementara anak-anak belum makan. Saya sedih sekali.”

Seabrek kesibukan tak membuatnya lupa bersosialisasi. Saat ada pengajian di masjid atau majelis taklim, misalnya, ia berusaha hadir. Biasanya, begitu pengajian usai, selalu ada demo bekam. Ia tertarik ingin menguasai ilmu bekam.

“Tapi saya bingung, karena untuk ikut pelatihan terapis bekam dan beli alatnya harus pake uang 2,4 juta rupiah. Wah, saya keliling nyari pinjaman. Untung ada orang yang mau nolong. Akhirnya bisa ikut pelatihan dan mendapat izin untuk melakukan bekam sendiri,” ucapnya sumringah.

Pekerjaan baru itu yang membuat Zubaidah hampir saban malam berkeliling masjid, mushola dan majelis taklim di daerah Jakarta Utara.

“Untuk bekam, satu orang infaqnya Rp. 10.000. Dalam semalam saya bisa membekam 10 pasien. Nah, pernah ada orang yang ngasih infaq Rp. 1.000. Untuk beli kapas saja, uang itu tidak cukup. Tapi saya senang, karena sudah bisa membantu orang lain,” tuturnya bersemangat.

Sejak itu, pelan-pelan keuangannya mulai membaik. Ia sudah bisa mengontrak rumah petak lagi. Kandang kambing yang telah ditempati dua bulan ditinggalkannya. Zubaidah lantas bergabung dengan Ikhtiar Swadaya Mitra (ISM) Masyarakat Mandiri (MM) Dompet Dhuafa.

Dari sinilah ia dapat membuka usaha pengobatan secara alami sembari menjual produk herbal seperti Sari Kurma, Madu, Teh Rosella, dan Habbatus Sauda. Namanya Griya Herba Nurus Syifa, di Warakas IV Gg. 3 No. 44, Jakarta Utara.

”Alhamdulillah…Dompet Dhuafa telah membantu mewujudkan impian saya dengan memberikan bantuan modal dan pendampingan. Sekarang saya memiliki 6 tenaga kerja; 5 terapis bekam dan 1 penjaga toko merangkap keuangan. Ke depan, saya ingin di setiap gang di Warakas ada gerai griya herba, supaya kalau ada orang Islam yang sakit tidak perlu berobat ke rumah sakit,” pungkasnya. (dompet dhuafa/LHZ)