Tak Menyesal Jadi Petani

Sugandi (62) punya masa lalu yang indah. Sebelum tahun 1985, warga Kampung Muara Jaya, Kec. Caringin, Kab. Bogor, itu dikenal pembuat layang-layang hebat. Hasil kreasi tangannya diminati banyak orang. Bahkan, namanya terdengar hingga Singapura dan Belanda.

”Beberapa turis sering datang ke rumah untuk pesan layang-layang,” tandasnya.

Para pecinta layang-layang dari Jakarta, Bogor, Sukabumi, dan Kalimantan kerap menyambangi rumahnya untuk berguru. Tak perlu heran, dalam sebulan ia bisa mengantongi penghasilan 2 juta rupiah dari usahanya.

”Seminggu, saya sanggup membuat 2.000 layang-layang,” cetusnya.

Tak cuma itu, ia termasuk pemain layang-layang handal. Tiap kali digelar kompetisi layang-layang di pelataran Monas Jakarta, ia jawaranya.

”Saya dibayar sama bos-bos untuk ikut lomba. Mereka ingin tahu cara saya memainkannya. Kalau menang, saya dapat tambahan hadiah dari mereka,” kenangnya.

Yang mengejutkan, bapak 10 anak dan 13 cucu itu tiba-tiba meninggalkan dunia yang telah melambungkan namanya. Padahal, saat itu ia tengah mencapai puncak karirnya.

“Raos hasilna, pait ku padameulanana, goreng ku ninggalkeun ibadahna,” alasan Sugandi.
Maksudnya, usaha layang-layang memang mendatangkan hasil (uang) yang banyak, tetapi terasa pahit menjalankannya.

“Bayangkan, kalau buat satu layang-layang bisa melibatkan banyak orang. Saya bikin dan ngukur arkunya. Anak paling besar yang masang benangnya. Nanti istri yang motong kertasnya. Anak satunya lagi ngelem. Duh…Semuanya kebawa ribet. Udah gitu, saya sering lupa shalat,” paparnya terus terang.

Ada lagi alasan yang dilontarkannya. Bocah-bocah di kampungnya acapkali menginjak sawah milik warga saat mereka mengejar atau berebut layangan yang putus diudara. Alhasil, tanaman-tanaman di sawah mati lantaran terinjak kaki bocah-bocah itu.

“Ada seorang warga yang marah, ‘Itu gara-gara Sugandi bikin layangan, sawah-sawah di desa ini jadi rusak’. Saya lalu merenung, menangis dan merasa berdosa. Dari situ saya mikir, kalau sawah saya yang rusak, saya juga pasti marah.”

Kenyataannya, tidak mudah baginya untuk melepaskan diri dari bisnis yang mulanya berangkat dari hobi itu. Setidaknya, menurut pengakuannya, ia sempat melakukan shalat hajat dan puasa sunah tiga hari, demi memohon petunjuk Allah.

“Saya kemudian memutuskan untuk mengakhiri usaha yang sudah dirintis puluhan tahun, lalu beralih ke tani,” tegasnya mantap.

Sejak jadi petani dan ikut Kelompok Tani Maju Jaya, kondisi keuangan Sugandi sontak melorot. Penghasilannya cukup untuk membeli beras satu atau dua hari saja. Padahal, ia ingin sekali semua anaknya tamat SMA. Sementara pendapatan Siti Maimunah (45), istrinya, sebagai paraji dan tukang pijat tak dapat diprediksi.

Empat tahun lalu, kelompok tani yang menaungi Sugandi tergabung dalam Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Maju Jaya. Mereka mendapat pengetahuan, pelatihan dan bantuan dari Lembaga Pertanian Sehat (LPS) Dompet Dhuafa. Antara lain soal pembasmian hama penyakit, pembuatan pestisida nabati, dan metode penanaman padi sehat yang tidak menimbulkan residu.

”Sore mendapat ilmu dari LPS, paginya langsung saya praktekan di sawah. Saya menyemprotkan pestisida nabati yang saya peroleh dari LPS. Pupuk kimia yang biasanya digunakan, saya tinggalkan dulu.”

Berkat bantuan LPS pula, ia bisa menyewa lahan hingga 2 hektar pertahun. Padahal, awal-awal menjadi petani, sawah sewa garapannya cuma sekira 7.000 meter.

“Hasil panen padi juga meningkat. Sebelum dibimbing LPS lahan 1 hektar menghasilkan 4 ton, setelah dibimbing bisa 5-6,5 ton. Sebelumnya musim panen cuma 2 kali setahun, sekarang bisa 3 kali. Pokokna mah untungnya banyak,” ujarnya.

Dari situlah penghasilan Sugandi merangkak naik. Ia bersyukur sudah mampu menghidupi keluarga dan menyekolahkan anak bungsunya yang masih SMP.

”Sejak dulu saya ini tidak pernah mencangkul di sawah. Tapi karena terus berlatih dan ulet, saya jadi pandai tani,” Sugandi membuka rahasia.

Kini, usia senja tak menjadikan semangat bertaninya mengendur. Ia malah sudah bisa mengajari (membimbing) petani-petani baru. Dari pagi hingga sore pun waktunya dihabiskan di sawah.

“Saya mau kerja keras begini karena masih punya tanggungan. Sejak tiga tahun lalu, istri saya menderita penyakit komplikasi. Pernah dirawat di rumah sakit, tapi nggak lama, karena nggak ada biaya. Saya kepingin membawanya ke Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa saja biar gratis. Tapi gimana yah, untuk ongkos jalannya saya nggak punya,” ucapnya polos. (LHZ/Dompet Dhuafa)