Mengangkat Kekeliruan Orang, Melupakan Kebaikannya

Eramuslim – “JIKA ia mencuri, maka sesungguhnya, telah pernah mencuri pula saudaranya sebelum itu.” (QS. Yusuf: 77)

Kata-kata di atas adalah komentar saudara-saudara Nabi Yusuf yang Allah kisahkan kembali dalam Alquran pada surat Yusuf ayat 77. Latar belakangnya, Nabi Yusuf ingin agar Bunyamin tetap bersamanya. Maka dia perintahkan pegawainya memasukkan wadah milik kerajaan ke kantong makanan yang dibawanya dengan tujuan agar dia dituduh mencuri dan akhirnya ditawan dan tidak dapat ikut kembali bersama saudara-saudaranya.

Saudara-saudaranya sendiri, yang sudah kadung membenci dan dengki kepada Bunyamin dan Nabi Yusuf, alih-alih membelanya dan mencarikan alibi, mereka justru memperlebar masalah dengan membawa-bawa nama Nabi Yusuf, ‘Wajarlah kalau dia mencuri, wong saudaranya juga pernah mencuri‘ begitu kira-kira jika ayat di atas disederhanakan maknanya.

Sikap di atas dalam bahasa Arab disebut “tasyafii” menumpahkan umpatan yang tersimpan ketika ada berita tentang ‘kelakuan buruk’ seseorang yang kadung tidak disukai. Perkara berita tersebut benar atau tidak, apakah mutlak salahnya atau tidak, apa latar belakang masalahnya, maksud dan tujuannya apa, itu ‘nomor ketigabelas’. Yang penting momen tersebut tidak boleh terlewatkan baginya untuk menyalurkan dan melampiaskan ekspresinya tersebut. Perkara itu gibah atau bukan, tinggal dicarilah logika pembenarannya, kan sudah biasa berdebat.

Gampang saja, bukan? Dalilnya, tinggal dipilih! Baginya, mengangkat kekeliruan dan kesalahan orang tersebut dan mengenyampingkan kebaikan-kebaikannya, lebih mudah dan terasa memuaskan, ketimbang menyebut kebaikan-kebaikannya dan menutup kekeliruannya atau minimal mencari klarifikasi atas apa yang dianggapnya salah. Kondisi seperti ini sebenarnya merugikan pihak pengumpat jauh lebih besar ketimbang yang diumpat. Hatinya semakin keruh, kata-katanya semakin tidak terkontrol dan tertutuplah kebaikan-kebaikan yang seharusnya bisa dia dapatkan.