Mengolah 'Kesuburan'


Tidak semua kesuburan menjadi idaman ibu rumah tangga. Ada kesuburan yang justru jadi menakutkan. Kesuburan itu bernama kegemukan.

Selalu ada perubahan setelah berlalu masa lajang. Sebelumnya sendiri, kini ada teman. Sebelumnya miskin, sekarang bisa punya rumah. Dan, mungkin saja, sebelumnya langsing, kini mulai agak beda.

Itulah perubahan fisik suami isteri. Cuma bedanya, isteri lebih serius dengan soal ini daripada suami. Padahal, dua-duanya sama-sama ‘berkembang’. Dua-duanya sama-sama mengembang. Hal itulah yang saat ini kerap dibingungkan Bu Sisri.

Dahsyat, memang! Belum lagi dua tahun menikah, ibu yang mantan mahasiswi ini sudah dapat berkah tambahan berat dan ukuran badan. Tambahannya pun bukan sesuatu yang tergolong biasa. Setidaknya, sekitar empat puluh persen dari ukuran sebelumnya.

Bahkan, hampir bisa dipastikan, teman-teman Bu Sisri yang tidak bertemu selama ia menikah; akan pangling tujuh keliling. “Ini Sisri, kan? Sisri apa bukan, sih?” itulah ucapan rata-rata dari teman-teman Bu Sisri.

Ada juga temannya yang justru gembira ketika melihat penampilan Bu Sisri. “Alhamdulillah! Belum dua tahun sudah hamil! Tergolong cepat lho, Sri!” ucap sang teman yang justru membuat Bu Sisri bingung mau jawab apa. Beberapa bulan yang akan datang, temannya pasti akan terheran-heran. Soalnya, sudah sekian lama, kok, hamilnya belum selesai-selesai.

Kadang, ibu yang belum dikaruniai anak ini bingung sendiri. “Ini anugerah, apa bencana?” ucap batinnya di saat sendiri. Soalnya, tidak sedikit wanita kurus yang berharap bisa gemuk. Tapi kini, justru ia yang pusing ketika gemuk sudah melekat di tubuh. Tanpa diminta, tanpa direkayasa. Semua datang begitu saja.

Ucapan kakak perempuan Bu Sisri suatu kali kian menambah beban. “Sri, kamu kok bisa melembung gitu sih? Gimana kalau hamil? Gimana kalau melahirkan?” gugat sang kakak suatu kali. Kalau mengingat ucapan kakaknya itu, Bu Sisri jadi ingin menangis.

Rasanya, Bu Sisri ingin balas menggugat. “Emangnya, siapa yang mau begini?” Tapi, ia hanya khawatir kalau ucapan itu menjebaknya pada sikap kufur nikmat. Ia hanya berusaha untuk sabar, sambil mencari cara agar ‘subur’nya tidak terus berkepanjangan.

Ada beberapa upaya yang kini giat dilakukan Bu Sisri. Ia tidak lagi mau makan daging. Nasi dan kue-kue pun ia kurangi. Bahkan sangat ia kurangi. Makan lebih banyak ke sayur dan buah-buahan. Beberapa hari ia lakoni hidup seperti itu. Sayangnya, bukan langsing yang ia dapatkan. Justru lemas, dan pucat.

“Gimana kalau pada kondisi seperti itu, kamu sedang hamil muda, Sri? Kasihan kan, janinmu!” ucap ibu mertuanya suatu kali. “Sudahlah, yang wajar-wajar saja!” tambah sang ibu begitu prihatin.

Sebutan janin membuat Bu Sisri jadi tidak berkutik. Ia khawatir kalau itu akan jadi kenyataan. Bukankah selama ini ia dan suami begitu menanti-nanti sang buah hati. Lalu, gimana jadinya kalau hal itu akan jadi masalah hanya karena ingin memaksakan diri supaya bisa kurus. “Waduh, ini tidak bisa diteruskan!” lagi-lagi batin Bu Sisri memberi jawaban.

“Kenapa kamu tidak berenang, Sri?” ucap suami Bu Sisri suatu kali.

Renang? Bu Sisri benar-benar tersentak. Ia kaget bukan lantaran karena terkejut dengan ide sebrilyan itu. Tapi, kata ‘renang’ seperti sudah terhapus sebagai kegiatan ‘halal’. Yang terbayang oleh Bu Sisri, renang identik dengan pameran aurat. Saat itu juga, Bu Sisri merinding.

Baru setelah sang suami menjelaskan, Bu Sisri paham kalau sudah ada busana renang muslimah. Hampir tidak beda dengan busana muslimah biasa. Cuma pada bahan dan corak saja yang disesuaikan dengan olahraga air.

Tapi, apa lazim berenang dengan busana seperti itu? Pertanyaan lain menyusul di benak Bu Sisri. Kan nggak seru kalau sedang renang ada yang berteriak, “Hei, berenang apa mau kondangan!”

Untuk soal ini, Bu Sisri dapat kabar bagus. Umumnya, masyarakat sudah maklum dengan busana renang muslimah. Bahkan, di sebagian kota, sudah ada kolam renang khusus muslimah. Tidak bercampur, dan tertutup.

Mulailah aktivitas baru Bu Sisri yang sudah ia tinggalkan selama lebih dari sepuluh tahun bergulir. Hampir sepekan sekali, ia berangkat menuju kolam renang.

Tiap kali berangkat, Bu Sisri tidak pernah lupa dengan tas untuk bawaan. Di dalam tas itu ada baju renang muslimah, handuk, sabun, shampo, pakaian salin, dan beberapa cemilan: mie gelas, martabak telor, bolu keju; atau makanan lain.

Soal cemilan ini dianggap penting oleh Bu Sisri sebagai pemenuhan proses keseimbangan. Tiap kali renang, banyak energi yang terbuang. Wajar kalau diisi lagi dengan cemilan ala kadarnya.

Setelah hampir tiga bulan melakukan terapi renang, Bu Sisri pun mulai evaluasi. Ia pinjam ke tetangga sebuah timbangan badan. Dengan mata berbinar, dan harapan yang begitu besar, Bu Sisri menatap angka-angka di alat timbangan. Dan, “Astaghfirullah!”

Tiba-tiba kepala Bu Sisri dipenuhi sejumlah ingatan. Antara lain, mie gelas, kopi susu kantin kolam renang, bolu keju, martabak telor, dan lain-lain. “Duh, susahnya ingin langsing!” batin Bu Sisri berbisik pelan. ([email protected])