Perkara yang Paling Dekat dan Jauh

Sang Hujjatul Islam membacakan surah Ali Imran ayat 185. Artinya, “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat diberikan dengan sempurna balasanmu. Barang siapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh, dia memperoleh kemenangan. Kehidupan dunia hanyalah kesenangan yang memperdaya.”

Maknanya, lanjut Imam al-Ghazali, “Sudah pasti kematian itu datangnya. Tidak bisa dipercepat ataupun diperlambat.”

Ia juga mengutip surah Yunus ayat 49. “Katakanlah (Muhammad), ‘Aku tidak kuasa menolak mudarat maupun mendatangkan manfaat kepada diriku, kecuali apa yang Allah kehendaki.’ Bagi setiap umat mempunyai ajal (batas waktu). Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.”

Kematian adalah sebuah keniscayaan yang begitu dekat. “Di manapun kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu berada di dalam benteng yang tinggi dan kukuh.” (QS an-Nisa: 78).

Lantas, apakah sesuatu yang paling jauh dari diri manusia? Beberapa muridnya menjawab, benda-benda langit. Ada pula yang berkata, Negeri Tiongkok. Namun, Imam al-Ghazali menyanggahnya, sembari menasihati, “Yang paling jauh adalah waktu yang telah berlalu.”

Sebab, dia mengatakan, waktu tidak pernah berhenti hingga akhir masanya, yakni hari kiamat kelak. Jika berlalu, waktu tak pernah kembali. Satu menit yang silam lebih jauh daripada seribu tahun yang akan datang. Ia menjelaskan, dalam Alquran sedikitnya ada 224 kali penyebutan tentang waktu. Bahkan, Allah SWT bersumpah atasnya.

Allah Ta’ala memerintahkan manusia agar menggunakan kesempatan hidup untuk beriman dan beramal saleh. Waktu adalah modal yang sangat berharga sehingga harus dimanfaatkan secara sungguh-sungguh untuk melaksanakan perintah-Nya.