Tingkah Tetangga


Dinamika hidup bertetangga kadang mirip lomba mencampur warna dalam air kolam. Ukuran dan sifat warna sangat menentukan apa yang akan dominan. Jika yang dominan putih, kolam terkesan bersih dan sejuk. Repotnya ketika campuran membentuk warna keruh. Suasana tampak kotor dan jorok.

Berkeluarga dan bertetangga memang sulit dipisahkan. Keduanya seperti dua anak tangga yang mesti dilalui seseorang menuju cita-cita hidup. Berkeluarga sebagai anak tangga pertama, dan bertetangga anak tangga berikutnya. Keharmonisan rumah tangga berpengaruh pada suasana bertetangga. Begitu pun sebaliknya.

Dalam Islam, bertetangga bukan sekadar dinamika alami kehidupan setelah berkeluarga. Lebih dari itu. Bertetangga menjadi tahapan pendidikan umat. Di situlah pintu masuk seorang mukmin mengenalkan keindahan Islam kepada orang lain. Dalam media ucapan, juga perbuatan. Di sisi Allah, nilai aktivitas itu menjadi ibadah.

Rasulullah saw. bukan hanya mengatakan adanya kedekatan antara mutu keimanan dengan berbuat baik dengan tetangga. Bahkan, beliau saw. telah membuktikan dalam kehidupan nyata. Walau ketika di Mekah sebagian tetangga berbuat buruk, tapi beliau saw. tetap memberikan yang terbaik buat tetangganya: mengunjungi, memberi hadiah, menolong yang susah, dan lain-lain. Justru dari situlah, dakwah Islam menyebar dan terus menyebar.

Namun, kenyataan kadang tidak seperti yang diinginkan. Karena sesuatu hal, bertetangga menjadi tidak mengenakkan. Bikin hati kesal. Tekanan batin yang tak kunjung reda. Konflik yang berketerusan. Dan, sebagainya. Setidaknya, hal itulah yang kini dialami Bu Juju.

Ibu dua anak ini belum lama pindah. Semula ia membayangkan indahnya tinggal di perumahan. Tata letak lingkungan rumah yang teratur, kemampuan ekonomi yang setara, tingkat budaya yang lebih beradab. Dan tentu saja, hubungan sosial yang lebih harmonis dan produktif. “Ah, indahnya!” begitulah bayang-bayang pikiran Bu Juju. Walau masih nyicil, suasana di perumahan lebih terjamin.

Demi itu, Bu Juju dan suami rela berkorban. Biar tinggal jauh dari orang tua, yang penting suasana beda. Biar jarak kantor suami yang kian sulit terjangkau, anak-anak bisa hidup tenang dan damai.

Beberapa hari berlalu, kenyataan memang membenarkan cita-cita Bu Juju. Tapi, ketika waktu bergulir menjadi minggu dan bulan, suasana mulai beda. Para penghuni perumahan bertipe maksimal tiga-enam ini mulai memperlihatkan aslinya. Sayangnya, sebagian besar penghuni di blok tempat tinggal Bu Juju punya karakter asli kurang baik. Mereka senang hura-hura dan mudah prasangka. Mulailah hari-hari sumpek dilalui Bu Juju sekeluarga.

Ada satu kegiatan ibu-ibu di blok Bu Juju yang lumayan meresahkan. Setidaknya, buat Bu Juju. Tiap minggu pagi, mereka bersepakat bersenam ala poco-poco. Jenis senam yang gerakannya diiringi musik yang lagi ngetop. Bisa disko, pop, semi dangdut, atau dangdut tulen. Yang penting cocok buat bergoyang.

Karena olahraga, pakaiannya pun berjenis kaos. Ada yang tangan panjang, pendek dan tanpa kerah. Begitu pun dengan bawahannya. Ada celana training, pendek, bahkan sangat pendek. Mereka ngumpul di lapangan komplek. Setelah musik berdendang, mereka pun mulai bergoyang menurut irama. Karena menarik perhatian, banyak penghuni yang menonton. Laki dan perempuan.

“Lho, kok Bu Juju nggak ikut?” tanya seorang ibu ke Bu Juju. Yang ditanya cuma bisa senyum. Bu Juju bingung mau jawab apa. Bilang repot, khawatir dianggap egois. Bilang malu, bisa dicap sombong. Mau terus terang, takut orang salah paham. Bu Juju khawatir ada kesan kalau ajaran Islam kaku, ekstrim, dan lain-lain. Setidaknya, butuh waktu dan kesempatan panjang buat bicara Islam. Agar tidak dipahami sepenggal-sepenggal.

Sayangnya, kesempatan yang diupayakan Bu Juju kalah cepat dengan isu yang berkembang. “Bu Juju memang fanatik. Fundamentalis.” Begitulah akhirnya cap bergulir. Langkah Bu Juju mulai memperlihatkan benang kusut.

Cobaan tidak cuma di situ. Tetangga kiri dan kanan Bu Juju, ternyata hobi musik. Yang kiri fanatik dangdut, yang kanan senang musik barat. Buat pencinta musik, irama dengan suara pelan bukan pilihan asyik. Mereka senang kalau orang lain bisa ikut mendengarkan. Mereka berharap, tetangga bisa ikut terhibur. Termasuk keluarga Bu Juju. “Kasihan tetangga sebelah nggak punya tape. Mudah-mudahan bisa ikut senang,” begitulah kira-kira persepsi mereka.

Tinggallah Bu Juju, suami, dan anak-anak blingsatan. Pernah beberapa kali, Bu Juju menegur supaya suara tape dikecilkan. Dan memang dikecilkan. Tapi ukuran suara kecil buat tetangga tetap saja besar buat Bu Juju. Duh, cara apa lagi. Mau marah, terkesan agak aneh. Toh, tetangga-tetangga lain enjoy aja kok. Dengan terpaksa, Bu Juju dan suami membeli tape. Bukan untuk dinikmati. Hanya untuk menyaingi suara yang bisa didengar. Padahal, masih banyak kebutuhan lain yang lebih penting buat Bu Juju dan keluarga dari sekadar tape.

Belum lagi urusan poco-poco dan tape selesai, seorang tetangga Bu Juju bawa kartu undangan. “Bu Juju dateng, ya. Pesta besar, nih!” suara seorang ibu yang tinggal persis di seberang jalan rumah Bu Juju. “Duh, ada yang ulang tahun,” batin Bu Juju bersuara lirih. Jelas saja, yang kebayang cuma satu: hura-hura!

Nyaris, Bu Juju dan suami minggat secepat-cepatnya. Ada niatan mau jual lagi rumah yang baru beberapa bulan ditempati. Biarlah rugi, yang penting bisa lepas dari masalah. Begitukah?

Bu Juju ragu. Seperti itukah mental seorang mukmin. Aktivis pengajian lagi! Memang, teori perubahan mengatakan kalau tak mampu mengubah keadaan, ubahlah persepsi diri tentang masalah. Artinya, anggap masalah dengan takaran ringan. Atau, ambil jarak dengan masalah dengan cari jalan lain.

Tapi, apa memang ia sudah tak mampu melawan. Bu Juju diam sebentar. “Aha!” Ia seperti dapat sesuatu. “Kalau kemungkaran bisa jor-joran. Kenapa kebaikan tidak?” Sejak itu, segala jenis kegiatan positif berupa pengajian, dongeng anak, belajar bersama, bahkan les anak-anak sekali pun dilakukan dengan besar-besaran. Ada pengeras suara, ada senandung Islami sebagai pengiring, dan tentu saja ceramah. Semuanya selalu melibatkan tetangga. “Perang-perang, deh!” tekad Bu Juju bulat. ([email protected])