Jamu Jilbab

Begitu banyak aktivitas ekonomi dhuafa di sekitar kita. Tapi terbayangkah jika seorang wanita harus berjalan kaki selama sekitar empat jam seorang diri, setiap hari. Belum lagi dengan ancaman pelecehan seksual yang mungkin terjadi.

Seperti itulah seorang penjual jamu gendong keliling di kawasan Jakarta Selatan. Berikut penuturannya kepada Eramuslim, termasuk kenapa ia mengenakan jilbab.

Nama Mbak?
Lestari

Sudah berapa lama Mbak berjualan jamu gendong?
Sejak saya lulus SMP

Usia Mbak sekarang berapa?
Sembilan belas tahun.

Kenapa memilih dagang jamu daripada nerusin sekolah?
Ya nggak ada biaya. Sebenarnya sih saya pingin sekolah lagi. Karena nggak ada biaya, biar adik saya saja yang terus sekolah.

Adik Mbak ada berapa?
Satu

Sekarang sekolah di mana?
SMP di kampung.

Kampungnya di mana?
Boyolali.

Di Jakarta Mbak tinggal di mana?
Di Tanah Kusir sama Mas (kakak, red).

Tiap hari Mbak dagang jamu?
Ya. Kecuali Minggu, dagangnya sore.

Dari jam berapa Mbak keluar rumah?
Dari jam tujuh pagi sampai jam sebelas siang.

Dari Tanah Kusir sampai ke Pondok Indah sini naik apa?
Jalan kaki. Saya biasa keliling ke pelanggan ya dengan jalan kaki.

Berapa penghasilan per harinya Mbak?
Lima puluh ribu.

Anak Mbak berapa?
Saya belum menikah.

Sejak kapan Mbak pakai jilbab?
Baru. Sejak bulan Ramadhan kemarin.

Kenapa Mbak pakai jilbab?
Karena dalam Surah Al-Ahzab, Allah memerintahkan wanita muslimah untuk memakai jilbab supaya tidak diganggu.

Memangnya sering diganggu, Mbak?
Waduh, sering. Tapi alhamdulillah, sejak pakai jilbab sudah tidak lagi. Paling-paling, mereka menggoda saya dengan salamu’alaikum.(mnh)