Menata Sayang


Rasa sayang buat kehidupan keluarga semoga tidak mirip api dengan lampunya. Selama api masih menyala, lampu akan menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Jangan tanya jika lampu tak lagi punya cahaya. Karena orang akan mencari yang lain.

Tiap pasangan suami isteri punya sesuatu yang menjadi pengikat kuat ikatan rumah tangganya. Dari sekian unsur ikatan yang ada, sayang adalah pengikat yang teramat kuat.

Mungkin buat orang ammah, sayang pasca pernikahan bukan sesuatu yang menarik. Biasa. Karena sudah terjajaki sekian lama sebelum pernikahan berlangsung. Ada yang setahun, dua tahun, bahkan lebih dari lima tahun.

Bayangkan, jika sayang harus tumbuh pas di saat pernikahan. Tidak ada penjajakan. Tidak ada prakondisi. Kenal, nikah, dan langsung sayang. Bahkan, ada yang mengalami proses tiga tahapan itu cuma butuh waktu satu minggu. Bisakah sayang tumbuh dan langgeng? Hal itulah yang pernah dialami Bu Ririn.

Ibu yang kini dianugerahi tiga anak ini kerap senyum-senyum kalau mengingat masa lalunya bersama suami. Kalau dipikir-pikir, Bu Ririn merasa kalau ia tergolong tidak normal saat melahirkan rasa sayang. Betapa tidak, sayang bisa muncul cuma dalam hitungan jam. Berkenalan ba’da maghrib, ba’da Isya-nya langsung nikah. Dan malamnya langsung tidur sekamar. Ajaib!

Sebagian tetangga mungkin ada yang menduga macam-macam. Orang biasa menyebut MBA: marriage by accident, alias ‘kecelakaan’ pra-nikah. “Na’udzubillah! Jauuuuuh, la yau!” ungkap Bu Ririn suatu kali ke seorang tetangga.

Semua begitu singkat, karena ayah Bu Ririn sudah begitu kenal dengan calon suami. Dia baik, saleh, dan insya Allah mujahid. Tanpa proses berbelit-belit, ayah Bu Ririn langsung menawarkan pernikahan di saat perkenalan. Dan si calon suami langsung setuju. Begitu pun Bu Ririn. Cepat, tepat, dan tentu saja nikmat.

Sejak itu, sayang Bu Ririn terus tersiram, terpupuk, dan kian bersemi. Tak terasa, Bu Ririn menata sayangnya sudah hampir sepuluh tahun. Lumayan lama buat ukuran rasa. Tanpa sedikit pun goyah. Apalagi sirna.

Memang pernah, bahkan beberapa kali, rasa sayang itu diuji. Bu Ririn pernah kesal dengan suami lantaran tiga hari tak pulang tanpa bilang-bilang. Benar-benar sebal. Walau orang paling dekat, justru dialah yang paling tidak tahu soal kesibukan suami. Kalau saja tidak segera meluncur penjelasan utuh, marah Bu Ririn nyaris tak terbendung.

Pernah juga, suami Bu Ririn pinjam kalung emas mahar pernikahan. Awalnya, Bu Ririn ragu buat setuju. Tapi karena sayang, keraguan itu pun luluh. Emas seberat sepuluh gram itu pun dibawa suami. Hingga kini, benda yang punya kenangan berharga itu tak kunjung kembali. Saat marah, Bu Ririn sempat mendengar penjelasan suami. Mahar itu sudah dijual buat pengobatan keluarga seorang aktivis. Kesal yang semula menggumpal, tiba-tiba luluh dan berbalik iba. “Afwan, Yang. Cuma itu yang bisa Abang lakukan. Insya Allah, akan Abang ganti!” ucap suami Bu Ririn mencairkan suasana.

Pernikahan Islami memang indah. Tanpa kenalan yang berkepanjangan pun, sayang bisa tumbuh subur. Segala ungkapan sayang jadi penuh berkah. Dan insya Allah, bernilai ibadah. Hati Bu Ririn mulai menyimpulkan sayangnya.

Kadang, ia mulai menilai fisiknya yang tidak seperti dulu lagi. Mulai gemuk, dan tidak sebening dulu. Lima belas tahun ternyata punya pengaruh besar buat seorang ibu rumah tangga seperti Bu Ririn. Anak tiga, mengurus rumah tanpa pembantu. Semua diurus Bu Ririn sendiri.

Bukan itu saja. Ibu yang mahir ngolah kue ini pun biasa menitipkan hasil masakannya ke beberapa warung. Lumayan buat nambah pemasukan keluarga. Dan semua itu ia lakukan sendiri. Mulai belanja bahan, ngolah adonan, masak, hingga ngantar ke warung-warung.

Cukup berat kalau cuma mengandalkan pemasukan suami yang bisnis serabutan. Kadang bisnis baju, buku Islam, obat tradisional; kadang jadi makelar tanah. Penghasilan suami memang sulit ditakar. Tapi syukurnya, keluarga nyaris tak pernah kelaparan. Alhamdulillah!

Bu Ririn tak pernah menghitung-hitung seberapa capeknya ia mengurus rumah, menjaga anak-anak ketika suami beberapa hari keluar kota. Juga, mencari tambahan pemasukan saat penghasilan suami minus. Semua itu ia hadiahkan sebagai ungkapan sayang buat suami tercinta. Sekali lagi, sayang.

Sayang Bu Ririn kian bertambah ketika mengingat nikmat jodoh dari Allah. Betapa tidak sedikit muslimah yang belum berkesempatan mengungkapkan rasa sayangnya secara penuh. Mereka cantik, salehah, bahkan terpelajar. Tapi karena belum jodoh, ungkapan sayang masih tetap tertahan. “Semoga Allah memudahkan urusan mereka,” ucap Bu Ririn penuh khusyuk.

Hari ini, suaminya akan tiba dari luar kota setelah tiga pekan pergi. Bu Ririn menyiapkan diri buat penyambutan. Ia berhias, mengenakan busana yang paling bagus. Di hatinya cuma ada satu kalimat, “Akan kuungkapkan rasa sayangku buat suami tercinta!”

Saat suami tiba, Bu Ririn menghias wajahnya dengan senyum. Ia persilakan suaminya bercerita apa pun soal perjalanannya. Ia berharap, dengan begitu lelah suami akan pulih.

Ada dua kabar yang dibawa suami. Bu Ririn begitu gembira ketika mendengar soal bisnis tanah suami di luar kota. Sedikitnya, suami dapat enam puluh juta rupiah. Alhamdulillah! Senyum Bu Ririn kian lebar.

Tapi, ada satu kabar lagi yang suami Bu Ririn sendiri bingung, apa ini kabar gembira atau duka. Bu Ririn tak sabar ingin mendengar. Akhirnya, “Yang, dengan berat hati Abang katakan. Di luar kota sana, Abang dinikahkan dengan anak seorang kiyai setempat. Cepat, tepat, dan….” ucap suami Bu Ririn agak berat.

Mendengar itu, senyum Bu Ririn langsung kincup. Cuma ada tiga-B yang tetap tertahan dalam hati Bu Ririn soal sayangnya: Benar-Benar Berat!

([email protected])