Renungan Aa Gym: Berterimakasih kepada Manusia

Seringkali kita mengalami bahwa ketika kita meminjam suatu barang dari orang lain, kita merasa bahwa barang tersebut seperti hak kita. Akan tetapi, ketika harus mengembalikan barang itu, kita bersikap seenaknya seolah barang itu benar-benar milik kita.

Ada orang yang terbiasa nebeng pada kendaraan orang lain disebabkan kebetulan memiliki rute satu arah. Satu kali, dua kali mungkin masih biasa-biasa saja, terasa wajar-wajar saja. Akan tetapi jika terlalu sering maka jadi lain ceritanya. Apalagi jika disengaja mencari-cari kesempatan agar bisa terus-menerus nebeng. Apabila kita terlalu sering melakukan hal seperti ini, terlalu sering membebani orang lain, maka kemungkinan besar kehormatan kita akan semakin menurun.

Sikap membebani orang lain ini berlaku juga pada sikap kebiasaan meminta-minta kepada orang lain. Yaitu sikap menggantungkan kehidupan dari meminta-minta kepada orang lain tanpa mau melakukan usaha dengan cara bekerja menjemput rezeki Allah Swt. Sikap ini jelas-jelas akan menjatuhkan kehormatan diri orang yang meminta-minta. Bahkan, sikap seperti ini dilarang oleh Rasulullah Saw.

 

Dalam salah satu haditsnya beliau bersabda, “Lebih baik seseorang bekerja dengan mengumpulkan seikat kayu bakar di punggungnya dibanding dengan seseorang yang meminta-minta lantas ada yang memberi atau enggan memberi sesuatu padanya.” (HR. Bukhari)

Jika kita merasa diri sering membebani orang, maka berinisiatiflah untuk membalas budi baiknya. Ketika kita terlalu sering membebani orang lain, maka kita akan semakin banyak berutang budi. Jangan pernah enak atau betah menjadi orang yang berutang budi. Setiap orang yang ingin terjaga kemuliaan dan kehormatan dirinya, pantang hutang budi. Jikapun kita ternyata menjadi beban orang lain, maka balaslah kebaikannya sebisa mungkin dengan apa yang kita bisa. Itulah sikap syukur, mensyukuri kebaikan orang lain terhadap kita.

Jangan keenakan terlalu sering ditraktir orang. Terlalu sering menjadi orang yang ditraktir oleh orang lain akan mengikis kehormatan atau wibawa diri kita. Balaslah kebaikan orang yang sering mentraktir kita. Jika demikian sikap kita, barulah kita akan merasakan nikmat yang lebih banyak datang menghampiri kita.

Apabila seseorang terlalu sering menjadi benalu bagi orang lain, Allah akan mengurangi bahkan menghilangkan kehormatan dirinya. Sebagai contoh, seorang aparat hukum yang sedang bertugas di jalan raya. Pakaiannya gagah, sepatu hitam mengkilap, motor mantap, kaca mata hitam semakin membuatnya nampak menyegankan. Namun, tiba-tiba saja ia memberhentikan seorang pengendara motor, menilangnya tanpa alasan yang ujung-ujungnya meminta uang sogokan. Seketika itu, kehormatan dan wibawanya runtuh seruntuh-runtuhnya.

Allah Swt Maha Kaya. Tidak perlu khawatir menjadi miskin karena melakukan balas budi. Berterimakasihlah kepada orang yang pernah atau sering kita repotkan. Berterimakasihlah kepada orang yang pernah atau sering kita bebani. Balaslah kebaikannya meski ia tak pernah meminta untuk dibalas. Doakanlah dirinya, ringankahlah bebannya, bantulah urusannya. Apalagi jika orang tersebut telah menjadi jalan bagi kita untuk lebih dekat dengan Allah Swt. Sungguh, membantunya adalah sikap yang akan mendatangkan berkah tiada bertepi.

 

Jika orang yang akan kita berikan balas budi itu tak mau menerima budi baik kita karena takut menjadi orang yang mengharap pamrih, maka hormatilah sikapnya. Namun, tetap balaslah budi kebaikannya. Dengan cara seperti apa? Doakanlah dirinya. Mintalah kepada Allah Swt supaya Dia melimpahkan kebaikan berlipat ganda kepadanya. Mintalah kepada Allah Swt agar Dia mengampuni segala salah dan khilafnya. Demikianlah sikap mensyukuri kebaikan orang lain kepada kita.

Pembuka pintu gerbang nikmat Allah Swt adalah sikap syukur terhadap nikmat-Nya yang telah datang kepada kita. Sayangnya, kita lebih sering lupa terhadap nikmat yang sudah ada di tangan kita, dan malah sibuk berangan-angan memikirkan nikmat yang belum ada pada diri kita.

Kita telah diberikan kenikmatan berupa kemampuan menulis, membaca dan berhitung. Akan tetapi jika ditanya, masihkah ingat guru menulis kita di masa lalu, guru membaca kita di waktu kita dahulu, guru berhitung kita di kala kita masih kecil? Saat menghitung uang kekayaan, kita lupa pada guru yang telah mengajarkan kita cara berhitung. Sangat mungkin kita lupa. Ataupun jika masih ingat, kita sudah sangat lama tidak pernah tahu lagi kabar beritanya. Sementara, kita terus-menerus sibuk dengan pikiran tentang berbagai hal yang belum kita miliki.