Dhuafa

Uni Ratna bersama keempat anaknya tinggal di kamar kontrakan lantai dua. Untuk menujunya harus melewati tangga dan lorong sempit nan gelap. Atapnya dari seng bekas pagar bangunan. Dindingnya dari kayu triplek sisa dengan lantai papan.

Zubaidah (34) diusir dari kontrakan lantaran tak sanggup membayar uang sewa. Ia bingung, isi dompetnya kosong. Seorang temannya lalu menawarkan tempat gratis. Wajah Zubaidah yang semula ceria seketika mengkerut.

 Rusdi (38) benar-benar terkejut. Degup jantungnya berdetak lebih kencang. Dokter baru saja memberi tahu kalau proses persalinan anak pertamanya bermasalah. Bayinya terlilit tali pusar hingga kekurangan oksigen.

Gara-gara dicakar tikus kecil, wajah Zakaria (46) rusak tak karuan. Jaja –panggilan Zakaria—tak menyangka jika kini mata, pipi, hidung, gigi, dan bibirnya hilang.

Muhammad Yusuf Hidayat (32) bercita-cita menjadi aparat keamanan. Yusuf kecil senang jika melihat orang berpakaian seragam, lengkap dengan atribut kebesaran di pundak dan pistol terselip di pinggang. “Kelihatannya gagah.”

“Saya menuntut ilmu dan ‘mengabdi’ keajeungan. Lebih tepatnya saya numpang hidup dan makan di pesantren, karena saya lahir bukan dari keluarga mampu. Beberapa rumah ajeungan sudah pernah saya tinggali,” kata Gumyadi

Semangat dan perjuangan Iwan bersama anggota Gapoktan Wanti Asih yang membuat LPS Dompet Dhuafa mau menggandengnya menjadi mitra.

Walau usianya sudah mencapai angka enampuluhan, nenek bercucu 32 orang ini masih tetap tegar untuk selalu hidup dengan kedua tangannya. Sesulit apa pun kondisi yang ia dan suaminya hadapi.

Ada profesi yang menarik di kawasan kebun binatang Ragunan. Mereka adalah penjaja tikar sewaan. Inilah di antara potret dhuafa di Jakarta yang tetap berkerja keras untuk hidup.

Umumnya kita mungkin kecewa ketika sepatu atau sandal kesayangan tiba-tiba rusak. Mau dibuang sayang, mau diperbaiki kayaknya nggak murah. Saat itulah kita butuh tukang sol sepatu.