Beban

Tak ada yang menjadi pemandangan paling aneh untuk seisi penghuni di sebuah hutan selain tingkah seekor orang utan. Kemana pun ia pergi, dan kepada siapa pun ia berjumpa, selalu saja di pundaknya terpikul sebuah keranjang besar.

Di keranjang itulah, apa saja yang ia temui, dan barang apa pun yang dibuang penghuni hutan yang ia jumpai, selalu ia masukkan kedalamnya.

Seekor rusa tampak terheran-heran ketika ia mendapati sang orang utan mengambil tanduk sang rusa yang patah. ”Untuk apa tanduk tak terpakai itu?” tanya sang rusa ketika mendapati sang orang utan memasukkannya kedalam keranjang khasnya.

”Tidak untuk apa-apa. Aku senang saja,” ucap sang orang utan sambil berlalu meninggalkan sang rusa yang keheranan.

Begitu pun ketika orang utan berkeranjang itu mendapati seekor ular sanca yang usai berganti kulit. ”Hei, untuk apa kau masukkan kulit yang tak terpakai itu kedalam keranjangmu?” tanya sang ular heran.

Lagi-lagi, sang orang utan santai saja menjawab, ”Aku cuma senang saja.”

Kian hari, isi keranjang sang orang utan mulai tampak penuh. Hampir semua penghuni hutan tampak kasihan dengan orang utan karena beban yang ia pikul kemana pun sang orang utan pergi.

Dan, mereka tidak akan bertanya kenapa itu dilakukan sang orang utan. Karena, jawabannya sudah bisa ditebak, ”Aku senang saja!”

**

Tanpa disadari, kerap orang sering merasa senang memikul beban jiwa yang semestinya tidak perlu ia pikul. Ketika orang membuang marah, ia ambil. Ketika orang melepas benci, ia simpan. Ketika orang melempar iri, ia pun mengambilnya untuk disimpan.

Padahal, tanpa mengumpulkan beban-beban yang merupakan sampah jiwa itu pun, ia sudah punya beban tersendiri. Kenapa begitu sulit melepas gundukan beban kotor dan busuk itu dalam diri, untuk kemudian menunaikan amanah hidup yang sudah berat ini.

Atau barangkali, jangan-jangan jiwa ini sudah seperti orang utan yang selalu punya jawaban sederhana, ”Ah, aku cuma senang aja!” ([email protected])