Menganyam Angan di Tanah Trans

Koes Plus pernah menyanyikan lagu dalam bahasa Jawa yang artinya: Zaman aku zamannya kaki tak bersepatu, zamanmu zamannya tidak pernah jalan kaki. Zaman maju semua pada tersenyum. Tapi, ingatlah generasi dulu kaki kena pecahan kaca.

Lagu Koes Plus itu menggambarkan pikiran Parno, lelaki asal Desa Tambah Subur tentang anak-anak sekarang. Di desanya yang masuk wilayah Kecamatan Way Bungur Kabupaten Lampung Timur, anak-anak beruntung bisa sekolah di zaman yang lebih baik. Di masa Parno kecil, ia pernah merasakan getirnya masa-masa awal orang tuanya menjadi transmigran. Hutan belantara dijumpai orangtua Parno dan warga trans lainnya kala itu. Pekerjaan trans di awal kedatangan di tanah harapan baru itu biasanya babat alas, membuka hutan, dan membentang ladang.

Anak-anak sekolah seperti dirinya berjalan kaki untuk mencapai SMP di lain desa, menembus hutan yang masih terhampar di sana-sini. Jalanan masih bebatuan belum terjamah aspal seperti sekarang. Mobil jarang mereka temui. Motor masih merupakan barang langka dan mahal. Beda dengan zaman sekarang, jalanan bagus, transportasi serba tersedia. Namun, ada satu kegelisahan Parno demi memikirkan masa sekarang. Anak-anak di desanya masih banyak yang tak bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi. Rata-rata hanya mentok sampai SMP. Zaman maju, tapi sayang pandangan warga tentang pendidikan belum banyak berubah.

Bersyukur Parno bisa menyekolahkan anak keduanya sampai bisa kuliah sembari bekerja di Bekasi. Modal menyekolahkan tak lain adalah angan-angan mulia tentang derajat orang yang berilmu. Berbekal dari hasil pertanian, anaknya pun bisa sekolah. Parno dulu juga tak pernah membayangkan bisa menyekolahkan anaknya. Dibawa dari Wonogiri, Jawa Tengah oleh orang tuanya trans tahun 1950-an, Parno tumbuh menjadi petani. Meneruskan orangtuanya, ia bisa mengembangkan di antaranya padi dan singkong. Begitupun keluarga besarnya dari Jawa, mereka menyusul ke Lampung dan menjadi petani.

Lelaki berbadan kurus ini orangnya penuh semangat. Banyak orang turut bersemangat saat ia bicara. Ia berandai-andai, warga di desanya bisa menyekolahkan anaknya lebih tinggi. Pondasi ekonomi harus dibangun, menurutnya. Budaya pertanian harus diperbaiki. Hampir tujuh puluh prosen warga Kecamatan Way Bungur mengandalkan singkong sebagai tanaman produktif. Tapi, sayang hasilnya belum cukup memberi kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan. Dia dan kawan-kawan membentuk Ikhtiar Swadaya Mitra (ISM) Mitra Jaya. Sebuah ikhtiar menguatkan petani dalam kelompok-kelompok tani, khususnya petani singkong.

“Kelompok tani dulu memang ada, tapi ya tidak dikoordinir. Kelanjutan biasanya tidak jadi, ada program dari pemerintah, tapi karena tidak ada pengelolaan yang baik ya biasanya gagal. Mbak Ari, Pendamping dari Masyarakat Mandiri Dompet Dhuafa selalu mendampingi petani singkong. Kalau ada masalah langsung dibicarakan,” papar Parno.

Budaya kelompok yang dikembangkan di antaranya menabung dan berinfaq. Parno menyukai kegiatan menabung karena bisa buat menambah modal. Secara perlahan, menurutnya, ada perbaikan dari sisi pengelolaan pertanian singkong.

“Modal dibantu sama MM. Petani cukup terbantu di antaranya dalam pengadaan pupuk. Tapi, lebih dari itu, pendamping mengajak kita mengelola pertanian secara lebih teratur. Semua diprogramkan. Dari pembajakan sampai penanaman, dihitung semua. Jadi kan lebih enak pengelolaan singkongnya. Kalau dulu kami semaunya sendiri,” jelas Parno.

Petani singkong di Lampung sebenarnya telah teruji dalam mengelola alam Lampung yang dulu hutan dan rawa-rawa, kini menjadi pertanian yang bisa menghidupi warga. Dulu para transmigran makan tiwul. Lalu ada kebijakan menanam padi , merekapun mencoba menanam padi, dan wargapun bisa mengkonsumsi nasi. Parno dan warga desa Tambah Subur melewatinya dengan semangat memperbaiki kehidupan. Mereka tetap mempertahankan singkong sebagai komoditas utama. Akan tetapi, Parno tak mau berdiam diri dengan keadaan sekarang.

Parno berpikir, masih banyak peluang untuk berkembang, tidak sekadar mempertahankan yang ada. Kelompok-kelompok yang terbentuk selama program pemberdayaan yang dijalankan Masyarakat Mandiri memiliki kesempatan membangun masa depan dengan keswadayaan. Parno dan teman-teman mulai menyemai angan-angan petani singkong harus lebih kuat ke depannya.

“Kami ke depannya menginginkan ada koperasi, tentu tujuannya untuk peningkatan ekonomi masyarakat. Untuk pengadaan pupuk misalnya, petani tak perlu mencari pinjaman modal jauh-jauh. Koperasi bisa menyediakan segala kebutuhan petani, serba mandiri,” lanjut Parno optimis.

Parno tak tinggal diam. Ia selalu mendorong teman-temannya yang sudah tergabung dalam kelompok untuk terus menghidup-hidupkan semangat mandiri. Kemandirian dan kehidupan warga yang lebih baik kelak bukan angan-angan lagi. mnh/hery d. kurniawan/dd