Selera Suami


Selera kadang seperti anak kecil. Jujur, polos, apa adanya. Sulit ditutup-tutupi jika keinginannya ingin terpenuhi. Walaupun keinginan itu tak disukai banyak orang.

Hidup berumah tangga punya seribu satu cerita. Ada suka dan duka. Ada pengalaman jenaka. Semua itu memberikan kesan yang begitu dalam. Sayangnya, tidak semua pasangan pandai menata kesan-kesan itu sebagai pelajaran berharga.

Ada beberapa sebab. Pertama, tidak semua orang punya daya kepekaan yang tinggi. Dinamika berumah tangga dianggap sebagai sesuatu yang biasa. “Biasa, hidup berumah tangga!” begitulah tanggapan yang muncul. Sebab kedua, kurang perhatian dengan urusan rumah tangga. Rumah tangga hanya sebagai tempat singgah: istirahat sejenak untuk kemudian pergi lagi dengan urusan masing-masing. Dan ketiga, lemahnya bangunan komunikasi antar sesama anggota keluarga. Suasana rumah jadi hambar, dingin, dan kemudian asing.

Gambaran seperti itu sama sekali tidak dialami Bu Aam. Justru, ibu dua anak ini sedang kerepotan dengan selera makan suami. Kelihatannya urusan sepele, tapi buat Bu Aam lumayan besar. Pasalnya, ada kesukaan makan suami yang tidak hanya dibenci Bu Aam; tapi juga orang tua Bu Aam, anak-anak, bahkan tetangga. Suaminya senang jengkol!

Bu Aam tak habis pikir, bagaimana mungkin orang bisa doyan jengkol. Dari baunya saja, bisa bikin minat makan pupus. Apalagi rasanya. Waduh, benar-benar nggak kebayang di benak Bu Aam.

Sebenarnya, kesukaan makan suami berupa jengkol dan turunannya seperti pete baru beberapa bulan disadari Bu Aam. Selama ini selera itu tidak terungkap. Entah kenapa, suaminya tidak pernah bilang kalau dia doyan jengkol dan pete. Mungkin malu, atau dampak dari ucapan Bu Aam di awal pernikahan.

Waktu itu, Bu Aam sempat bilang kalau hampir semua makanan yang halal ia sukai. Mulai buah, gorengan, ikan, daging; bahkan pare sekali pun. Tapi, ada satu yang paling ia benci. “Saya cuma tidak suka jengkol!” ucap Bu Aam suatu kali. Saat itu juga, suaminya diam. Pembicaraan soal makanan kesukaan berhenti total.

Nah setelah itu, Bu Aam kerap mendapati suami sudah makan di warung selepas pulang kerja. Padahal, Bu Aam sudah menyiapkan makan malam. “Maaf, Dik. Mas sudah makan!” ucap suami tanpa beban.

Selama hampir empat tahun misteri selera suami Bu Aam itu tetap aman. Hingga adanya cerita ibu mertua Bu Aam ketika berkunjung suatu kali. “Suamimu itu, hobi banget sama jengkol!” ucap sang ibu sambil senyum.

Sejak itu, terjawab sudah keanehan-keanehan selama ini. Mulai dari makan di warung, hingga bau tak sedap di kamar mandi. Soal yang terakhir, Bu Aam sempat buruk sangka dengan tetangga. Karena tinggal di rumah petakan, kamar mandi Bu Aam dan tetangga berhimpit dengan dinding penyekat tidak sampai ke atap. Jadi, bukan cuma suara yang terdengar dari balik kamar mandi tetangga, baunya pun bisa mampir. Termasuk, bau jengkol.

Waktu itu, Bu Aam yakin sekali kalau aroma khas itu bukan dari kamar mandinya. Tidak heran kalau ia sempat mengumpat, “Dasar, makan tidak pilih-pilih!” Betapa malunya Bu Aam kalau ingat itu.

“Memang apa salahnya orang senang jengkol?” tanya seorang teman Bu Aam suatu kali. Bu Aam cuma diam. Matanya menatap lekat sang teman. Ia mulai menilai kalau temannya pasti doyan jengkol. “Memang, apa enaknya makan jengkol?” kilah Bu Aam menimpali. Sang teman menjawab panjang lebar.

Dari situlah, Bu Aam paham kenapa orang menganggap nikmat makan jengkol, klaim nilai gizi, penambah selera makan dan sebagainya. Dengan berat hati, ia pun ingin memaklumi hobi suami itu. Berat memang. Karena pemakluman seperti itu punya konsekuensi. Apalagi kalau bukan menyediakan jengkol di menu makan keluarga. Weleh-weleh, gimana dengan anak-anak. Bisa-bisa, mereka ikut-ikutan bapaknya. Repot! Satu orang saja, bau kamar mandi nggak karuan. Apalagi dengan anak-anak.

Sebelum pemakluman itu diberlakukan, Bu Aam mewanti-wanti kedua anaknya. Intinya, jangan pernah doyan jengkol. “Jengkol itu bau, nggak enak, pahit. Pokoknya nggak enak!” ucap Bu Aam agak provokasi. Kedua anaknya cuma bengong mendengar ucapan sang ibu.

Tapi, kenyataan di luar dugaan. Entah kenapa, suami Bu Aam justru minta maaf. Ia menyesali sikapnya yang bikin repot isteri tercinta. “Maafin Mas, ya Dik. Gara-gara jengkol, Adik jadi susah!” ucap sang suami prihatin. Dan benar saja, sejak detik itu, tak ada lagi gejala jengkol di rumah Bu Aam. Suaminya jadi rutin makan malam di rumah. Dan tentu saja, kamar mandi bersih dari aroma ‘segar’ jengkol.

Namun begitu, Bu Aam justru jadi kikuk dengan perubahan selera suami. Ia merasa bersalah. Karena ingin menyenangi isteri, suaminya jadi berkorban. “Duh, kasihan suamiku,” sesal Bu Aam dalam hati.

Beberapa kali Bu Aam menyediakan hidangan jengkol olahan warung di keluarga. Mulai jengkol semur, rendang, goreng, dan lain-lain. Tapi, tetap saja. Suami tak pernah mencicipi olahan-olahan itu. Jangankan makan, menyentuh pun tidak. “Sudahlah, Dik. Saya benar-benar ikhlas tidak lagi makan jengkol!” ucap suami tenang. Tak ada suara berat di situ. Tampaknya, suami Bu Aam benar-benar tulus.

Beberapa minggu berlalu sejak kejadian itu. Tidak ada hidangan jengkol, tidak ada kebingungan Bu Aam. Dan, tidak ada bau tak sedap di kamar mandi. Tiba-tiba, hidung Bu Aam menangkap sesuatu. Ia berusaha mencari tahu. Dan, “Hm, seperti bau…bau, ah tak mungkin. Tak mungkin itu!” Bau makin kentara ketika Bu Aam berada di bibir pintu kamar mandi. Yah, bau itu yang pernah bikin panik Bu Aam. Bau jengkol.

Bukankah suami sudah tidak makan jengkol? Apa dari tetangga? Bu Aam meneliti setiap sudut kamar mandi. Dan ia pun yakin, bau itu memang dari kamar mandinya. Lalu, siapa? Apa mungkin suaminya kambuhan. Ah, nggak mungkin! Ia tahu benar watak suaminya. Lagi pula, tiga hari ini, suaminya sedang keluar kota. Jadi siapa?

Dari balik kamar, suara anak-anak Bu Aam terdengar riang. “Kak, enak ya. Hi..hi..hi,” suara si kecil sambil cekikikan. Sang kakak terlihat senyum-senyum. Melihat kecurigaan itu, Bu Aam menghampiri. “Enak apanya, Dik? Kalian makan permen, ya?” Keduanya menggeleng. “Kalian makan apa?” tanya Bu Aam lagi lebih tegas. “Je…je…jengkol!! Dari nenek tadi pagi!” ucap sang kakak polos. ([email protected])