Inilah Sahabiyah yang Dermawan dan Ahli Hadits

Atikah memiliki peran dalam hadits seperti disampaikan Abu Zurah saat menyebutkannya dalam katagori wanita ahli hadist yang fokus dan terdepan dalam bidang hadist. ‎”Termasuk orang yang mengajarkan hadis di Syam dari kalangan wanita adalah Atikah.”

Sementara Ibnu Sumai memasukkannya dalam kitab Thabaqat-nya dalam tingkatan generasi ketiga. Ibn Asakir mengatakan, “Muhajir bin Amr bin Muhajir al-Anshar meriwayatkan hadits dari Atikah.”

Atikah dan para wanita di masanya tak terkejar dalam bidang kemuliaan. Hanya sajah Atikah lebih jauh wawasannya, lebih banyak memberikan dan lebih tulus dalam membantu orang fakir miskin.

 

Selain itu Atikah juga ‎peka dalam masalah sosial lainnya, ia selalu mengamati kenestapaan yang dialami orang-oraang fakir miski dia melihat kesengsaraan yang mereka (fakir miskin) alami.

Pekerjaan Atikah yang sering dilakukanya adalah, dia selalu memberikan pakaian kepada orang miskin dan menambal luka orang-orang yang sakit saat perang.‎  Atikah tidak hanya berderma atas sesuatu yang kecil dari miliknya semata, tapi dia keluar membawa semua hartanya pada orang-orang fakirk eluarga Abu Sufyan.

Kelebihan lain Atikah adalah wanita yang hidup di masa tabiin ini paling kuat dalam pemerintahan, sebab dia memiliki mahram laki-laki sebanyak 12 Khalifah.

Selain itu, termasuk wanita terhormat di masanya, dalam hal ilmu karena adab dan kemuliaan yang dimiliki Atikah. Dalam hidupnya Atikah selalu memadukan antara semua keutamaan ibadah dalam satu sikap.

Atikah, nama yang disematkan kepada adalah nama sebuah daerah di Damaskus yang terletkan di luar pintu masuk Al-Jabiya. Atikah bersama suaminya Abdul Malik bin Marwan hidup bahagia di Istana.

Namun selang beberapa tahun Abdul Malik meninggal dunia yang meninggalkan Yazid dan Marwan. ‎Dalam kondisi penuh kecukupan itulah Atikah dibesarkan dan menjalani seluruh kehidupannya di Damaskus. Namun, ini tak membuatnya melupakan kaum fakir misikin.

Seperti diriwayatkan dalam buku 101 kisah Tabi’in.‎ Suatu kali suaminya, Abdul Malik, mengusulkan kepadanya untuk menghibahkan hartanya yang berlimpah kepada Yazid dan Marwan, putra-putra mereka.

Menurut suaminya, harta Atikah itu akan lebih berguna bagi anak-anaknya yang masih muda dibandingkan untuk dirinya sendiri. Awalnya Abdul Malik mengira istrinya akan menuruti sarannya.

 

Bagaimana pun seorang ibu pasti rela memberi segalanya untuk anak-anaknya. Namun ternyata tidak demikian, Atikah telah memutuskan untuk apa harta yang dimilikinya.

Dengan ringan dia mengatakan bahwa anak-anaknya menjadi tanggungan ayahnya dan karena ayahnya seorang khalifah tak ada kekhawatiran kalau mereka akan hidup kekurangan.

Kelak, mereka pun akan menjadi khalifah yang berkecukupan secara materi. Maka Atikah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya kepada kepada fakir miskin dari kalangan Bani Sufyan. “Mereka lebih membutuhkan hartaku untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik,” kata Atikah.

Suaminya tak bisa berbuat apa-apa karena itu adalah harta pribadi Atikah. Kekayaan saja tak ada apa-apanya dibandingkan ilmu. Sejak belia, Atikah rajin menuntut ilmu. Dia banyak belajar dari banyak ulama, terutama dalam ilmu periwayatan hadits yang pada masa itu memang sedang giat dilakukan.

Atikah kemudian termasuk wanita tabi’in yang meriwayatkan hadits. Murid-muridnya juga meriwayatkan hadits darinya. Demikianlah, ilmu dan kekayaan seolah berhimpun pada diri Atikah. (rol)