Ghibah dan Rumus Turunannya

langit biruApa pun yang terlarang ( menurut syariat ) kita lakukan, tentu ada manfaat yang kadang tidak kita ketahui. Tapi percayalah agama kita memang sebuah agama yang sempurna, hingga masalah membicarakan aib orang lain pun diberikan batasan yang jelas.

Membicarakan suatu kekurangan orang lain, memang kerap dilakukan. Bahkan kadang kita tidak menyadari, bahwa saat itu telah terjadi ghibah diantara kita. Masih bersyukur, bila di lingkaran itu ada yang mampu menghentikan, dan mengatakan, “awas, kita ghibah lho!?”

Tapi pada kenyataannya sering-kali tanpa sadar, kita malah menambah bara, dan mengipasi si pembicara. Karena kita ingin sekali mengetahui duduk persoalan yang sedang disiarkan seseorang. Padahal saat itu terjadi tiga jalan yang terhampar, untuk kita lalui.

Jalan pertama, tentu bila kita seorang yang punya jiwa “peduli” dengan gossip, membuat kita malah bersemangat untuk memasang telinga. Dan mungkin siap pula memberi tambahan “bahan bakar” agar cerita yang tersampaikan merupakan kisah yang dramatis. Tentu jalan ini, bukan jalan yang diinginkan sang Khalik.

Jalan kedua yang dapat kita gunakan, bila kita memang mampu menjadi “polisi” saat itu, dan mengingatkan peserta, bahwa apa yang diperbincangkan merupakan sebuah kemungkaran. Karena bila kita mensiarkan keburukan saudara kita, maka sama saja kita memakan bangkai saudara sendiri.

Tentu pilihan selanjutnya adalah, bila kita tidak PD ( percaya diri ) untuk men-“semprit” dengan kata-kata, maka sebaiknya kita mengundurkan diri dari lingkaran kemungkaran itu. Karena apabila kita sudah tidak setuju tapi masih tetap berada di tempat, berarti kita masih termasuk orang yang ber-ghibah.

Bulan lalu ada seorang yang menyampaikan sebuah hikmah kepada saya. Dia seorang ibu dan sangat dekat dengan tetangganya. Suatu hari ibu ini, saya panggil saja Mila, mendapatkan “info” dari tetangganya . Beritanya adalah seorang ibu yang bernama A, sering-kali bergerilya setiap jam 10 pagi dengan anak balitanya. Setiap pagi dia akan bersilaturahmi sekalian numpang makan. Bahkan kadang membawa pulang bahan mentah; berupa cabe atau lauk yang sudah dimasak.

A yang merasa kesal dengan sifatnya B ( suka bergerilya ), ternyata tidak mampu membuka mulutnya untuk menghentikan kebiasaan buruknya B. Tapi sayangnya dia menceritakannya kepada Mila dengan harapan, agar Mila ini mengetahui sifat B yang sudah terkenal di lingkungan rumah A.

Pada suatu hari, Mila jalan-jalan pagi ke rumah A. Bukan kebiasaan Mila untuk jalan ke tetangga saat pagi. Karena biasanya jam 9 atau jam 10 pagi, adalah waktunya dia di rumah. Tapi begitu lah bila memang Allah memberikan jalan kebajikan kepada kita. Untuk mengetahui apa yang sebenarnya hikmah yang dapat kita petik dari peristiwa di sekeliling kita.

Karena saat Mila bertandang adalah mendekati jam makan siang, dan tuan rumah baru selesai memasak, maka dia pun ditawari makan. Padahal saat itu dia membawa serta kedua anaknya yang masih balita. A pada itu memang telah memasak bakso yang lumayan banyak, karena dia menyiapkan pula untuk dimakan oleh tukang yang masih membangun rumahnya. Karena memang rumahnya masih belum selesai dibangun.

Saat ditawari makan, Mila malah teringat ceritanya si A. Dia mengingat dengan jelas bagaimana mimik wajah di A ketika menceritakan B. Dia mengandaikan dirinya saat itu adalah B, yang sedang makan di rumah A. Hingga mengganggu pikirannya. Betapa inginnya dia memasukkan pentolan ke mulutnya, tapi nuraninya serasa melarangnya. Dia hampir-hampir tak bisa memakan hidangan yang tersedia.

“jika aku makan di rumahnya, jangan-jangan aku akan pula diceritakan kepada orang lain. Padahal saat ini kedua buntutku bersamaku.” Pikirannya maju mundur, apakah dia akan menikmati hidangan yang kelihatan nikmat di pandang dan membuat hidungnya kembang kempis karena aromanya yang segar.

Aku tidak menceritakan selanjutnya apa yang terjadi. Tapi begitulah hikmah yang kita dapat dari cerita Mila di atas. Bahwa kadang kita tidak pernah menyangka, menceritakan tentant aib seseorang, tapi ternyata pendengar kita malah menarik sebuah garis pembelajaran. Karena A menceritakan sifat B yang minus, maka dia pun punya sebuah persepsi yang kuat terhadap A. Bahwa ternyata A suka menceritakan orang yang makan di rumahnya, dan menyebabkan Mila takut untuk memakan makanan yang dihidangkan oleh A.

Ternyata ghibah yang dilakukan seseorang, dengan harapan orang akan memberikan penilaian “lebih” pada dirinya dan disisi lain menjatuhkan martabat orang lain, ternyata malah sebaliknya yang terjadi. Karena apa yang dilakukannya menjadikan pendengar membuat sebuah rumus turunan; ” dia pasti akan pula memanjangkan mulutnya kepada orang lain, bila ada hal yang tidak disukainya pada diri kita.”

Sengata,

Halimah Taslima

Forum Lingkar Pena ( FLP ) Cab. Sengata