"Tolong, Jangan Jauhi Saya!"


Gara-gara dicakar tikus kecil, wajah Zakaria (46) rusak tak karuan. Jaja –panggilan Zakaria—tak menyangka jika kini mata, pipi, hidung, gigi, dan bibirnya hilang. Bola mata kanannya telah diambil. Lubang tempat matanya ditutup rapat dengan kulit daging perut.

Saat berumur 6 tahun, dipipi kiri Jaja tiba-tiba muncul benjolan agak tipis berwarna merah. Ia sering menggaruknya. Rasa gatal tak henti-henti mengusik. Dari waktu ke waktu benjolan itu terus membesar, bahkan beratnya mencapai 2,5 kilogram.

“Saya sampai tak bisa berjalan,” keluh Jaja.

Beruntung, sebuah yayasan bermurah hati mau membiayai pengobatan Jaja. Jaja dioperasi sampai 10 kali. Semua benjolan berhasil diangkat. Dokter menyatakan penyakit tumor jinak yang menyerangnya telah sirna. Bangsal rumah sakit menjadi saksi terkulainya Jaja rentang tiga bulan.

Dua tahun berselang, dipipi kiri Jaja timbul lagi benjolan merah sebesar koin. Ciri-ciri benjolan itu persis seperti benjolan sebelumnya. Tak mau kecolongan, ia langsung dioperasi lagi berkat kesigapan sebuah lembaga sosial. Benjolan dapat mengempis, lalu hilang tanpa bekas.

Peristiwa enam tahun lalu menjadi awal petaka yang sesungguhnya. Ketika itu Jaja baru pulang kerja dari percetakan. Saat tidur siang, mendadak seekor tikus kecil melintas di atas wajahnya. Jaja kaget. Tangannya sigap, bermaksud menangkap binatang pengerat itu. Rupanya gerak tikus lebih gesit ketimbang ayunan tangan Jaja. Tikus berhasil lolos.

“Tikus itu sempat mencakar hidung saya hingga memerah. Malamnya kepala pusing, terus badan panas dingin,” cerita Jaja.

Beberapa hari kemudian, bekas cakaran tikus berubah jadi benjolan sebesar biji kedelai. Diam-diam benjolan terus mengembang. Saban malam, sekujur tubuh Jaja meradang kepanasan. Rasa gatal menyerang cuping hidung kiri dan wajahnya. Tangannya terus menggaruk sampai kulitnya terlupas dan berdarah. Perih. Luka itu pun membengkak dan melebar hingga kebibir atas.
“Saya dirujuk ke RSCM, berkat bantuan dan rekomendasi Layanan Kesehatan Cuma-Cuma (LKC) Dompet Dhuafa. Di sana dilakukan operasi besar. Itulah untuk kali pertama saya kehilangan separuh hidung dan bibir atas. Gigi atas rontok. Kulit tipis didada kiri saya diambil untuk menambal hidung dan bibir atas. Rasanya benar-benar menyakitkan,” ucapnya geram.

Sebulan berikutnya, tumbuh lagi benjolan kecil dicuping hidung sebelah kanan Jaja. Tak sampai dua bulan, benjolan sebesar kelereng menyembul dari dalam pipi kanannya. Operasi kembali dilakukan. Kali ini Jaja harus kehilangan pipi kanannya. Kulit dikedua pahanya disayat, diambil untuk menutupi bekas operasi.

“Aneh, satu benjolan sudah dihilangkan, eh…muncul benjolan lagi di tempat lain di area wajah. Saya seperti terkena kutukan,” cetusnya miris.

Selang setahun, benjolan sebesar telur ayam tumbuh dipelipis kanan Jaja. Untuk kesekian kali, atas bantuan dan campur tangan LKC, ia masuk kamar bedah. Dokter mengangkat daging pelipis kanannya. Tiga ratus enam puluh lima hari kemudian, giliran bola mata kanan Jaja yang ditumbuhi benjolan tumor.

”Kata dokter, mata kanan saya harus dicopot. Dug! Jantung saya nyaris berhenti.”

Tak ada air hangat yang mengalir dari pelupuk mata kanan Jaja saat mata kanannya diambil dokter. Jaja pun tak berani menatap wajahnya sendiri di cermin. Ngeri! Mata kanannya bolong. Dokter lantas menutup lubang bekas mata Jaja dengan kulit yang diambil dari perut Jaja. Aisyah (40), istri Jaja, hanya bisa menangis menyaksikan detik demi detik prosesi itu.

“Hilang sudah keceriaan hidup saya,” nada bicara Jaja melemah.

Kini wajah Jaja selalu dililit perban putih yang seminggu sekali diganti oleh tim medis LKC. Hanya mata kirinya yang terlihat. Itu pun, kata Jaja, sudah kurang normal penglihatannya.

“Mungkin karena pengaruh mata kanan saya diambil,” terka Jaja.

Jaja telah keluar dari tempat kerjanya sejak empat tahun lalu. Kini, ia menghabiskan waktunya hanya berdiam diri di rumah. Istri dan keenam anaknya; Rusli (22), Rusmana (20) Rusmiadi (14), Rusmiati (11), Yusuf (7), Ilyas (5), jadi tak terurus. Anak pertama dan keduanya terpaksa putus sekolah. Keduanya jadi pengamen jalanan dan jarang pulang.

Untuk makan sehari-hari, keluarga Jaja yang tinggal di Kampung Seuseupan Ciawi RT 02 RW 08 No. 24, Desa Bandongan, Kec. Ciawi, Kab. Bogor, lebih sering menunggu uluran tangan tetangganya.

“Kalau nggak ada yang ngasih makan, saya dan anak-anak ‘puasa’. Istri kan nganggur,” tarikan napas Jaja terasa berat sekali. (LHZ)