Nabi SAW: Yang tak Ikuti Jalanku, Bukan Umatku

Eramuslim – SEPULANG dari sebuah konferensi mengenai Islam, seorang sahabat saya mengajukan pertanyaan, “Apakah dalam konferensi semacam itu juga disebarkan paham ekstremisme?”

Pertanyaan sahabat yang non-muslim itu saya jawab tentu saja dengan mengatakan ekstremisme tidak ada dalam agenda konferensi. Aku juga mengambil kesempatan itu untuk menjelaskan kepadanya, bahwa alih-alih menganjurkan ekstremisme, Islam sebenarnya mengharapkan umatnya untuk menjadi “umat pertengahan”. Sebagaimana dinyatakan dalam Alquran:

Dan demikianlah (sebagaimana Kami telah memimpin kamu ke jalan yang lurus), Kami jadikan kamu (wahai umat Muhammad) ummatan wasathan, supaya kamu layak menjadi saksi yang memberi keterangan kepada manusia (tentang yang benar dan yang salah), dan Rasulullah (Muhammad) pula akan menjadi orang yang menerangkan kebenaran perbuatan kamu.” (QS. 2: 143)

Kata “wasathan” dalam Bahasa Arab dapat diartikan dengan beberapa makna: adil, seimbang, pertengahan (moderat), dan terbaik (pilihan). Ayat ini dengan jelas menerangkan umat Muslim sebagaimana dikehendaki Allah Swt, yaitu menjadi umat yang moderat dan seimbang, sehingga mereka mampu menjadi “saksi” atau teladan bagi umat yang lain.

Lantas seperti apakah umat “pertengahan” yang dimaksud dalam ayat tersebut? Salah satu cara paling mudah menjelaskan sesuatu adalah membandingkannya dengan gambaran tentang lawan dari sesuatu itu. Untuk itu, dalam menjelaskan pertengahan, mari kita pelajari terlebih dulu ekstremisme.

Ekstremisme adalah sebuah keyakinan yang sangat jauh dari apa yang diyakini kebanyakan orang sebagai kebenaran atau sesuatu yang masuk akal. Ia bisa saja sesuatu yang terlalu liberal, atau terlalu keras dalam pemahamannya mengenai Islam. Yang pasti, keduanya sama-sama mencemari gambaran Islam dengan caranya masing-masing.